Muhasabah: Mawas Diri (1)

0
1303

Muhasabah (introspeksi) merupakan jenjang yang disebut-sebut datang setelah jenjang taubat. Artinya, setelah manusia bertaubat maka dia konsisten berinterospeksi, mawas diri dan mengevaluasi keadaan dirinya demi melestarikan keutuhan dan kesejatian taubatnya (Khajeh Anshari, Manazil al-Sa’irin, bab 3, Permulaan).

Namun demikian, taubat dan muhasabah sebenarnya berinteraksi satu sama lain. Di satu sisi, taubat membawa ke muhasabah, sedangkan muhasabah bekerja untuk melestarikan taubat dan menjaga komitmennya pada taubat.

Di sisi lain, muhasabah sebelum taubat juga akan mengantarkan seseorang kepada taubat, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.

(QS. al-Hasyr [59]: 18-19).

Firman Allah SWT “dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat),” merupakan perintah kepada manusia agar bermuhasabah atau berintrospeksi untuk melihat apa saja yang sudah dia perbuat untuk kehidupan di alam akhirat kelak; perbutan baik atau buruk apa yang dia lakukan selama ini; Jika dia berbuat baik lantas apa nilai perbuatannya itu? Dia harus mengetahui bahwa perbuatan baik yang dia lakukan itulah yang akan lestari dan abadi bagi kebahagiaan dirinya di sisi Allah, sedangkan yang lain akan sirna sia-sia, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT:

Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.

(QS. Al-Nahl [16]: 96).

Dan yang membuat orang lebih merinding lagi ialah firman Allah SWT yang pertama tadi; “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri.” Ayat ini menunjukkan bahwa pengabaian muhasabah merupakan perbuatan yang bersangkutan dengan orang-orang yang lupa kepada Allah, dan hukuman Allah bagi mereka adalah membuat mereka lupa kepada diri sendiri. Lupa diri merupakan lupa yang paling fatal dan ini diakui bahkan oleh orang-orang hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Ungkapan “lupa diri” (nisyan al-nafs) dapat dijelaskan dengan dalam beberapa poin sebagai berikut;

Baca juga :   Tafsir Taubat: Kunci Selamat

Pertama, orang yang lupa kepada Allah jelas tidak ingat kepada kemaslahatan dirinya di akhirat, padahal kemaslahatan ini abadi dan di atas segalanya. Karena itu, orang yang lupa kepada kemaslahatan dirinya tak ubahnya dengan orang yang lupa diri. Sebab orang yang waras jelas tidak mungkin melupakan kepentingan dan kemaslahatan dirinya.

Kedua, orang yang lupa kepada Allah SWT adalah orang yang lupa kepada potensi dan kemampuannya untuk berbuat baik, dan potensi ini merupakan anugerah yang tertanam dalam dirinya berkat kemurahan Allah SWT. Mengabaikan potensi ini tak ubahnya dengan mengabaikan diri sendiri.

Ungkapan “lupa diri” mirip dengan ungkapan “merugikan diri” yang juga disebutkan dalam berbagai ayat al-Quran al-Karim. Allah SWT berfirman, “Orang-orang yang merugikan dirinya” (QS. al-An’am [6]: 12 dan 20; Al-A’raf [7]: 9 dan 53; Hud [11]: 21; Al-Mu’minun [23]: 103; dan Al-Zumar [39]: 15).

Orang yang berbuat buruk hingga akhir hayatnya dan tak beruntung dalam kehidupan akhirat adalah orang yang merugikan dirinya, baik dari segi kemaslahatannya di akhirat untuk selamanya maupun dari segi kehilangan potensi yang telah ditanamkan Allah dalam dirinya.

Alhasil, apa yang ditegaskan oleh al-Quran mengenai keharusan manusia menimbang dan memperhitungkan persiapan dan bekalnya untuk akhirat kelak merupakan sesuatu yang logis dan sesuai dengan tuntunan hati nurani atau fitrah manusia. Sebab, jika dalam perjalanan jauh di dunia inipun setiap manusia pasti memerlukan persiapan dan bekal yang memadai, lantas bagaimana lagi dengan perjalanan dan nasibnya kelak di alam keabadian.

Muhasabah sedemikian penting karena kelak amal perbuatan kita akan dihisab atau ditimbang oleh Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam beberapa firman-Nya dalam al-Quran, antara lain, “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 47).

Baca juga :   Imam Khomeini: Perjalanan dari Nol Menuju Nol

(Luqman berkata): ‘Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.’”

(QS. Luqman [31]: 16).

