Hukum Islam dan Kebutuhan Esensial Manusia

STUDISYIAH.COM–Cukup jelas kiranya bahwa faktor utama terwujudnya aturan-aturan sosial adalah kebutuhan-kebutuhan manusia dalam hidupnya. Masalahnya, atas kriteria dan tolok ukur apakah kita dapat memastikan bahwa kebutuhan manusia ini dan itu adalah kebutuhan hakiki manusia yang mau tidak mau harus dipenuhi?
Disadari atau tidak, sebenarnya ini sudah sangat jelas. Di sini timbul pertanyaan, apakah mungkin manusia keliru dalam mengenali kebutuhan-kebutuhannya? Setiap kali melihat dirinya membutuhkan sesuatu, apakah pada kenyataannya ia memang benar-benar membutuhkan sesuatu itu sehingga kebahagian hakikinya terletak pada pemenuhan kebutuhan tersebut? Apakah acapkali manusia punya kebutuhan harus segera memenuhinya?
Kriteria Pendapat Mayoritas
Telah dijelaskan berkali-kali bahwa kebanyakan orang di zaman ini percaya bahwa tolok ukur menentukan kebutuhan mana yang harus dipenuhi adalah pendapat mayoritas masyarakat. Tetapi kenyataannya, justru pendapat masyarakat itu seringkali bertentangan satu sama lain. Kalaupun ada kesamaan pendapat, itu hanya bagi kalangan tertentu saja dan tak dapat dibandingkan dengan banyaknya silang pendapat.
Jika kenyataannya sudah seperti itu, maka yang menang adalah pendapat mayoritas. Yang dimaksud dengan mayoritas dan kebanyakan di sini yaitu lima puluh satu persen di atas empat puluh sembilan persen dari jumlah masyarakat. Jadi, pendapat minoritas masyarakat tak lagi berarti; hak-hak mereka tak dipenuhi, dan kebebasan mereka diabaikan.
Tentu saja, tidak dapat dipungkiri bahwa keinginan seseorang berkaitan langsung dengan kondisi hidupnya. Orang kaya yang segala kebutuhannya telah terpenuhi, yang ada di pikirannya adalah keinginan yang tidak dijumpai di benak pengemis miskin. Lain halnya dengan orang yang kelaparan, setiap kali menemui makanan, dia akan menyantapnya, entah enak maupun tidak, tak peduli itu milik siapa. Jelas sekali perbedaan kondisi hidup kedua orang ini. Bagi orang yang hidupnya dipenuhi kenikmatan materi, dalam benaknya selalu terdapat angan-angan yang sama sekali tak dapat ditemukan ketika ia berada dalam kondisi yang buruk.
Atas dasar ini, setiap kali kebutuhan-kebutuhan suatu zaman telah terpenuhi lalu digantikan dengan munculnya kebutuhan-kebutuhan yang baru, maka dengan sendirinya manusia akan merasa tak perlu lagi kepada sejumlah aturan lama, dan sebagai gantinya mereka membuat aturan baru atau mungkin mengubah aturan lama dan mengembangkannya. Ini yang menyebabkan masyarakat modern selalu mengubah-ubah aturan dan tata hukum mereka dan menjadikan atuan-aturan baru sebagai ganti dari yang lama.
Sayangnya, kriteria pembuatan aturan mereka adalah pendapat kebanyakan di antara diri mereka sendiri. Dengan demikian, aturan yang diinginkan dan disepakati oleh kebanyakan orang akan menjadi aturan resmi yang harus dijalankan bersama, meskipun pada hakikatnya tidak terlalu penting untuk mereka dan bahkan tidak ada maslahatnya sama sekali.
Sebagai contoh, seorang pria berkebangsaan Perancis yang hidup di negaranya sendiri. Kebetulan, pemerintah di sana berencana menyelenggarakan program pendidikan bagi seluruh warga Perancis yang berkelamin laki-laki. Itu pun baru terlaksana pada abad 20, bukan abad 10, bukan pula untuk lelaki yang tidak berwarga negara Perancis.
Di sini perlu diteliti, faktor apa yang membuat adanya rencana pemerintah Perancis melakukan hal itu? Mengapa hanya di abad 20 program itu baru terlintas dalam pikirannya? Apakah tidak ada kesamaan antara masyarakat yang hidup di suatu tempat dengan masyarakat yang hidup di tempat lain? Apakah tidak ada kesamaan antara generasi yang hidup di suatu zaman dengan generasi yang hidup di zaman yang lain?
