Sekilas Sejarah Filsafat Abad Pertengahan

0
1805

STUDISYIAH.COM–Setelah agama Kristen tersebar dan kekuasaan Gereja bergabung dengan Kekaisaran Romawi, pusat-pusat ilmu pengetahuan jatuh di bawah pengaruh aparat pemerintahan sedemikian hingga, pada abad 6 M (sebagaimana telah dikemukakan), universitas dan sekolah filsafat di Athena dan Aleksandria ditutup. Periode yang berlangsung kurang-lebih seribu tahun ini disebut dengan Abad Pertengahan, dicirikan dengan dominasi Gereja atas pusat-pusat ilmu pengetahuan dan program-program sekolah serta universitas.

Di antara tokoh terpandang di Abad Pertengahan adalah Santo Agustinus. Dialah orang yang mencoba menggunakan prinsip-prinsip filsafat, utamanya pandangan-pandangan Plato dan Neo-Platonis, untuk membuktikan dogma-dogma kekristenan. Sesudahnya, beberapa wacana filsafat dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Akan tetapi, sikap sinis terhadap pemikiran Aristoteles masih bertahan lantaran dikira menentang doktrin-doktrin agama hingga dilarang pengajarannya.

Namun, seiring dengan berkuasanya kaum Muslimin atas Andalusia (Spanyol) dan merembasnya kebudayaan Islam ke dataran Eropa Barat, pemikiran para filosof Muslim seperti: Ibn Sina dan Ibn Rusyd (1126-1198), sedikit-banyak menjadi bahan perbincangan. Melalui buku-buku para filosof Muslim ini para sarjana Kristen berkenalan dengan pandangan dan pemikiran Aristoteles.

Lambat-laun, anggota-anggota Gereja tidak lagi sanggup membendung arus pemikiran filsafat itu dan, pada akhirnya, Santo Thomas Aquinas (1225-1274) menerima sebagian besar pandangan filosofis Aristoteles, seperti yang ia tuangkan dalam buku-bukunya. Berangsur-angsur perlawanan terhadap Aristoteles memudar, bahkan kemudian mendominasi beberapa pusat ilmu pengetahuan.

Alhasil, di Abad Pertengahan, filsafat tidak senantiasa berkembang di negeri-negeri Barat; adakalanya ia juga mengalami masa kemunduran. Berbeda dengan di dunia Islam yang aktif sebagai lahan pengembangan dan wahana pengayaan ilmu pengetahuan secara berkelanjutan, wacana-wacana yang bisa menjustifikasi dogma-dogma Kristen – dogma-dogma yang agaknya tidak bebas dari penyimpangan – tak pelak diajarkan dengan nama filsafat Skolastik di sekolah-sekolah Eropa yang berafiliasi ke Gereja. Tidak syak lagi, filsafat semacam ini tidak cukup kuat bertahan di hadapan kematian dan kemusnahan.

Baca juga :   Metode Penelitian Filsafat

Dalam filsafat Skolastik, selain logika, teologi, etika, politik dan sebagian tema filsafat alam dan astronomi yang diterima Gereja, perbincangan tentang tata bahasa dan retorika juga terserap dalam kurikulum. Dengan begitu, filsafat pada periode ini punya pengertian dan cakupan cukup luas (dibandingkan sekarang).

Renaisans dan Perubahan Menyeluruh Pola Pikir
Sejak abad 14, landasan sebuah perubahan menyeluruh telah terbangun di atas beragam faktor:

Pertama, merebaknya Nominalisme dan pengingkaran atas keberadaan konsep-konsep universal di Inggris dan Perancis. Aliran ini berperan efektif melemahkan dasar-dasar filsafat.

Kedua, perdebatan dan keraguan seputar filsafat alam Aristoteles di Universitas Paris.

Ketiga, berhembusnya isu ketakselarasan antara filsafat dan dogma-dogma Kristen, atau antara akal dan agama.

Keempat, konflik dan perseteruan antara penguasa-penguasa masa itu dan otoritas-otoritas Gereja, bahkan perselisihan antar-otoritas Gereja sendiri yang berbuntut pada kemunculan Protestantisme.

Kelima, memuncaknya paham humanisme dan tendensi berurusan dengan masalah-masalah kehidupan manusia sembari mencampakkan masalah-masalah metafisis dan ketuhanan.