Pentingnya Muhasabah

Mengenai pentingnya muhasabah, ada beberapa hadis dari para manusia maksum a.s. antara lain Imam Ali Zainal al-Abidin al-Sajjad a.s. berkata:

“Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu akan senantiasa baik selagi kami memiliki penasehat dari dirimu, selagi muhasabah merupakan sesuatu yang penting bagimu, selagi rasa takut (khauf) menjadi pakaian lapis bawah (syi’ar) bagimu dan kesedihan (huzn) menjadi pakaian lapis atas (distar) bagimu. Wahai anak Adam, sesungguh kamu akan mati, dibangkitkan, dan dihentikan di hadapan Allah, maka siapkanlah jawaban.” (Al-Wasa’il, jld. 16, hlm. 96, bab 96 Jihad al-Nafs, hadis 3).

“Syi’ar” dan “ditsar” masing-masing ditafsirkan sebagai pakaian lapis bawah dan pakaian lapis atas. Karena itu ada kemungkinan bahwa versi yang lebih sahih untuk penggalan kalimat dalam perkataan Imam al-Sajjad a.s. ini ialah “Selagi rasa takut menjadi syi’ar bagimu, dan kewaspadaan (hadzar) menjadi menjadi ditsar bagimu.” (Bihar al-Anwar, jilid 78, hal. 137).

Riwayat lain tentang pentingnya muhasabah datang dari Ibrahim bin Umar al-Yamani bahwa Abu al-Hasan al-Madhi as berkata, “Bukanlah golongan kami orang yang tidak bermuhasabah atas dirinya setiap hari, karena (orang yang bermuhasabah) jika berbuat baik maka dia memohon tambahan kepada Allah, sedangkan jika dia berbuat buruk maka dia memohon ampunan dan bertaubat kepadaNya.” (Al-Wasa’il, jld. 16, hlm. 96, bab 96 Jihad al-Nafs, hadis 1).

Riwayat lain dari Abu zar bahwa Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Wahai Abu Dzar, lakukan muhasabah atas dirimu sebelum kelak kamu diperhitungkan, sesungguhnya itu akan membuat perhitungan atasmu kelak lebih ringan. Timbanglah dirimu sebelum kelak kamu ditimbang, dan persiapkanlah dirimu untuk pengungkapan terbesar, yaitu pada hari (amal perbuatan) diungkap dan tak ada suatu apapun tersebunyi bagi Allah.

Baca juga :   Irfan, Ilmu apa lagi ini?!

“Wahai Abu Dzar, seseorang tidak akan tergolong orang-orang yang bertakwa sebelum dia memperhitungkan dirinya secara lebih ketat daripada perhitungan seorang mitra terhadap rekannya. Maka hendaklah dia mengetahui dari mana makanan, minuman, dan pakaiannya; apakah dari yang halal ataukan dari yang haram? Wahai Abu Dzar, barangsiapa tidak peduli darimana dia memperoleh harta maka Allah tidak akan peduli dari mana Dia akan memasukkannya ke neraka.” (Ibid, hlm. 98, hadis 7).

Hadis ini memerintahkan tiga hal; bermuhasabah sebelum dihisab atau diperhitungkan kelak; menimbang (muwazanah) diri sebelum ditimbang; dan mempersiapkan diri untuk penyingkapan amal perbuatan pada hari di mana segala amal perbuatan akan terungkap. Tiga perkara ini walaupun saling berkaitan tapi juga memiliki perbedaan satu sama lain.

Muhasabah ialah mengevaluasi segala perbuatan yang telah dilakukan untuk mengetahui baik dan buruknya. Sedangkan muwazanah ialah menimbang antara apa yang sudah dicapai diri selama ini di satu sisi dan target yang mesti dicapai di sisi lain agar dapat melihat sejauhmana kekurangan yang ada. Sedang persiapan diri untuk menyongsong hari penyingkapan akbar ialah upaya mengejar apa yang tertinggal dan menutupi segala kekurangan, dan upaya ini merupakan hasil muhasabah dan muwazanah.

Muhasabah tergolong paling sulit bagi diri, dan faktor kesulitannya jelas, yaitu kesatuan antara subyek dan obyek evaluasi. Menilai orang lain bukanlah pekerjaan yang sulit, dan ini jauh berbeda dengan pekerjaan di mana subyek dan obyek penilaian adalah satu orang yang sama. Karena itu tak banyak di antara orang-orang beriman yang berhasil melakukan muhasabah. Mereka yang berhasil itu tergolong hamba yang paling ikhlas. Bersambung…

(Visited 618 times, 1 visits today)

Leave a reply