Muhasabah: Mawas Diri (2)

0
1345

Boleh dikata bahwa subyek evaluasi jiwa adalah akal. Akal bukanlah jiwa. Tapi pada kenyataannya, perbedaaan antara akal dan jiwa hanya bersifat analisis semata, karena pada realitas obyektifnya, jiwa dalam kesatuannya yang utuh mencakup semua potensi. Jadi pada hakikatnya, jiwa memang bisa melakukan introspeksi. Lantas bagaimana introspeksi ini bisa dilakukan?

Jawabannya jelas bisa melalui satu di antara dua solusi sebagai berikut;

Pertama, jiwa dalam keadaannya yang jernih difungsikan untuk mengoreksi kemandekan dan kelemahannya. Penjelasannya ialah bahwa jiwa tidak akan tertimpa maksiat kecuali akibat kemandekan dan kelemahannya di depan godaan. Setelah itu jiwa bisa jadi akan beralih kepada sebentuk kondisi jernih, insaf, dan sehat karena tiga faktor sebagai berikut;

Pertama, setelah dorongan hawa nafsu dituruti, gejolaknya akan reda karena sudah terlampiaskan. Di sinilah keadaan insaf, meski relatif, berperan untuk memadamkan gejolak. Inilah yang mungkin diisyaratkan dalam riwayat yang menyebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Jakfar al-Shadiq as, “Mungkinkah seseorang berzina dalam keadiaannya sebagai mukmin?” Beliau menjawab, “Tidak, ketika dia sudah berada di bawah perut perempuan imannya tercabut darinya, ketika dia bangkit imannya terpulang lagi kepadanya.” (Al-Wasa’il, jld. 20, hlm. 312, bab 1 al-Nikah al-Muharram, hadis 17).

Kedua, godaan yang menyebabkan jiwa menjadi rentan dapat hilang atau melemah, sehingga jiwa saat itu dapat menyadari peran keinsafan, meski relatif.

Ketiga, jiwa dapat menguat dengan bantuan semisal wejangan agamawan, pembacaan al-Quran, renungan akan bahaya maksiat, dan lain-lain.

Dengan faktor manapun di antara tiga faktor ini, ketika manusia sedang mengalami kondisi insaf, meski relatif, hendaknya memanfaatkan momen itu untuk berintrospeksi atas apa yang telah dilakukannya saat mengalami kondisi mandek, lalai, dan abai. Karena itu, ia berkewajiban berusaha mendatangkan faktor-faktor keinsafan itu sedapat mungkin melalui cara-cara yang benar.

Kedua, menunjuk dan meminta orang lain supaya mengawasi dan menilainya, sehingga obyek dan sumbek penilaian menjadi berbeda orang agar muhasabah atau koreksi dan evaluasi bisa berjalan.  Solusi ini merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh bagi orang yang tak mampu menggunakan solusi pertama.

Baca juga :   Kezaliman Terbesar adalah Zalim terhadap Diri Sendiri

Selanjutnya, patut diiingat pula bahwa muhasabah relevan bukan hanya dengan para pelaku maksiat saja, melainkan juga dengan orang-orang yang salih dan arif, karena jenjang keruhanian manusia tak ada batasnya. Bagi para arif, ada pula “dosa-dosa” irfani yang “siksanya” bisa jadi membuat sensibilitas mereka atas dosa-dosa irfaninya ini tak kalah besar dibanding sensibilitas para pemaksiat atas maksiatnya.

Ada arif yang terhukum dan tersiksa oleh ketidak mampuan mereguk nikmatnya munajat atau gagal meraih jenjang kenikmatan itu, misalnya. Perasaan mereka atas kegagalan ini bisa jadi tak kalah pedihnya dibanding keterbakaran pendosa oleh rasa takutnya kepada siksa neraka.

Di atas langit ada langit. Setinggi apapun jenjang seorang arif dalam suluk dan pendakian ruhaninya yang terus menanjak tanpa titik klimaks tetap memerlukan muhasabah demi mencapai jenjang yang lebih tinggi dan supaya dia bebas dari ketersiksaannya yang khas itu.

Dari tutur kata para arif dapat dilihat betapa mereka merintih atas siksa-siksa irfani dengan rintihan yang bahkan lebih getir dan memilukan daripada keluh kesah dan ketersiksaan para pendosa oleh kesadaran mereka atas kelayakan mereka untuk dimasukkan ke dalam neraka.

Meninggalkan secara mutlak perbuatan sia-sia, misalnya, yang menurut dhahir al-Quran merupakan sifat orang yang beriman (lihat QS. al-Mu’minun [23]: 1-3), meskipun secara fikih hukumnya tidak wajib, tapi secara irfani merupakan kewajiban sehingga jika terabaikan tentu akan menimbulkan tekanan tersendiri pada jiwa seorang arif, seperti yang terlukiskan dalam penggalan Doa Abu Hamzah al-Tsumali, “Atau jika seandainya Engkau melihat aku menyukai majelis-mejelis para pembuat sesuatu yang sia-sia lalu Engkau biarkan antara aku dan mereka” (Mafatih al-Jinan, Doa Abu Hamzah al-Tsumali).

