Sejarah Singkat Ilmu Hadis Syiah (1)

Sejarah perhadisan dalam Syiah sangat panjang. Dari satu sudut pandang sejarah, dapat dibagi ke dalam beberapa periode:
Periode Pertama
Bertolak dari upaya yang dilakukan oleh Ahlul Bait a.s. dan para sahabatnya, penulisan hadis dalam sejarah peradaban Syiah, pada masa-masa pelarangan penulisan hadis, tidak pernah mengalami kemandegan, akan tetapi terus berlanjut sampai pada masa kodifikasi dan penyusunan kitab-kitab induk hadis Syiah. Penulisan itu lebih banyak merupakan penukilan dan penyalinan dari tulisan-tulisan yang ada dibanding dengan bersandar kepada penukilan lewat lisan.
Pada periode paling awal dari sejarah hadis Syiah, telah muncul penulisan-penulisan hadis seperti: kitab Salman, Kitab Abu Dzar dan lain-lain, yang semuanya sudah tidak ada di tangan kita sekarang, tetapi hanya sejarah saja yang memberikan informasi tentang keberadaan kitab-kitab yang sangat berharga tersebut. Dan sebagiannya lagi seperti: kitab Imam Ali a.s., yang saat ini berada di tangan mulia Imam Zaman ajf., Nahj Al-Balaghah, dan Al-Shahifah Al-Sajjadiyah, saat ini ada bersama kita.
Kitab Imam Ali a.s. merupakan kumpulan riwayat-riwayat yang dibacakan langsung oleh Nabi SAW dan dicatat langsung pula oleh Imam Ali a.s. Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, ukuran kitab ini sekitar 70 zira’ dan di dalamnya berisi hukum-hukum yang dibutuhkan umat sampai hari kiamat, dan hanya sahabat-sahabat khusus para imam Ahlul Bait a.s. saja yang pernah melihat langsung kitab tersebut. Kitab itu merupakan sebuah pusaka besar dalam bidang riwayat dan hadis yang saat ini berada di tangan Imam Zaman ajf.
Mushaf Fathimah adalah kumpulan riwayat dan hadis yang isinya berkaitan dengan masalah-masalah seperti: peristiwa-peristiwa umat, khususnya peristiwa yang terjadi atas keturunan Siti Fathimah a.s. Mushaf Fathimah ini bukanlah distorsi terhadap Al-Quran, bukan pula versi lain dari Al-Quran, tetapi ia adalah kitab lain dengan isi yang tersebut tadi. Adapun Al-Quran sudah utuh dan tidak mengalami distrosi, pengurangan ataupun menambahan.
Dengan bersandar pada riwayat-riwayat sejarah, paska wafat Nabi SAW, Imam Ali a.s.atas perintah Nabi SAW mulai menyusun ayat-ayat dan surah-surah Al-Quran berdasarkan kronologi turunnya (asbab al-nuzul) serta mencatat tafsir dan tawil setiap ayat. Dengan usaha ini, terbentuklah mushaf Imam Ali a.s. Kitab ini dianggap sebagai salah satu sumber Syiah paling tua dalam bidang riwayat, karena ia mengandung riwayat-riwayat yang berisi tentang tafsir.
Adapun Nahj Al-Balaghah, yang berarti metode berbicara, secara ideal adalah nama dari kumpulan pidato, khutbah, surat dan kata-kata hikmah Imam Ali a.s. yang dikoleksi dan dibukukan oleh Sayyid Radhi (w. 406 H). Sayyid Radhi sendiri mengakui bahwa Nahj Al-Balaghah yang ada di tangan kita saat ini merupakan hasil seleksi dari sepertiga ucapan Imam Ali a.s. Nahj Al-Balaghah berisi 241 pidato, 79 surat dan 480 hikmah. Dengan muatan yang luar biasa dan keindahan susunannya, Nahj Al-Balaghah diklaim sebagai “kata-katanya lebih rendah dari kalam Tuhan dan lebih tinggi dari kalam manusia”.
