Sahabat-sahabat Penulis Wahyu

0
2099

Rasulullah SAW buta huruf secara lahiriah. Di tengah kaumnya, beliau tidak dikenal sebagai orang berilmu, karena mereka tidak pernah melihat beliau membaca atau menulis. Karena itulah mereka menyebut beliau ummi (buta huruf). Al-Quran juga menyebut sifat yang sama untuk beliau: “Orang-orang yang mengikuti rasul, nabi yang ummi… Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-Nya seorang nabi yang ummi…” (QS. al-A’raf:157-158).

Kata ummi dinisbahkan kepada umm (artinya ibu), secara terminologi artinya adalah orang yang tidak memiliki pengetahuan apa-apa, persis seperti ketika dia dilahirkan. Makna lain dari kata tersebut dinisbahkan ke Ummul Qura (kota Mekkah), yaitu orang yang terlahir di Mekkah.

Dalam al-Quran, ada ayat lain yang senada, “Dan di antara mereka adalah orang-orang ummi yang tidak mengetahui al-Kitab kecuali angan-angan…” (QS. al-Jumu’ah:2). Ayat ini menunjukkan kalimat  “yang tidak mengetahui al-Kitab”. Kalimat ini berkaitan dengan frasa “orang-orang ummi”. Jika melihat perbedaan antara orang Arab dengan Ahli kitab yang tidak buta huruf, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan “yang tidak mengetahui al-Kitab”—sesuai dengan kata athaf (kata sambung)—adalah buta huruf. Hadis Nabi, “Kami adalah umat yang ummi yang tidak bisa menulis dan berhitung” (Al-Tafsir al-Kabir, jld. 15, hlm. 23), memperkuat makna tidak berilmu.

Makna yang sesuai dengan al-Quran adalah tidak membaca dan tidak menulis, bukan tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)” (QS. al-Ankabut:48).

Ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah membaca dan menulis sesuatu pun. Tidak membuktikan bahwa beliau tidak bisa menulis dan membaca. Alasan ini cukup bagi orang-orang yang menentang, karena mereka tidak pernah mengira bahwa Rasulullah adalah orang berilmu. Tiada alasan bagi mereka untuk menyanggahnya.

Ketika menafsirkan ayat ini, Syekh Abu Ja’far Al-Thusi berpendapat bahwa para mufasir menganggap Nabi SAW tidak bisa menulis. Namun ayat al-Quran tidak menunjukkan hal itu. Ayat tersebut hanya mengungkapkan bahwa beliau tidak pernah menulis dan tidak pernah membaca. Betapa banyak orang yang tidak menulis tetapi berkemampuan menulis. Secara lahiriah mereka menampakkan diri sebagai orang buta huruf dan tak mengerti ilmu tulis. Maksud dari ayat itu adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah menulis dan membaca dan tidak memiliki kebiasaan menulis (Al-Tibyan, jld. 8, hlm.193).

 Allamah Thabathaba’i berpendapat bahwa dari konteksnya secara lahiriah, frasa tersebut memberi makna penafian kebiasaan. Inilah yang lebih cocok dengan konteks argumentasi (Al-Mizan, jilid 16, hal.135).  Selain itu, bisa membaca dan menulis adalah kesempurnaan dan buta huruf adalah kekurangan atau aib. Karena seluruh kesempurnaan Nabi SAW bersumber dari Kebijaksanaan Ilahi dan beliau tidak pernah menimba ilmu dari seseorang atau guru, maka Nabi tidak bisa lepas dari kesempurnaan ini. Nabi tidak menampilkan diri sebagai orang yang bisa membaca dan menulis dengan tujuan: menyempurnakan hujah dan menghilangkan keraguan setiap orang.

Baca juga :   Dalil Akal sebagai Sumber Hukum َAgama

Dengan alasan itu, Nabi SAW merasa perlu memerintah para penulis untuk mencatat segala macam urusan, termasuk wahyu. Di Mekkah atau di Madinah, beliau memilih orang-orang yang paling pandai membaca dan menulis untuk mencatat. Orang pertama di Mekkah yang bertugas sebagai penulis, khususnya menulis wahyu, adalah Ali ibn Abi Thalib. Tugas ini berlangsung hingga Nabi wafat. Beliau sendiri yang memerintah Ali agar mencatat setiap ayat yang turun sehingga al-Quran dan wahyu Allah SWT tidak jauh dari Ali.

Sulaim bin Qais Hilali, seorang tabi’in, berkata, “Ketika itu, aku berada di masjid Kufah bersama Ali dan orang-orang pun mengelilinginya. Saat itu ia berkata, ‘Sampaikanlah semua pertanyaan kalian selama aku masih berada di tengah-tengah kalian. Bertanyalah kepadaku tentang kitab Allah. Demi Allah, tidak satu pun ayat yang turun kecuali Rasulullah SAW membacakannya untukku dan mengajarkan tafsir dan takwil.’”

