Pengertian Teknis Filsafat

Dalam sejarah pemikiran Islam, filsafat mempunyai banyak bagian. Tiap-tiap bagiannya disebut dengan nama ilmu tertentu. Wajar saja kalau tidak ada pertentangan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Pengertian kedua muncul di Eropa pada Abad Pertengahan, dan segera diabaikan setelah berakhirnya era tersebut. Dan menurut pengertian ketiga yang masih lazim di Barat sampai sekarang, filsafat dan metafisika diletakkan berhadap-hadapan dengan ilmu (sains). Lantaran pengertian ketiga ini juga cukup populer di negara-negara Timur, penjelasan secukupnya mengenai ilmu, filsafat, dan metafisika serta hubungan di antara mereka menjadi urgen dan tak terelakkan. Di samping itu juga akan dipaparkan pembagian dan klasifikasi ilmu.
Makna Teknis Ilmu
Satu dari sekian kata yang mempunyai penggunaan beragam sekaligus menjebak adalah ilmu (‘ilm). Makna harfiah kata ini dan pelbagai sinonimnya dalam bahasa lain seperti: dānesy dan dānestan dalam bahasa Persia, kiranya sudah sangat jelas hingga tidak lagi perlu dijelaskan. Akan tetapi, ilmu juga memiliki beragam makna teknis. Yang paling penting di antaranya adalah sebagai berikut:
- Keyakinan tertentu yang sesuai (muthābiq) dengan fakta (wāqi‘), sebagai lawan dari kebodohan sederhana (basīth) dan kompleks (murakkab), meskipun ia berada dalam satu proposisi.
- Himpunan proposisi yang diamati berhubungan satu sama lain, meskipun berupa proposisi-proposisi individual dan partikular. Dalam pengertian inilah ‘ilmu’ sejarah berarti pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa tertentu sejarah, ‘ilmu’ geografi yaitu pengetahuan tentang kondisi-kondisi tertentu kawasan-kawasan di bumi, ‘ilmu’ rijal berarti pengetahuan tentang perawi-perawi hadis dan biografi tokoh-tokoh.
- Himpunan proposisi universal yang berkisar pada poros tertentu dan, meskipun bersifat konvensional (i’tibārī), tiap-tiap proposisi ini bisa berlaku pada sekian banyak objek. Dalam makna inilah ilmu non-hakiki dan konvensional seperti: tata bahasa dan kesusastraan, disebut sebagai ‘ilmu’ dan, pada makna ini pula, proposisi-proposisi individual dan partikular seperti di atas tidak terbilang sebagai ilmu.
- Himpunan proposisi-proposisi universal hakiki (bukan konvensional) yang berkisar pada poros tertentu. Makna dan pengertian ini mencakup seluruh ilmu teoretis dan ilmu praktis, termasuk teologi dan metafisika, tetapi tidak berlaku pada proposisi-proposisi individual dan konvensional.
- Himpunan proposisi-proposisi hakiki yang bisa dibuktikan kebenarannya dengan pengalaman indrawi. Dalam pengertian inilah istilah ‘ilmu’ digunakan kaum positivis. Karena itu, ilmu-ilmu dan pengetahuan non-empiris tidak dianggap sebagai ilmu.
Pembatasan istilah ilmu atau sains pada ilmu-ilmu empiris tidak perlu diperdebatkan sejauh kaitannya dengan semata-mata pembuatan istilah dan konvensi terminologi. Akan tetapi, konvensi istilah ini, oleh kaum positivis, didasarkan pada pandangan khas mereka bahwa lingkup pengetahuan hakiki dan pasti-benar manusia terbatas hanya pada hal-hal indrawi dan empiris. Sejurus dengan itu, mereka menganggap kegiatan berpikir tentang apa saja di luar batasan itu sebagai sia-sia dan tak berguna. Sialnya, makna inilah yang justru menyebar luas dalam skala dunia sehingga menempatkan ilmu dan sains berhadap-hadapan dengan filsafat.
Penilaian seputar lingkup pengetahuan pasti-benar manusia, sanggahan atas kaum positivis, dan bukti atas adanya pengetahuan pasti-benar (hakiki) di luar medan indra dan pengalaman akan kita tunda sampai Bagian Kedua: Epistemologi. Untuk selanjutnya, di sini kita akan segera menjelaskan makna teknis dari istilah filsafat dan metafisika.
