Orang Murtad, Apa saja Hukumnya?

STUDISYIAH.COM–Dalam beberapa tahun belakangan banyak berita di dalam negeri tentang sebagian non-Muslim yang mendapatkan karunia hidayah dan petunjuk Allah SWT hingga meninggalkan keyakinannya lalu beriman pada Nabi Muhammad SAW dan memeluk Islam. Tetapiu juga tidak sedikit berita tentang sebagian, walaupun kecil, dari keluarga Muslim yang malah mengganti imannya dengan agama lain karena satu dan lain hal.
Dahulu, Islam pada prinsipnya dalam berurusan dengan orang-orang yang belum menerimanya seperti: Ahli Kitab, tidak pernah bertindak memaksa dan menyusahkan. “Tidak ada pemaksanaan dalam agama.” Ayatnya, jelas sekali. Malah Islam mengajak mereka dengan dakwah secara berkesinambungan dan tabligh yang diimplementasikan secara logis. Bilamana mereka tidak menerima Islam dan bersedia menerima syarat-syarat dzimmah (dilindungi), mereka dapat hidup bersamaan kaum muslimin secara damai. Dalam keadaan seperti ini, mereka tidak hanya dijamin keamanannya, tetapi Islam juga memikul penjagaan harta, jiwa dan kepentingan-kepentingan mereka yang lainnya.
Akan tetapi, berkenaan dengan orang-orang yang memeluk Islam lalu berpindah ke agama lain, Islam tegas menetapkan aturan. Lantaran ini akan menyebabkan kegoncangan dalam komunitas Islam dan termasuk sebuah pembangkangan terhadap sebuah pemerintahan Islam. Galibnya, mereka memiliki niat jahat yang dengan itu rahasia komunitas Islam akan jatuh ke tangan musuh.
Hukum Dasar
Atas dasar itu, orang-orang yang dilahirkan dari kedua orang tua Muslim dan berpindah ke agama lain, maka darahnya —berdasarkan ketetapan pengadilan negara Islam— terhitung mubah, hartanya dibagikan kepada pewarisnya dan istrinya harus berpisah darinya, serta taubatnya —secara lahiriah— tidak diterima.
Maksudnya, ketiga hukum dasar di atas (darahnya terhitung mubah, hartanya harus dibagikan kepada ahli warisnya dan istrinya harus bercerai darinya) berlaku pada orang-orang seperti itu. Meskipun demikian, jika ia benar-benar menyesal, taubatnya pasti diterima di haribaan Tuhan. Apabila pelaku kesalahan itu adalah seorang wanita, taubatnya secara mutlak akan diterima.
Akan tetapi, apabila seseorang meninggalkan Islam dan ia bukanlah seorang keturunan Muslim, Islam masih memberikan tenggang kepadanya untuk bertaubat. Dan apabila ia bertaubat, maka taubatnya akan diterima dan seluruh hukuman akan terlepas darinya.
Kritik dan Jawaban
Mungkin sebagian orang akan mengkritik, jika hukum politik murtad secara fitri ini dikenakan ke atas mereka sementara mereka tidak mengetahui hukum ini, hal tersebut barangkali termasuk sebagai salah satu jenis kekerasan, pemaksaan akidah dan menafikkan kebebasan.
Akan tetapi, perlu diperhatikan, pertama:
Hukum ini tidak akan dijatuhkan atas seseorang yang hanya sekedar memiliki satu keyakinan dalam hatinya dan tidak berusaha untuk menampakkannya di raung publik dalam kehidupan sehari-hari. Jika ia telah mengekspresikan dan mengeluarkan statemen —yang pada kenyataannya— menentang pemerintahan Islam yang mengatur sebuah kehidupan sosial, terang bahwa kekerasan semacam ini bukan tanpa dalil, dan sangat selaras dengan masalah kebebasan berpikir.
Kedua: Perlu dicatat bahwa aturan semacam ini (seperti di Inggris dengan istilah blasphemy), juga terdapat pada negara-negara Timur dan Barat dengan perbedaan-perbedaan yang ada.
Ketiga: menerima Islam harus sesuai dengan argumen yang logis khususnya bagi mereka yang terlahir dari seorang ibu dan bapak Muslim dan mendapatkan pendidikan di lingkungan keluarga Muslim. Tampaknya, sangat kecil kemungkinan ia tidak mengetahui hukum-hukum Islam. Karena itu, berpindah ke agama lain dengan maksud buruk dan tanpa penelitian argumentatif adalah lebih besar kemungkinannya daripada alasan tidak memahami kebenaran. Jelas, orang seperti ini layak mendapatkan hukuman.
Selain itu, sebuah hukum sekali-kali tidak akan pernah memperhitungkan seseorang atau dua orang, akan tetapi ia lebih mempertimbangkan mayoritas dan keadaan dominan. Oleh karena itu, ia harus dinilai secara kolektif (Tafsir Nemûneh/Al-Amstal, jld. 11, hlm. 426).
Keempat: Pada hakikatnya, hukum ini memiliki filsafat asasi, yaitu menjaga identitas umat dan eksistensi negara Islam, mencegah keterpurukannya, dan penetrasi bangsa asing dan munafikin. Sebab, murtad pada hakikatnya adalah salah satu jenis pembangkangan terhadap negara Islam. Mayoritas hukum internasional dewasa ini juga menghukumnya dengan eksekusi.
Kelima, dari sini juga dapat dimengerti bahwa, dalam eksekusi hukum-hukum dasar itu, kewenangan berada di negara Islam dengan sistem hukum peradilan yang berlaku di dalamnya, sehingga seseorang atau komunitas di dalamnya tidak berwenang dan berkewajiban melaksanakan hukum-hukum tersebut secara anarkis. Tentu saja, bagi masyarakat sekuler dan negara yang tidak menganut Islam dalam konstitusinya, hukum-hukum itu tidak terlaksana.
Sekiranya diberikan izin kepada setiap seorang untuk memperkenalkan dirinya sebagai Muslim setiap hari dan pada hari itu juga ia meninggalkan Islam, maka segera umat Islam secara internalambat laun akan porak-poranda dan kehilangan identitas ideologi dan sosial-politik mereka, dan jalan akan terbuka bagi para musuh untuk melakukan penetrasi dan tindakan memporak-porandakan.
Akibatnya, kondisi anarkis di dalam tubuh masyarakat Islam akan muncul. Oleh karena itu, hukum berkenaan dengan murtad yang telah disebutkan di atas, sejatinya, adalah hukum politik yang dijatuhkan untuk menjaga kestabilan pemerintahan dan masyarakat Islam.
Catatan Penting
Terlepas dari masalah ini, seseorang yang telah melakukan penelitian dan menerima ajaran seperti Islam, kemudian meninggalkannya dan berpindah kepada ajaran lain juga berdasarkan penelitian dan motif yang jujur adalah dapat dimaklumi.
Hal lainnya ialah hukum-hukum dasar di atas tentang mutad tampak lebih ringan bagi perempuan, karenan seluruh hukuman yang dikenakan ke atas kaum wanita memang ringan.
Referensi:
– Makarim, Syiarazi, Tafsir Nemûneh/Al-Amtsal, jilid. 2, hlm. 497.