Sementara Shahifah Sajjadiyah merupakan kumpulan doa-doa Imam Ali Zainal Abidin a.s. Doa itu diucapkan oleh beliau semasa hidupnya dan dalam berbagai peristiwa. Meskipun sanad kitab ini terputus, namun ketinggian ucapan Imam dan muatannya yang menggambarkan pengetahuan irfan dan pengetahuan Al-Quran menegaskan keberasalannya dari manusia suci (Imam Ali Zainal Abidin a.s.). Shahifah Sajjadiyah sekarang ini memiliki 54 naskah doa.
Periode Kedua
Periode kedua perjalanan sejarah hadis Syiah adalah periode yang disebut dengan “Periode Ushul Arba’umiah (Prinsip-prinsip 400)”. Maksud dari Ushul Arba’umiah adalah sebuah kumpulan hadis dan riwayat dari sejak Imam Ali a.s. sampai Imam Hasan Al-Askari a.s., khususnya hadis dan riwayat yang ada pada masa Shadiqain (Imam Al-Baqir a.s. dan Imam Al-Shadiq a.s.).
Ushul Arba’umiah pada umumnya tidak memuat ijtihad (pendapat ulama penyusun) dan pengungkapan pendapat pribadi seorang perawi, akan tetapi hanya langsung menukil ucapan para imam Ahlul Bait a.s. Dan hal inilah yang membedakannya dengan kitab. Atas dasar ini, Ushul Arba’umiah merupakan tulisan-tulisan dimana pada bagian-bagian yang terdapat riwayat-riwayat para imam Ahlul Bait a.s., tidak ditemukan campur tangan atau intervensi, juga riwayatnya tidak disusun dan didisiplinkan secara per-bab.
Para penyusun Al-Kutub Al-Arba’ah (empat kitab induk hadis) dalam mewujudkan kitab-kitab Jawami’ Awwaliyah (kitab-kitab induk hadis perdana) menggunakan riwayat-riwayat yang ada pada Ushul Arba’umiah. Ini menunjukkah penting dan tingginya posisi Ushul Arba’umiah.
Kendatipun Ushul Arba’umiah ada sampai pada masa Syaikh Thusi (w. 460 H), namun yang sampai pada Allamah Al-Majlisi (w. 1111 H), hanya sekitar 16 ushul (prinsip). Kodifikasi Jawami’ Riwai (kitab-kitab induk riwayat) dan pembakaran atas perpustakaan Syaikh Thusi merupakan faktor-faktor yang diprediksi sebagai penyebab hilangnya Ushul Arba’umiah.
Periode Ketiga
Yaitu periode kodifikasi. Pada periode ini, terdapat empat kitab hadis, yaitu:
a. Al-Kafi, karya Tsiqatul Islam Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini (w. 329 H).
b. Man La Yahdhuruhu Al-Faqih, karya Muhammad bin Ali bin Babuyah Syaikh Shaduq, (w. 381 H).
c. Tahzib Al-Ahkam, karya Syaikh Al-Thaifah Muhammad bin Hasan Al-Thusi (w. 460 H).
d. Al-Istibshar fi ma I’khtalafa min Al-Akhbar, karya Syaikh Al-Thaifah Muhammad bin Hasan Al-Thusi (w. 460 H).
Perlu diketahui bahwa Madinah Al-‘Ilm, yang merupakan salah satu karya lain Syaikh Shaduq, juga diklasifikasikan sebagai kitab induk hadis Syiah yang kelima, kendatipun saat ini tidak ada wujudnya.
Tsiqatul Islam Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini lahir sekitar tahun 255 H di sebuah desa bernama Kulain yang terletak di kota Rey. Dengan keilmuan dan posisi spiritualnya, seluruh ulama Syiah menyanjungnya. Tulisan-tulisan beliau serta komentar-komentarnya di sela-sela riwayat-riwayat yang ada dalam Al-Kafi menunjukkan bahwa selain dalam bidang hadis, beliau juga seorang yang handal dalam ilmu kalam (teologi), fiqih, tafsir, dan sejarah.