Makna Teknis Filsafat
Sejauh ini kita telah mengenal tiga makna teknis “filsafat”:makna pertama mencakup seluruh ilmu hakiki; makna kedua menambahkan beberapa ilmu konvensional; dan makna ketiga terbatas pada pengetahuan non-empiris dan dipakai sebagai lawan ilmu (dalam arti pengetahuan empiris).
Menurut kami, makna filsafat mencakup logika, epistemologi, ontologi atau metafisika, teologi, psikologi teoretis (lawan psikologis empiris), estetika, etika, dan politik. Meski demikian, terdapat sejumlah perbedaan pendapat dan, kadang-kadang, istilah ‘filsafat’ juga dipakai hanya untuk filsafat pertama (al-falsafah al-‘ūlā) atau metafisika dan, dengan begitu, ini bisa dibilang sebagai makna teknis keempat dari filsafat.
Istilah filsafat juga mempunyai beberapa penggunaan teknis lain yang biasanya dikonstruksi dengan kata adjektif atau genitif seperti: “filsafat ilmiah” atau “filsafat ilmu”.
Filsafat Ilmiah
Istilah ini dipakai dalam beberapa tempat:
1. Positivisme
Setelah mengutuk pemikiran filsafat dan metafisika serta menyangkal prinsip-prinsip rasional universal, Auguste Comte membagi ilmu-ilmu positif dalam enam cabang utama yang, masing-masingnya, mempunyai hukum-hukum khas sebagai berikut: matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan sosiologi. Dia menulis sebuah buku berjudul Course of Positive Philosophy dalam enam jilid, dan mengupas dasar-dasar umum keenam ilmu tersebut sejalan dengan apa yang disebut-sebut sebagai metode positif. Tiga jilid dari buku itu dia khususkan mengenai sosiologi. Walaupun demikian, filsafat positivisme ini dibangun diatas klaim-klaim dogmatis non-positif! Walhasil, kandungan buku berisi program penyelidikan pelbagai ilmu, khususnya ilmu-lmu sosial; program yang disebut dengan filsafat positif atau filsafat ilmiah.
2. Materialisme Dialektik
Bertolak-belakang dengan para positivis, kalangan Marxis menitikberatkan kemestian filsafat dan keberadaan hukum-hukum universal. Namun, mereka juga percaya bahwa hukun-hukum ini diperoleh lewat perampatan hukum-hukum dari ilmu-ilmu empiris, bukan dari pemikiran rasional dan metafisika. Maka dari itu, mereka menyebut filsafat materialisme dialektik dengan “filsafat ilmiah”, lantaran, menurut klaim mereka, ia didapat dari capaian-capaian ilmu-ilmu empiris, kendati ia tidak lebih ilmiah ketimbang keilmiahan filsafat positivisme.
Pada dasarnya, filsafat ilmiah (jika ‘ilmiah’ dimaknai ‘empiris’) adalah suatu oxymoronb seperti: “pria lajang yang beristri”. Klaim-klaim mereka ini telah kami analisis secara kritis sepanjang studi komparatif.
3. Metodologi
Makna teknis lain filsafat ilmiah ialah sinonim dengan ‘metodologi’. Jelas bahwa setiap ilmu, bergantung pada jenis masalahnya, memerlukan metode penelitian dan verifikasinya sendiri. Misalnya, masalah-masalah sejarah tidak bisa dipecahkan di laboratorium melalui penguraian dan penyampuran pelbagai unsur. Demikian pula, tidak ada filosof yang bisa menetapkan, misalnya, tahun berapa Napoleon menyerang Rusia dan apakah ia kalah atau menang dalam serangan itu melalui analisis dan penyimpulan filosofis. Masalah-masalah semacam ini mesti diselesaikan melalui penelitian dokumen-dokumen yang relevan dan evaluasi keabsahannya.
Secara umum, berdasarkan metode penelitian untuk memecahkan pokok-pokok masalahnya, ilmu dapat dibagi menjadi tiga tipe: ilmu-ilmu rasional, ilmu-ilmu empiris, dan ilmu-ilmu naratif dan historis. Telaah atas pelbagai corak dan tingkat ilmu serta identifikasi metode-metode khusus dan umum untuk masing-masing tipe ilmu tadi membentuk sebuah ilmu yang dikenal dengan metodologi atau, adakalanya, disebut dengan filsafat ilmiah atau juga logika praktis.