Apakah hakikat kemanusiaan—yang sebagian kebutuhannya berkaitan dengannya dan sebagian lainnya berkaitan dengan dinamika kehidupan, perpindahan tempat, dan lain sebagainya—secara bertahap telah berubah? Bagaimana dengan manusia pada awal mulanya, misalnya, tidak pernah memiliki mata, telinga, tangan, kaki, otak, jantung, ginjal, paru-paru, hati, dan sistem pencernaan sebagaimana yang kita miliki saat ini? Apakah kerja organ tubuh kita berbeda dengan kerja organ tubuh yang lain?
Apakah kondisi-kondisi yang pernah dialami orang-orang di zaman dahulu seperti peperangan, pertumpahan darah atau perdamaian dan persaudaraan, memiliki arti selain penumpasan nyawa atau pelestarian nyawa manusia?
Apakah rasa mabuk yang dirasakan peminum, misalnya, di zaman Jamshid berbeda dengan rasa mabuk yang dirasakan oleh pecandu miras di zaman ini? Apakah nikmatnya mendengar musik yang dirasakan orang di zaman itu berbeda dengan yang dirasakan pecinta musik di zaman ini?
Singkatnya, apakah esensi manusia di zaman dahulu berbeda dengan esensi manusia di zaman ini? Apakah kondisi dan situasi hidup serta kelakuan orang zaman dahulu berbeda total dengan orang-orang zaman ini?
Jawaban semua pertanyaan ini tentu saja “tidak”. Kita sama sekali tidak bisa mengatakan bahwa secara bertahap kemanusiaan telah punah dan kini jadi sesuatu yang lain telah menggantikannya atau kelak akan ada manusia yang menggantikannya. Kita juga tidak bisa menyatakan bahwa kebutuhan kemansiaan manusia sama sekali tidak memiliki kesamaan, padahal semua manusia memilki esensi kemanusiaan yang sama, baik bagi yang berkulit putih dan berkulit hitam, tua dan muda, pandai dan bodoh, orang kutub dan orang khatulistiwa, orang zaman dahulu dan orang zaman sekarang.
Ya, kebutuhan-kebutuhan hakiki seperti ini memang ada. Dan itu memerlukan aturan-aturan yang tetap yang tak ada kaitannya dengan aturan-aturan yang dapat berubah. Kita tidak pernah menemukan sekelompok orang yang diam saja dan tidak melakukan perlawanan terhadap musuh yang membahayakan diri mereka. Dan jika perlawanan tersebut hanya dapat diselesaikan dengan cara membunuh musuh, mustahil mereka tidak memperbolehkan cara tersebut demi keselamatan diri mereka sendiri.
Kita tidak pernah menemukan sekelompok orang yang melarang sesamanya untuk tidak makan dan minum, padahal makanan dan minuman adalah kebutuhan hidup mereka. Kita juga tidak pernah menemukan sekelompok orang yang melarang sesamanya untuk tidak menggauli istrinya tanpa alasan yang benar. Banyak sekali hal-hal yang serupa dengan permasalahan ini yang menujukkan adanya beberapa aturan dan peraturan yang tak dapat dirubah.
Dengan keterangan di atas, beberapa permasalahan di bawah ini telah menjadi jelas:
- Faktor utama terbentuknya kehidupan sosial dan aturan-aturannya adalah kebutuhan-kebutuhan hidup umat manusia.
- Setiap kaum, bahkan kaum terbelakang dan tak berperadaban sekalipun, pasti memiliki adat istiadat dan aturan-aturan tertentu.
- Menurut penduduk dunia sekarang, tolok ukur yang menentukan kebutuhan-kebutuhan hakiki yang harus dipenuhi adalah suara mayoritas masyarakat.
- Pendapat dan suara mayoritas tidak selamanya sesuai dengan kemaslahatan bersama dan kebenaran yang hakiki.
- Ada beberapa aturan dan peraturan yang dapat diubah. Ini adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan situasi dan kondisi tertentu hidup manusia. Tetapi ada pula aturan yang berkaitan dengan esensi kemanusiaan yang dimiliki semua orang dan tidak ada perbedaan antara kemanusiaan seseorang dengan kemanusiaan orang yang lain di manapun mereka berada dan kapanpun mereka hidup.
Sumber:
Muhammad Husain Thabathaba’i, Islam va Insan-e Mu’asher, Majma’ Jahani Ahlul Bait, Qom, 1379 HS.