Dan akhirnya, keenam, pada pertengahan abad 15, Kekaisaran Bizantium runtuh, perubahan total di pelbagai bidang: politik, filsafat, kesusastraan dan keagamaan, menebar di seluruh dataran Eropa, dan institusi kepausan diserang dari pelbagai arah. Dalam konstelasi ini, filsafat Skolastik yang lemah itu pun menemui nasib akhirnya.

Pada abad 16, minat pada ilmu-ilmu alam dan empiris meningkat pesat dan, bersama temuan-temuan Copernicus (1473-1543), Kepler (1571-1630) dan Galileo (1564-1642), telah mengguncang dasar-dasar astronomi Ptolemaeus (w. 168) dan filsafat alam Aristoteles. Singkatnya, semua aspek perikemanusiaan di Eropa bergejolak dan terguncang.

Kepausan berhasil, sampai batas tertentu, menahan gelombang-gelombang besar transformasi tersebut. Olehnya, institusi ini menyeret para ilmuwan ke hadapan Inkuisisi dengan tuduhan: mereka menolak dogma-dogma agama, yakni gagasan-gagasan tentang filsafat alam dan kosmologi yang diakui Gereja sebagai tafsiran Injil dan ajaran-ajaran agama. Tidak sedikit ilmuwan yang kemudian dibakar hidup-hidup dengan alasan fanatisme buta dan kepentingan otoritas-otoritas Gereja. Bagaimanapun, pada gilirannya, Gereja dan institusi kepausan itu yang justru terpukul mundur dengan hina dan malu.

Baca juga :   Argumentasi atas Hudûts Alam

Perilaku fanatik dan kasar Gereja Katolik hanya menyisakan pandangan sinis masyarakat terhadap otoritas-otoritas Gereja dan, secara umum, terhadap agama, sebagaimana kejatuhan filsafat Skolastik sebagai satu-satunya filsafat yang populer pada masa itu telah menciptakan kekosongan intelektual dan filosofis, hingga akhirnya memunculkan skeptisisme modern. Sepanjang situasi itu, satu-satunya yang mengalami kemajuan adalah humanisme dan hasrat pada ilmu-ilmu alam dan empiris di bidang kebudayaan, serta kegandrungan pada liberalisme dan demokrasi di bidang politik.

Skeptisisme Tahap Kedua
Selama berabad-abad, Gereja menebarkan perbagai pandangan dan gagasan sejumlah filosof sebagai ajaran-ajaran agama, sehingga orang-orang Kristen menerima semua itu sebagai hal yang pasti-benar dan suci, di antaranya pandangan-pandangan kosmologis Ptolemius dan Aristoteles yang lantas dijungkirkan oleh Copernicus dan disadari kekeliruannya oleh sarjana yang lain. Seperti telah disebutkan, perlawanan dogmatis dan perilaku keji otoritas-otoritas Gereja terhadap para ilmuwan justru memunculkan reaksi bermusuhan.

Perubahan dalam pemikiran dan keyakinan serta rontoknya fondasi-fondasi rasional dan filosofis di atas telah membangkitkan guncangan di kalangan sarjana dan membersitkan pertanyaan kritis dalam benak mereka: bagaimana kita bisa memastikan bahwa keyakinan kita yang lain tidak salah dan kesalahan itu suatu saat menjadi jelas; bagaimana kita bisa tahu teori-teori ilmiah yang baru ditemukan tidak akan dikelirukan suatu hari nanti?

Bahkan, sarjana besar seperti: Michel Eyquem de Montaigne (1533-1592) asal Perancis, mengingkari nilai pengetahuan dan secara tegas menuliskan: bagaimana kita bisa yakin bahwa teori Copernicus tidak akan digugurkan di masa mendatang? Montaigne sekali lagi mengungkapkan keragu-raguan kalangan skeptis dan sofis dengan gaya baru; ia membela skeptisisme dan, dengan demikian, genderang babak baru skeptisisme ditabuh.

Sumber:
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Amuzesh-e Falsafeh, pelajaran 2.

Baca juga :   Filsafat Perbudakan dalam Islam
(Visited 506 times, 1 visits today)

Leave a reply