Perempuan dan Kepemimpinan

STUDISYIAH.COM–Sebagai manusia, perempuan tidaklah beda dengan lelaki, sama-sama memiliki kesempurnaan manusiawi. Namun ini tidak berarti perempuan sama sepenuhnya dengan lelaki sehingga tidak lagi menyisakan perbedaan apa pun di antara mereka. Faktanya, lelaki lebih banyak aktif di puncak hirarki pengelolaan dan pengaturan.
Bahkan di sebagian ajaran, perempuan didiskriminasi sehingga tidak berpeluang duduk dalam jabatan apa pun selain dalam rumah dengan anaknya. Di dunia Barat sendiri, kaum perempuan sampai awal abad dua puluh masih tidak diakui haknya sama dengan lelaki dalam memiliki hak suara dan pemilihan umum.
Pertanyaan mendasar, apakah perempuan juga bisa menduduki jabatan hakim dan kepala pemerintahan?
Jawaban: Dua persoalan pengadilan dan pemerintahan (perempuan sebagai kepala pemerintahan) dan semisalnya adalah persoalan-persoalan fiqih yang dibahas dan dikaji oleh fuqaha dalam kitab-kitab fiqih. Mereka juga punya pendapat yang berbeda-beda berkenaan dengan persoalan ini. Ada yang membolehkan, ada juga yang mengharamkan, ada juga menganggapnya makruh. Ini masalah ikhtilaf, perselisihan di kalangan fuqaha sendiri.
Yang perlu diperhatikan di sini ialah, pertama:
Topik ini adalah masalah taklid (ikut pada fatwa). Budaya kita sebagai muslim adalah budaya hukum fiqih. Dalam persoalan-persoalan yang berkaitan hukum fiqih, orang awam harus bertaklid, yakni merujuk dan mengkuti, fatwa ulama rujukan (marja taqlid). Dan pada akhirnya, ulama rujukan itu akan menjawab kepastian hukumnya.
Oleh karena itu, dalam satu pidato atau tulisan diperbincangkan bahwa boleh atau tidaknya peran perempuan di dua posisi tersebut, akan bijak bila diserahkan kepada para ahli hukum sehingga tidak menyebabkan kondisi kebingungan bagi masyarakat. Betapapun, setiap bidang mempunyai pakar (ahli), dan pakar hukum syar’i (fiqih) adalah fuqaha (para ahli Fiqih).
Kedua: Saran kepada fuqaha adalah agar mempertimbangkan kondisi zaman; sekarang berbeda dengan dahulu. Muncul perubahan-perubahan mendasar. Setiap negara Islam tidak berpisah dengan negara lain. Para perempuan tidak berpisah dengan masyarakat. Kita tidak bisa lagi mengatur perempuan seperti zaman-zaman terdahulu. Setiap orang melalui media massa mengenal kondisi dan pemikiran di dunia. Wajar bila tuntutan mereka kian bertambah.
Maka, diharapkan fuqaha mengkaji persoalan-persoalan yang berhubungan dengan keperempuanan dan menjelaskan taklif (tugas keagamaan) dalam persoalan-persoalan ini berdasarkan sumber-sumber fiqih yang valid sehingga tidak perlu pandangan kalangan yang tidak kompeten dan tidak bertanggung jawab.
Catatan:
Tentu saja, para pemikir di bidang lainnya juga, jika paham prinsip-prinsip fikih dan patuh pada metodologinya, bisa mengkaji persoalan-persoalan ini. Hasil kajian mereka juga bermanfaat bagi kalangan fuqaha. Namun bagaimanapun juga, para ulama rujukan dan mufti agunglah yang, pada akhirnya, berwenang menyatakan pendapat dan fatwa dalam masalah-masalah fiqih.