Sarana-sarana Pengetahuan Menurut Al-Quran

Islam menyatakan bahwa manusia bisa memperoleh ilmu dan pengetahuan. Sebab itu, Al-Quran menyeru manusia untuk merenungi keajaiban-keajaiban bumi, langit, gunung, lautan, pepohonan, hewan, matahari, fenomena siang dan malam serta hal-hal lain di alam semesta. Apabila manusia tidak bisa mendapatkan pengetahuan, maka seruan untuk berpikir dan merenung akan menjadi sia-sia.
Berikut ini sarana-sarana pengetahuan bagi manusia:
1. Indra
Dengan indra penglihat, pendengar, perasa, pencium dan peraba yang dimilikinya, manusia dapat berhubungan dengan alam sekitarnya dan mengetahui berbagai hal. Tentu, pancaindra ini hanya dapat menjangkau hal-hal materi dan tidak dapat digunakan untuk mengetahui hal-hal non-materi seperti melihat malaikat dan Allah secara langsung, meski indra-indra ini bisa dijadikan perantara untuk mengenal Allah SWT.
2. Hati dan Akal
Jalan terbaik untuk mengenal hakikat dan memperoleh keyakinan adalah menggunakan akal dan argumentasi rasional. Al-Quran menyeru manusia untuk merenungi keajaiban penciptaan semesta hingga ia dapat mengenal Allah dan kekuasaan-Nya. Al-Quran berkata:
“Katakanlah: Lihatlah semua yang ada di langit dan bumi, namun tanda-tanda (kekuasan Allah) dan peringatan-peringatan tidak akan berguna bagi orang-orang yang tidak beriman” QS. Yunus:101).
Dalam Al-Quran juga disebutkan:
“Mengapa mereka tidak berkeliling di bumi sehingga mereka memiliki hati yang dapat digunakan untuk berpikir dan telinga yang dapat digunakan untuk mendengar. Sesungguhnya mata mereka tidak buta, tapi hati merekalah yang buta” (QS. Al-Hajj:46).
Al-Quran tidak hanya menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akal mereka, bahkan dalam beberapa tempat, al-Quran juga berargumentasi. Misalnya, Al-Quran menyatakan:
“Apabila di antara langit dan bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan hancur dan binasa. Mahasuci Allah pemilik `arsy dari sifat-sifat yang mereka berikan kepada-Nya.” (QS. Al-Anbiya: 22).
Ia juga mengatakan, Allah tidak memiliki anak dan tiada tuhan selain Dia. Bila ini terjadi, maka masing-masing tuhan akan pergi ke suatu arah bersama makhluk-makhluknya dan akan mencoba mengungguli tuhan-tuhan lain. Mahasuci Allah dari sifat-sifat yang mereka berikan kepada-Nya. (QS. Al-Mu`minun: 91).
Rasulullah saw dan para Imam as juga termasuk orang-orang yang menggunakan argumentasi. Terkadang mereka menggunakan argumentasi rasional untuk membuktikan salah satu prinsip agama. Mereka tidak memerintahkan para penentang untuk berdiam diri, bahkan berusaha membuktikan kebenaran dengan jalan argumentasi. Argumentasi-argumentasi Rasulullah saw dan para Imam as tercatat dalam sejarah.
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Islam adalah agama logika dan argumentasi. Islam menerima akal sebagai salah satu sarana pengetahuan dan menyeru para pengikutnya untuk menggunakan akal mereka. Tentunya, penggunaan akal yang benar memiliki syarat-syarat khas dan juga harus digunakan dalam batasan tertentu.
3. Penyucian Jiwa
Salah satu jalan mengenal hakikat adalah penyucian jiwa dan batin manusia. Sehubungan dengan ini disebutkan: Jiwa manusia adalah sebuah hakikat malakuti dan non-materi yang berpotensi menjangkau alam gaib tanpa melalui jalan akal. Penghalang pengetahuan semacam ini adalah noda dosa dan keterikatan duniawi dalam jiwa manusia. Sebab itu, bila manusia meningkatkan ketakwaannya, menyucikan dirinya dari dosa, mengurangi keterikatannya dengan materi dan menyinari jiwanya dengan zikir dan ibadah kepada Allah, ia akan mendapat taufik dari Allah untuk mengetahui hakikat. Para ulama berpedoman dengan ayat dan riwayat untuk membuktikan kebenaran sarana pengetahuan semacam ini.
Al-Quran mengatakan, Demi jiwa dan penyempurnaan ciptaan-Nya, kemudian Allah mengilhamkan jalan kefasikan dan ketakwaan kepada jiwa. Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya” (QS. Al-Syams: 7-10).
“Wahai orang-orang beriman, bila kalian bertakwa kepada Allah, maka Ia akan memberi kalian pengetahuan terhadap kebenaran, menutupi keburukan kalian dan mengampuni dosa kalian. Sesungguhnya Allah memiliki karunia dan keutamaan yang agung” (QS. Al-Anfal: 29).
Oleh karena itu, penyucian jiwa adalah hal terpuji yang memberikan kebahagiaan dan kesempurnaan kepadanya. Bila seseorang bertakwa dan membersihkan dirinya dari noda dosa, ia akan sampai ke sebuah derajat di mana ia dapat mengetahui hakikat dan membedakan kebenaran dari kebatilan.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang berbuat ikhlas siang-malam selama empat puluh hari, niscaya mata air hikmah dari hatinya akan mengalir dalam lisannya” (Bihâr al-Anwâr, jld. 70, hlm. 242).
Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib a.s. berkata, “Hati suci hamba-hamba Allah akan mendapat perhatian dari-Nya. Sebab itu, barang siapa yang menyucikan hatinya, maka Allah akan memperhatikannya” (Ghurar Al-Hikâm wa Durar Al-Kalim, hlm. 501).
Beliau juga berkata, “Sungguh beruntung orang yang hanya beribadah dan berdoa demi Allah, tidak menyibukkan hatinya dengan apa yang dilihat matanya, tidak melupakan Allah dengan apa yang didengar telinganya dan tidak bersedih dengan kenikmatan yang diberikan kepada orang selain dirinya” (Bihâr Al-Anwâr, jld. 70, hlm. 229).
Sayyidah Fathimah Zahra a.s. mengatakan, “Orang yang mengirimkan ibadah yang dilakukannya dengan ikhlas kepada Allah, akan mendapat maslahat terbaiknya dari Allah” (Ibid., hlm. 249).
Dari rangkaian ayat dan riwayat di atas, bisa disimpulkan bahwa jalan memperoleh pengetahuan tidak terbatas pada argumentasi rasional saja, bahkan ada jalan lain berupa penyucian jiwa dari dosa dan sifat tercela serta kesungguhan dalam beribadah dengan ikhlas. Melalui jalan ini, manusia juga dapat memperoleh pengetahuan.
Sebagian wali-wali Allah dan hamba-hamba yang dekat dengan-Nya telah menempuh jalan ini demi memperoleh keyakinan dan pengetahuan. Namun, menempuh jalan ini sukar dan tidak bisa dilakukan sembarang orang, karena ia memerlukan jihad melawan hawa nafsu.
4. Pemberitahuan para Nabi dan Imam Suci
Meskipun Islam menyeru para pengikutnya menggunakan akal dan menyebutnya sebagai sebuah nilai besar, namun metode dakwah para nabi as tidak hanya bertumpu pada argumentasi rasional. Bahkan, seringkali mereka memanfaatkan kejujuran dan perangai baik mereka untuk meyakinkan umat manusia.
Ketika Nabi Besar Islam bersabda kepada orang-orang, “Aku menyeru kalian untuk beriman dengan Allah dan tauhid, hidup kalian tidak akan berakhir dengan kematian, namun kalian pergi menuju dunia lain untuk mendapatkan ganjaran amal baik dan buruk kalian”, kebanyakan mereka menerima sabda beliau. Walau dakwah Rasulullah saw sering tidak disertai argumentasi, namun sabda beliau mampu meyakinkan umatnya. Tentu, tidak berarti bahwa iman semacam ini tidak sempurna atau tak berdasar sama sekali, bahkan terkadang ia lebih kokoh dari iman yang terwujud melalui jalan argumentasi.
Dengan kepercayaan mereka terhadap Rasulullah saw, mereka tunduk di hadapan berita-berita dari beliau dan meyakini kebenarannya. Tentu saja bila ada orang atau kelompok yang meminta dalil, maka beliau dengan senang hati memberi jawaban rasional kepada mereka, bahkan mendorong mereka melakukan hal ini. Namun, pada umumnya, metode beliau tidak seperti ini.
Oleh karena itu, metode di atas juga bisa disebut sebagai salah satu sarana memperoleh pengetahuan dan keimanan yang juga digunakan para nabi as.
5. Doktrin Orangtua dan Guru (Otoritas)
Iman yang dimiliki sebagian besar manusia diperoleh dari doktrin orangtua atau guru mereka. Para pendidik mengenalkan anak-anak firman Allah, kemudian mengajarkan prinsip-prinsip agama secara sederhana kepada mereka. Setelah itu, mereka diminta menghapalkannya dan mendapat pujian bila berhasil melakukannya. Lalu, mereka mengajarkan bacaan surah al-Fatihah dan surat-surah lain, cara berwudhu dan shalat. Secara bertahap, anak-anak itu meyakini keberadaan Allah, nabi dan hari akhir dan tumbuh besar dengan keyakinan ini.
Membaca buku dan ajaran-ajaran agama juga akan memperkuat iman mereka. Meski sebagian dari mereka ketika menginjak usia dewasa berupaya memperkokoh iman dengan cara argumentasi rasional, namun sebagian besar mereka merasa cukup dengan kualitas iman masa kecil mereka. Ini bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan, karena syarat terwujudnya iman adalah keyakinan dan orang-orang semacam ini memiliki keyakinan tersebut.
Jelas bahwa iman yang berlandaskan pada argumentasi lebih tinggi dari iman yang hanya berasaskan doktrin semata. Namun bukan berarti bahwa iman yang tidak bersumber dari argumentasi tidak memiliki nilai sama sekali.
Apabila seseorang ragu terhadap salah satu prinsip akidah, maka ia harus mencari jawabannya secara rasional dan meneguhkan imannya. Tidak layak bila ia bersikap acuh dalam kondisi semacam ini.
Adapun dalam masalah-masalah sekunder (furu`), dalil-dalil zhanni (benar dan salah 50:50) semisal khabar wahid sudah cukup, walau kajian yang berasaskan argumentasi dalam masalah-masalah ini, bila mungkin, lebih diutamakan ketimbang sekedar bertumpu pada dalil-dalil zhanni.[RED]
Sumber:
Ibrahim Amini, Asyna’i ba Islâm, Bustan Kitab, Qom, 1384 HS.