 Ibnu Kawwa adalah salah seorang sahabat Ali as yang sangat pandai dan paling banyak bertanya. Namanya adalah Abdullah bin Amr. Dia bertanya kepada Ali, “Bagaimanakah penjelasan ayat yang diturunkan ketika Anda tidak hadir?” Ali menjawab, “Ketika aku menghadap beliau, beliau sering berkata, ‘Hai Ali! Dalam ketidakhadiranmu ayat-ayat telah turun.’ Saat itu beliau membacakan ayat-ayat tersebut kepadaku sekaligus mengajarkan takwilnya.” (Sulaim bin Qais Hilali, Al-Saqifah, hlm. 213-214).

Orang pertama di Madinah yang bertugas menulis wahyu adalah Ubay bin Ka’b Anshari. Dia sudah bisa menulis sejak zaman jahiliah. Muhammad bin Sa’d berkata, “Dikalangan Arab jarang sekali yang bisa menulis. Ubay bin Ka’b termasuk dari orang-orang yang pada zaman itu bisa menulis” (Thabaqat Ibn Sa’d, jld. 3, hlm. 59).

Ibnu Abdil-Bar berkata, “Ubay bin Ka’b adalah orang pertama di Madinah yang bertugas sebagai penulis wahyu untuk Rasulullah saw. Dialah orang pertama yang menulis di akhir surah (Al-Ishabah, jld. 1, hlm. 19; Ibnu Abdil-Bar, Al-Qurthubi; Al-Isti’ab fi Makrifati Al-Ashab, jld. 1, hlm. 50-51).

Ubay bin Ka’b adalah orang yang menerima al-Quran secara sempurna dari Rasulullah saw. Dia adalah salah satu dari sahabat yang hadir pada saat pemaparan al-Quran yang terakhir; oleh karena itu dia dipilih sebagai ketua kelompok untuk menjadikan satu semua mushaf yang ada pada zaman Usman bin Affan. Setiap ada permasalahan yang saling bertentangan, maka hal itu dapat terselesaikan oleh pendapat Ubay.” (Sajistani,. Al-Tamhid, jld. 1, hlm. 340-348; Mashahif, hlm.30).

Di Madinah, Zaid bin Tsabit memiliki rumah yang letaknya bersebelahan dengan rumah Rasulullah saw. Dia bisa menulis. Semula, setiap kali Rasulullah saw memerlukan seorang yang mencatat, sementara Ubay tidak ada di tempat, maka beliau  saw mengutus seseorang untuk mencari Zaid untuk menulis. Lambat laun, atas perintah Rasulullah dia mempelajari bahasa dan tulisan Ibrani supaya dia bisa membacakan, menerjemahkan dan menuliskan jawaban bahasa Ibrani untuk Rasulullah. Zaid bin Tsabit disandingkan dengan sahabat-sahabat lainnya, dia lebih sering bersama Rasulullah untuk menulis dan seringkali menulis surah (Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah fi Makrifati Al-Shahabah, jld. 1, hlm.50; Al-Isti’ab, jld. 1, hlm.50; Mashahif Sajistani, hlm.3; Thabaqat Ibn Sa’d, jld. 2, hlm. 115.).

Baca juga :   Wahyu dalam Riwayat: Studi Kritis atas Kisah Waraqah bin Naufal

Penulis wahyu yang paling inti adalah Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Tsabit. Para penulis wahyu lainnya berada di tingkat setelah mereka.

Ibnu Atsir berpendapat bahwa di antara orang-orang yang selalu hadir dalam urusan penulisan (wahyu) adalah Abdullah bin Arqam Zuhri. Dia adalah juru tulis surah-surah Nabi saw. Tapi penulis surah-surah perjanjian dan perdamaian Nabi saw adalah Ali bin Abi Thalib as. Terkadang yang menulis untuk Rasulullah saw adalah tiga khalifah, yaitu Zubair bin Awwam, Khalid dan Aban. Dua putra Said bin Ash, Hanzhalah Usaidi, ‘Ala bin Hadhrami, Khalid bin Walid, Abdullah bin Rawahah, Muhammad bin Muslimah, Abdullah bin Ubay Salul, Mughirah bin Syu’bah, Amr bin ‘Ash, Muawiyah bin Abi Sufyan, Jahm/Juhaim bin Shilt, Mu’aiqib bin Abi Fathimah dan Syurahbil bin Hasanah. Orang pertama dari kalangan Quraisy yang menulis untuk Rasulullah saw adalah Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah, kemudian dia murtad dan kembali ke Mekkah, dan turunlah ayat 93, surah al-An’am berkenaan dengan dirinya (Usd al-Ghabah, jld. 1, hlm.50), “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata; “Telah diwahyukan kepada saya,” padahal tidak diwahyukan sesuatu pun kepadanya…”

Sepertinya, orang-orang tersebut adalah sederet orang Arab yang berilmu, bisa membaca dan menulis. Kadangkala Rasulullah saw meminta bantuan mereka untuk menulis wahyu, tetapi para penulis wahyu yang resmi adalah tiga orang yang tersebut di atas dan Ibnu Arqam.  Ibnu Abil-Hadid berpendapat bahwa para pengkaji dan penulis sejarah mencatat bahwa para penulis wahyu adalah Ali, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Hanzhalah bin Rabi’ Tamimi dan Muawiyah. Merekalah yang bertugas menulis semua catatan yang diperlukan oleh banyak orang. Mereka juga mencatat daftar kekayaan dan sedekah (Ibnu Abil-Hadid, Syarh Nahj Al-Balaghah, jld. 1, hlm. 338).