Ungkapan ini menggambarkan betapa seorang salih merintih dan merasa pedih jiwanya apabila Allah membiarkannya senang duduk bercengkrama dengan orang-orang lain untuk sesuatu yang tak ada gunanya.

Baca juga :   Tafsir Taubat: Kunci Selamat

Ada beberapa hal lain yang patut dijelaskan berkaitan dengan muhasabah. Disebutkan bahwa manusia harus melakukan lima hal terhadap diri secara berurutan; 1. Menjalin persyaratan (musyaratah); 2. Mengawai (muraqabah); 3. Berinterospeksi (muhasabah).; 4. Menghukum (mu’aqabah); 5. Berusaha (mujahadah); 6. Menegur (mu’atabah) (Lihat al-Mahajjah, jld. 8, hlm. 150; al-Ihya’ Ulumuddin, jld. 4, hlm. 362). Pokoknya adalah muhasabah, tapi muhasabah dilakukan setelah musyaratah dan muraqabah, kemudian disusul dengan mu’atabah dan mu’aqabah jika terjadi keprihatinan.

Urutannya bisa jadi tidak harus demikian, karena mu’aqabah dan mu’atabah lebih relevan ditempatkan pada satu tahap yang sama. Penjelasan untuk beberapa hal ini ialah sebagai berikut;

Musyaratah

Usia manusia merupakan modal sejati yang dipasrahkan oleh manusia kepada nafs (jiwa/diri), sedangkan diri selalu menyuruh kepada kekejian sehingga jika manusia lalai maka nafs akan bertindak ekstrim dan di luar batas terhadap modal ini. Karena itu dia harus membuat persyaratan pada diri minimal satu atau dua kali setiap hari, siang dan malam. Dia harus menekan diri di pagi hari dan petang menjelang malam agar tidak menggunakan modal ini untuk perbuatan-perbuatan yang merugikan, karena waktu dan usia adalah modal paling berharga yang dititipkan oleh Allah kepada manusia sehingga menyalahgunakannya akan menyebabkan kerugian fatal dan kebinasaan.

Dalam sebuah hadis Nabi Saw disebutkan bahwa pada hari kiamat akan dibukakan kepada hamba 24 khazanah, sesuai jumlah jam siang dan malam, berkenaan dengan setiap hari yang dihabiskannya di masa hidup di dunia. Satu khazanah di antaranya terlihat penuh cahaya dan kebahagiaan yang seandainya diberikan kepada penghuni neraka niscaya kedahsyatannya akan membuat mereka terbius dari pedihnya azab neraka. Khazanah ini berkenaan dengan saat dia taat kepada Allah. Setelah itu khazanah lain dibuka, yang terlihat gelap dan menakutkan sehingga seandainya diberikan kepada penghuni surga niscaya mereka akan terhalang dari merasakan nikmatnya surga. Khazanah ini berkenaan dengan saat dia bermaksiat kepada Allah. Lalu dibuka khazanah berikutnya yang ternyata kosong tanpa ada apapun yang menyenangkan maupun yang menyedihkannya. Khazanah ini berkenaan dengan saat dia tidur dan atau melakukan hal-hal mubah. Tapi hamba itu kemudian menyesal dan merasa bersalah karena telah menyia-nyiakan saat-saat yang sebenarnya masih bisa diisi dengan kebaikan (Bihar al-Anwar, jld. 7, hlm. 262).

Baca juga :   Muhasabah: Mawas Diri (1)

Berkenan dengan inilah Allah SWT berfirman, “Itulah hari dinampakkan kesalahan-kesalahan.” (QS. Al-Taghabun [64]: 9).

Hadis ini memperlihatkan pentingnya meninggalkan perbuatan sia-sia, sebagaimana juga  disebutkan dalam firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 3).

Di ayat lain disebutkan, “Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 72).

Dengan asumsi bahwa perbuatan sia-sia yang disebutkan dalam dua ayat ini mencakup perbuatan mubah maka dibukanya khazanah ketiga tadi tentu menimbulkan rasa bersalah dan penyesalan yang luar biasa.

Muraqabah

Menerapkan persyaratan saja dengan diri tidaklah cukup karena bisa jadi diri akan melanggar persyaratan. Karena itu muraqabah atau pengawasan harus dilakukan dalam dua keadaan:

Pertama, keadaan sebelum beramal, supaya dapat dipastikan apa motivasi yang mendorongnya untuk beramal, karena diri itu menipunya sendiri sementara manusia terkadang mengabaikan motivasinya yang hakiki. Atau ketika motivasinya yang hakiki terdiri atas dua faktor ilahiah dan non-ilahiah, dia lantas membiarkan dan menutup mata terhadap faktor yang kedua itu lalu merasa beramal dengan ikhlas.

Kedua, keadaan ketika berbuat, supaya dapat memastikan kebenaran dan kelurusannya apabila perbuatan itu berkenaan dengan amal salih. Bersambung…

(Visited 249 times, 1 visits today)

Leave a reply