Al-Kafi merupakan kitab induk hadis Syiah paling awal dan sangat penting yang mencakup sekitar 16199 riwayat dan disusun ke dalam tiga bagian: ushul (prinsip-prinsip agama) dua jilid, furu’ (cabang-cabang agama) enam jilid, dan Raudhah satu jilid. Al-Kulaini menyusun kitab Al-Kafi selama 20 tahun yang dimotivasi oleh keinginan untuk meluruskan agama di tengah masyarakat dan mencegah dari perpecahan. Nilai dan keistimewaan khusus Al-Kafi adalah komprehensif dan sistematis.
Kendati ada sebagian kalangan seperti: Mulla Khalil Qazwini, meragukan penisbahan Raudhah kepada Al-Kafi, namun umumnya para ahli hadis Syiah menyangkal keraguan tersebut dengan alasan: adanya kesesuaian riwayat-riwayat Raudhah dengan sanad-sanad seluruh riwayat-riwayat Al-Kafi dan adanya jarak masa antara Ibnu Idris dengan tingkatan kedelapan atau kesembilan para perawi, selain itu Najasyi dan Syaikh Thusi sudah ada sebelum Ibnu Idris, dan mereka mengakui bahwa Raudhah merupakan bagian dari Al-Kafi.
Syaikh Shaduq Abu Ja’far Muhammad bin Ali Babuyah Al-Qumi, atau yang dikenal juga dengan nama Syeikh Shaduq, merupakan salah seorang ulama dan ahli hadis tersohor Syiah, dimana berkat doa Imam Zaman afj. ia lahir di tengah-tengah sebuah keluarga yang berpendidikan. Selama kehidupan ilmiahnya, Syaikh Shaduq sangat dihormati oleh penguasa, di antaranya oleh Al (keluarga) Buweih. Ia memiliki jumlah karya sebanyak 250 tulisan, di antaranya kitab Man La Yahdhuruh Al-Faqih. Syaikh Shaduq wafat pada tahun 381 H dan dimakamkan di kota Rey.
Man La Yahdhuruh Al-Faqih merupakan kitab induk hadis kedua Syiah yang, dari sisi kekunoan dan validitas, berada setelah Al-Kafi. Kitab ini memuat 5998 riwayat dan disusun guna mempelajari fikih secara otodidak (tanpa pembimbing) dan juga disusun dalam rangka memenuhi permintaan salah seorang sahabat dekat Syaikh Shaduq serta mencontoh kitab Man La Yahdhuruh Al-Thabib, karya Muhammad bin Zakaria Al-Razi.
Di antara kekhususan kitab Man La Yahdhuruh Al-Faqih adalah fikusnya hanya pada riwayat-riwayat yang ada kaitannya dengan fikih, tidak mencantumkan sanad-sanad riwayat kecuali perawi terakhir, dan sejumlah riwayat hanya menyebutkan nama imam maksum a.s., dan menyebutkan pandangan-pandangan fikih di sela-sela penukilan riwayat.
Abu Ja’far Muhammad bin Hasan Thusi, yang lebih dikenal dengan nama Syaikh Al-Thaifah atau Syaikh Thusi, lahir pada tahun 385 H di Thus, Khurasan. Setelah mengenyam dan menjalani pendidikan serta bimbingan dari beberapa guru besar seperti: Syaikh Mufid, beliau mencapai maqam dan kedudukan yang tinggi dan, setelah peristiwa serangan sekelompok fanatis ke rumah beliau di Mahallah Karakh, Baghdad, beliau berangkat menuju kota Najaf dan di sana beliau mendirikan Hauzah Ilmiyah Najaf.
Karya-karya ilmiah Syaikh Thusi dalam berbagai topik keagamaan dijadikan sebagai dasar-dasar serta pondasi ajaran Syiah dan merupakan bukti akan keluasan ilmu dan perhatian besar beliau.
