Taubat Orang Murtad

0
1362

STUDISYIAH.COM–Islam dalam berurusan dengan orang-orang yang belum menerimanya (Ahli Kitab) tidak pernah bertindak memaksa dan menyusahkan. Malah Islam mengajak mereka dengan dakwah secara berkesinambungan dan tabligh yang diimplementasikan secara logis. Bilamana mereka tidak menerima Islam dan bersedia menerima syarat-syarat dzimmah (dilindungi), mereka dapat hidup bersamaan kaum muslimin secara damai. Dalam keadaan seperti ini, mereka tidak hanya dijamin keamanannya, tetapi Islam juga memikul penjagaan harta, jiwa dan kepentingan-kepentingan mereka yang lainnya.

Akan tetapi, berkenaan dengan orang-orang yang telah memeluk Islam, lalu berpindah ke agama lain, Islam sangat ketat memperlakukan mereka. Lantaran hal ini akan menyebabkan kegoncangan dalam komunitas Islam dan termasuk sebuah pembangkangan terhadap sebuah pemerintahan Islam. Galibnya, mereka memiliki niat jahat yang dengan itu rahasia komunitas Islam akan jatuh ke tangan musuh.

Oleh karena itu, orang-orang yang dilahirkan dari kedua orang tua Muslim seperti ini dan berpindah ke agama lain, maka darahnya —berdasarkan ketetapan pengadilan— terhitung mubah. Hartanya harus dibagikan kepada pewarisnya dan istrinya harus berpisah darinya, serta taubatnya —secara lahiriah— tidak diterima. Maksudnya, ketiga hukum di atas (darahnya terhitung mubah, hartanya harus dibagikan kepada ahli warisnya dan istrinya harus bercerai darinya) harus diterapkan terhadap orang-orang seperti ini. Meskipun demikian, jika ia benar-benar menyesal, taubatnya pasti akan diterima di haribaan Tuhan (Apabila pelaku kesalahan itu adalah seorang wanita, taubatnya secara mutlak akan diterima).

Akan tetapi, apabila seseorang meninggalkan Islam dan ia bukanlah seorang keturunan Muslim, Islam masih memberikan tenggang kepadanya untuk bertaubat. Dan apabila ia bertaubat, maka taubatnya akan diterima dan seluruh hukuman akan terlepas darinya.

Mungkin sebagian orang akan mengkritik, jika hukum politik murtad secara fitri ini dikenakan ke atas mereka sementara mereka tidak mengetahui hukum ini, hal tersebut barangkali termasuk sebagai salah satu jenis kekerasan, pemaksaan akidah dan menafikkan kebebasan.

Baca juga :   Memecahkan Berbagai Masalah Fundamental Kehidupan

Akan tetapi, yang harus kita perhatikan adalah bahwa hukum ini tidak akan dijatuhkan atas seseorang yang hanya sekedar memiliki satu keyakinan dalam hatinya dan tidak berusaha untuk menampakkannya pada level kehidupan sehari-hari. Jika ia telah mengekspresikan dan mengeluarkan statemen —yang pada kenyataannya— menentang pemerintahan yang mengatur sebuah kehidupan sosial, terang bahwa kekerasan semacam ini bukan tanpa dalil, dan sangat selaras dengan masalah kebebasan berpikir. Aturan semacam ini juga terdapat pada negara-negara Timur dan Barat dengan perbedaan-perbedaan yang ada.

Poin ini juga perlu mendapatkan perhatian bahwa menerima Islam harus sesuai dengan logika, khususnya bagi mereka yang terlahir dari seorang ibu dan bapak Muslim dan mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga Muslim. Nampaknya sangat kecil kemungkinan bahwa ia tidak mengetahui hukum-hukum Islam. Oleh karena itu, berpindahnya ke agama lain dengan maksud konspirasi dan berkhianat adalah lebih benar ketimbang alasan terjerembab dalam kesalahan dan tidak dapat memahami kebenaran. Jelas, orang seperti ini layak untuk mendapatkan hukuman.

Dalam pada itu, sebuah hukum sekali-kali tidak akan pernah memperhitungkan seseorang atau dua orang, akan tetapi ia lebih memntingkan mayoritas. Oleh karena itu, ia harus dinilai secara kolektif (Tafsir Nemûneh, jld. 11, hlm. 426).

Pada hakikatnya, hukum ini memiliki filsafat asasi. Dan filsafatnya adalah menjaga medan interen negara Islam, mencegah keterpurukannya, dan penetrasi bangsa asing dan munafikin. Sebab, murtad sejatinya adalah salah satu jenis pembangkangan terhadap negara Islam. Mayoritas hukum internasional dewasa ini juga menghukumnya dengan eksekusi/pancung.

Sekiranya diberikan izin kepada setiap seorang untuk memperkenalkan dirinya sebagai Muslim setiap hari dan pada hari itu juga ia meninggalkan Islam, maka segera medan interen Islam lambat laun akan porak-poranda. Dan jalan akan terbuka bagi para musuh untuk melakukan penetrasi dan tindakan memporak-porandakan. Akibatnya, kondisi anarki di seantero masyarakat Islam akan terjadi. Oleh karena itu, hukum berkenaan dengan murtad yang telah disebutkan di atas, sejatinya adalah hukum politik yang dijatuhkan untuk menjaga kestabilan pemerintahan dan masyarakat Islam. Berjuang melawan kekuatan dan unsur-unsur asing adalah wajib hukumnya.

Baca juga :   Peran Akidah dalam Kebahagiaan Manusia

Terlepas dari masalah ini, seseorang yang telah melakukan penelitian dan menerima ajaran seperti Islam, kemudian meninggalkannya dan berpindah kepada ajaran lain, galibnya tidak memiliki motivasi yang valid dan legitimated. Oleh karena itu, orang seperti ini dapat dikenakan hukuman berat. Dan apabila hukum ini nampak lebih ringan terhadap wanita, hal itu dikarenakan seluruh hukuman yang dikenakan kepada kaum wanita memang mendapat keringanan. (Tafsir Nemûneh, jilid. 2, hlm. 497).

(Visited 528 times, 1 visits today)

Leave a reply