Sejarah Ilmu Fiqih dan Fuqaha Syiah

STUDISYIAH.COM–Pada masa kenabian, proses ijtihad merupakan realitas yang sudah dilakukan oleh sejumlah sahabat, namun umat Islam pada masa itu sedapat mungkin merujuk kepada Nabi SAW untuk memperoleh keterangan agama tentang kasus kehidupan mereka. Pola hidup ini terus berlangsung pada masa imamah hingga era Kegaiban Besar (Ghaybah Kubra) dimana para imam suci Ahlul Bait a.s. aktif menerangkan hukum-hukum agama sampai imam kedua belas, Imam Mahdi a.s., mengalami Kegaiban Besar. Sebelumnya, beliau memperkenalkan para perawi hadis-hadis Nabi dan imam-imam suci Ahlul Bait a.s. sebagai perwakilan umum diri beliau, yaitu dalam sabda beliau yang berbunyi:
“Adapun kasus-kasus yang terjadi, maka rujukkanlah kepada para perawi hadis-hadis kami, karena sesungguhnya mereka adalah hujjahku atas kalian dan aku adalah hujjah Allah atas mereka” (Wasa’il Al-Syi’ah, jld. 18, hlm. 101, hadis 1-9).
Dengan izin untuk berijtihad dari imam maksum a.s., para fukaha Syiah belajar dan mengembangkan pola-pola ijtihad yang sahih dan mengajarkannya kepada para pelajar. Dalam hal ini, mereka menyusun sebuah silsilah guru-murid yang bersambung ke masa para imam maksum Ahlul Bait a.s. Bahkan dapat dikatakan bahwa sulit kiranya dijumpai adanya rangkaian silsilah guru-murid seperti yang mereka catat dengan teliti dan cermat yang terangkai dalam seribu empat ratus tahun.
Dalam dunia Islam, silsilah ini bukan hanya dalam ilmu Fikih dan di kalangan fukaha, tetapai juga dapat dijumpai dalam tradisi ilmu filsafat dan tasawuf. Meski demikian, di antara ilmu-ilmu keislaman, silsilah guru-murid dalam rangkaian yang bersambung dan panjang itu hanya dalam dijumpai pada kalangan fukaha Syiah dan hingga sekarang masih terus berlanjut dan bersambung.
Selain keberadaan para imam suci Ahlul Bait a.s., Ali bin Abu Rafi’ dikenal sebagai salah satu fukaha Syiah di masa hidup Nabi SAW, sedangkan Sa’id bin Musayyab adalah orang pertama yang menulis buku tentang fikih (Hasan Shadr, Ta’sis Al-Syi’ah li Funun Al-Islam, hlm. 298).
Sebelum populernya fikih argumentatif, sehimpunan riwayat yang mengandung hal ihwal mengenai hukum-hukum parsial diajarkan dalam berbagai halaqah pelajaran, namun dengan kehadiran Abu Aqil pada paruh pertama dari abad keempat penulis Al-Mutamassik bi Habl Al Al-Rasul, Ibn Junaid Iskafi penulis Tahdzib Al-Syi’ah li Ahkam Al-Syari’ah dan Al-Ahmadi fi Al-Fiqh Al-Muhammadi, pemikiran mereka berdua ini, meski ada penentangan dari pihak Syaikh Thusi (Rijal Al-Najasyi, nomor 312), justru merebut popularitas di kuliah-kuliah ilmiah. Metode fikih argumentatif ini kemudian di abad-abad selanjutnya dikembangkan oleh Ibn Idris, Allamah Hilli, Dua Fakih Syahid, Fadhil Miqdad, dan Ibn Fahd.
Syaikh Thusi (w. 460 H) adalah salah satu fukaha Syiah ternama yang berdiri di atas garis tengah antara tradisionalisme dan rasionalisme. Bukunya, Al-Nihayah, selama berabad-abad telah menjadi textbook fikih Syiah dan diajarkan di sekolah-sekolah agama. Kemudian Al-Sara’ir karya Muhammad ibn Idris Al-Hilli (w. 598 H), Syara’I Al-Islam, Al-Mu’tabar dan Mukhtashar Al-Nafi karya Muhaqqiq Al-Hilli dengan lebih dari 37 syarahnya, demikian pula Mukhtalaf Al-Syi’ah, Tabshirat Al-Muta’allimin, Tadzkirat Al-Fuqaha’, Qawa’id Al-Ahkam, Irsyad Al-Adzhan, Niyahat Al-Ahkam dan Talkhish Al-Muram karya Allamah Al-Hilli adalah karya-karya besar dalam abad ke-5 hingga abad ke-8 dan memenuhi kuliah-kuliah hukum Islam.