Tahzib Al-Ahkam dan Al-Istibshar fi ma Ikhtalafa min Al-Akhbar merupakan dua kitab induk hadis dari Syaikh Thusi yang dikenal sebagai kitab riwayat yang berada pada urutan ketiga dan keempat dari kitab induk hadis Syiah dengan alasan: riwayat kitab ini banyak berrujuk Ushul Arba’umiah, juga muatannya sangat akurat. Secara istilah, kedua kitab ini disebut sebagai Tahzibain.
Pada dasarnya, Tahzib Al-Ahkam merupakan komentar dan keterangan riwayat atas kitab Al-Muqni’ah karya Syaikh Mufid, mirip dengan kitab hadis Wasa’il Al-Syi’ah juga merupakan penjelasan riwayat atas buku fikih Syara’i’ Al-Islam, karya Muhaqqiq Al-Hilli. Tahdzib Al-Ahkam mencakup 13988 riwayat, dicetak dan dipublikasikan dalam 10 jilid. Syaikh Thusi menyusun kitab ini dalam rangka memberikan jawaban atas para penentang yang menganggap riwayat-riwayat Syiah itu banyak yang paradoks.
Refleksi lebih sempurna mengenai riwayat-riwayat terkait furu’ (cabang-cabang agama), refleksi riwayat-riwayat yang disepakati dan yang tidak disepakati, adanya penjelasan, tafsir dan takwil riwayat-riwayat merupakan ciri khas dari kitab Tahzib al Ahkam.
Selanjutnya, Al-Istibshar fi ma Ikhtalaf min Al-Akhbar merupakan karya kedua kitab hadis Syaikh Thusi. Ia adalah salah satu kitab keempat dari al-kutub al-arba’ah (empat kitab induk hadis) yang disusun setelah kitab Tahzib Al-Ahkam dalam rangka menertibkan serta menyempurnakan riwayat-riwayat yang dianggap bertentangan. Kitab ini memuat 5511 hadis, dicetak dan dipublikasikan dalam 4 jilid.
Secara umum, riwayat-riwayat dalam kitab dua kitab terakhir ini tidak disebutkan sanad-sanadnya atau perawinya kecuali perawi yang terakhir, dan di akhir kitab ini terdapat sebuah pasal yang dijuduli dengan nama Masyaikh (guru-guru perawi) dan di dalamnya disebutkan metode penulis dalam mencatat para perawi.
Dalam sejarah perhadisan Syiah, terdapat dua kelompok utama: Akhbariyyah dan Ushuliyyah. Antara kelompok Akhbariyah dan kelompok Ushuliyah terdapat perbedaan pandangan dalam menentukan kesahihan riwayat-riwayat yang ada dalam Al-Kutub Al-Arba’ah (empat kitab induk hadis).
Akhbariyah meyakini bahwa, dengan memperhatikan isi Al-Kutub Al-Arba’ah yang banyak menyandarkan dan mengambil riwayat dari kitab Ushul Arba’umiah, serta adanya pembelaan para penyusun kitab-kitab tersebut seperti yang termaktub dalam mukadimah setiap kitab atas kesahihan riwayat-riwayatnya, maka tidak mungkin seseorang bisa meragukan kesahihan dan kebenaran riwayat-riwayat tersebut.
Akan halnya Ushuliyah, selain menafikan argumentasi yang dikemukakan oleh Akhbariyah, memiliki pandangan yang jauh berbeda. Kaum Ushuliyah berkeyakinan bahwa, dengan adanya sejumlah riwayat lemah dalam kitab-kitab ini, maka klaim yang menyatakan atas kesahihan seluruh riwayat dalam Al-Kutub Al-Arba’ah itu pun terbantahkan dan ternafikan. Dengan alasan inilah, maka sebuah kemestian untuk melakukan analisis terhadap sanad dan matan dari setiap riwayat-riwayat empat kitab induk hadis tersebut secara terpisah. [RED]
Sumber: Ali Nashiri, Talkhish-e Asyna’i ba Ulum-e Hadits, jld. 1, Markaz-e Mudiriyyat, Qom, 1423 H.