Abu Abdillah Zanjani berpendapat bahwa jumlah para penulis wahyu mencapai empat puluh orang. Sepertinya keahlian mereka itu digunakan ketika dibutuhkan (Abu Abdillah Zanjani, Tarikh Al-Quran, hlm. 20-21).  Baladzuri, di kitab Futuh al-Buldan menukil pendapat Waqidi bahwa ketika Islam muncul di kalangan Quraisy, hanya ada tujuh belas orang yang bisa menulis. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, Abu Ubaidah bin Jarrah, Thalhah bin Ubaidillah, Yazid bin Abi Sufyan, Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah, Hathib bin Amr (saudara Suhail bin Amr ‘Amiri), Abu Salamah bin Abdul Asad Makhzumi, Aban bin Said bin ‘Ash bin Umayyah (saudaranya) Said bin ‘Ash bin Umayyah, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah, Huwaithib bin Abdul Uzza, Abu Sufyan bin Harb, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Juhaim bin Shilt dan satu orang lagi dari kalangan famili Quraisy, ‘Ala’ bin Hadhrami.

Baca juga :   Macam-macam Wahyu Kerasulan

Dari kalangan wanita yang bisa menulis pada awal kemunculan Islam adalah Ummu Kultsum binti Uqbah, Karimah binti Miqdad dan Syifa’ binti Abdullah. Atas perintah Nabi, Syifa’ mengajari Hafshah ilmu tulis dan setelah itu Hafshah masuk dalam golongan para penulis wahyu. Aisyah dan Ummu Salamah termasuk dari golongan wanita yang hanya bisa membaca saja.

Di Madinah orang yang bisa menulis dan membaca bahasa Ibrani adalah Sa’d bin Ubadah, Mundzir bin Amr, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Tsabit. Orang-orang yang hanya bisa menulis adalah Rafi’ bin Malik, Usaid bin Hudhair, Ma’an bin ‘Adi, Basyir bin Sa’d, Sa’d bin Rabi’, Aus bin Khiwalla dan Abdullah bin Ubay (Abul Hasan Baladzuri, Futuh Al-Buldan, hlm. 457-460).

Cara penulisan wahyu pada masa awal munculnya Islam dengan mencatatnya di atas apa saja yang bisa ditorehkan tulisan. Di antaranya adalah:
1. ‘Usub, Jamak dari kata ‘Asib yang berarti pelepah korma. Mereka menulis wahyu di kayu dan di bagian yang telah dicabut daun-daunnya.
2. Likhaf, jamaknya lakhfah yang berarti batu-batu yang tipis dan berwarna putih.
3. Riqa’, jamaknya ruq’ah, artinya lembaran-lembaran kulit atau daun atau kertas.
4. Udum, jamak dari Adim, artinya kulit yang siap untuk ditulis.

Setelah ditulis, ayat-ayat itu diserahkan kepada Nabi saw dan disimpan di dalam rumah beliau saw. Kadangkala sebagian sahabat ingin memiliki surah atau beberapa ayat, maka mereka pun mengutip surah atau ayat-ayat tersebut dan menulisnya di lembaran daun atau kertas. Kemudian, mereka menyimpan untuk diri mereka sendiri. Biasanya tulisan-tulisan itu mereka gantung di atas tirai yang terbuat dari kain.

Ayat-ayat disusun dan ditata dengan rapi, di letakkan ke dalam setiap surah. Setiap surah diawali dengan Bismillah dan diakhiri dengan Bismillah yang baru. Dengan cara seperti inilah, satu surah dengan surah yang lainnya dibedakan. Segala bentuk penyusunan surah-surah itu tidak terjadi pada zaman Rasulullah saw.

Allamah Thabathaba’i berpendapat bahwa al-Quran seperti sekarang ini, pada zaman Rasulullah saw tidak tertata rapi. Pada zaman itu hanya ada surah-surah terpisah yang tidak tersusun rapi, banyak sekali ayat-ayat yang dipegang oleh orang-orang yang berbeda dan berada di antara orang banyak (Al-Mizan, jld. 3, hlm.78-79; Muhammad Hadi Ma’rifat, Tarikh Al-Qur’an, Majma Jahani Ahl Al-Bait, Qom, 1388 HS).

(Visited 774 times, 1 visits today)

Leave a reply