Selanjutnya, buku Kanz Al-fawa’id karya Amid Al-Din Abdul Muthalib ibn Muhammad Al-Husaini (w.753 H), Idhah Al-Fawa’id dan Hasyiyah Irsyad Al-Adzhan karya Fakhr Al-Muhaqqiqin Muhammad ibn Hasan Al-Hilli (w. 771 H) juga perlu disejajarkan dalam karya-karya besar fikih.
Selain itu, semua karya-karya Syams Al-Din Muhamad ibn Makki Al-‘Amili (w. 785 H) seperti: Alfiyah Al-Durus Al-Syar’iyyah, Ghayat Al-Murad, Dzikra Al-Syi’ah, dan Al-Lum’ah Al-Dimasyqiyyah merupakan textbook penting lainnya yang diajarkan di madrasah-madrasah agama sejak abada ke-8 hingga sekarang.
Pada abad ke-9, Kanz Al-Irfan karya Fadhil Miqdad (w. 826 H), Al-Muhadzdzab Al-Bari’ karya Ibn Fahd Al-Hilli (w. 841 H), dan Ghayat Al-Muram karya Muflih ibn Husain Shumairi (w. 887 H), dan pada abad ke-10 kitab Al-Rawdhat Al-Bahiyyah dan Masalik Al-Afham karya Syahid Kedua, Zain Al-Din ibn Ali ibn Ahmad Al-‘Amili (w. 966 H) melengkapi textbook yang telah ada sebelumnya di sekolah-sekolah agama.
Setelah redupnya aliran pemikiran fikih Akhbari yang dipelopori oleh Muhammad Amin Istarabadi (w. 1036 H), lahir banyak buku-buku baru sebagai textbook dalam kelas-kelas pengajaran fikih. Buku-buku cenderung kepada argumentasi yang lebih kuat dari buku-buku textbook sebelumnya. Pada abad-abad ini, yakni abad ke-13 Hijriah, karya-karya ilmiah Kasyif Al-Ghitha’ Syaikh Ja’far (w. 1228 H), Riyadh Al-Masa’il karya Ali ibn Muhammad ibn Ali Thabathaba’I Karbala;I (w. 1231 H), Jami’ Al-Syatat, Ghana’im Al-Ayyam dan Manahij Al-Ahkam karya Abul Qasim ibn Husain Gilani Qummi (w. 1231 H), Mustanad Al-Syi’ah dan Manahij Al-Ahkam karya Ahmad ibn Muhammad Mahdi Al-Niraqi (w. 1245 H), Mathali’ Al-Anwar karya Hujatul Islam Syafti (w. 1260 H), Anwar Al-Faqahah karya Hasan ibn Ja’far Kasyif Al-Ghitha’ (w. 1262 H), Jawahir Al-Kalam karya Muhammad Hasan ibn Muhammad baqir Al-Najafi (w. 1266 H), semua buku-buku ini menjadi poros pengajaran dan referensi utama dalam kuliah-kuliah fikih
Setelahnya barulah muncul Al-Makasib karya Syaikh Murtadha Al-Anshari (w. 1281 H), Mishbah Al-Faqih karya H. Agha Ridha Hamadani (w. 1322 H), Urwat Al-Wutsqa karya Muhammad Kadzim Yazdi (w. 1337 H), Wasilat Al-Najah karya Sayyid Abul Hasan Isfahani (w. 1365 H). Buku-buku ini dalam dua abad belakangan ini, di samping buku-buku klasik seperti Tabshirat Al-Muta’allimin karya Al-Hilli dan Riyadh Al-Masa’il karya Thabathaba’i dan Jawahir Al-Kalam karya Syaikh Muhammad Hasan, telah masih menjadi textbook utama dalam kuliah-kuliah fikih.
Sumber: Sayyid Husain Mudarresi, Bunyad Pezuhesyha-e ISlami, Tehran, 2008.