Metode Penelitian Filsafat

Berkali-kali telah ditegaskan bahwa masalah-masalah filsafat mesti ditelaah dengan metode rasional, dan bahwa metode empiris tidak berguna dalam bidang ini. Meski demikian, kalangan yang terpengaruh pemikiran positivis malah menyangka bahwa hal itulah yang sesungguhnya menjadi bukti atas ketaksempurnaan dan ketakbernilaian pemikiran filosofis. Mereka beralasan bahwa metode empiris merupakan satu-satunya metode yang ilmiah dan meyakinkan, dan bahwa tidak ada simpulan pasti yang dapat diperoleh lewat metode rasional.
Atas dasar ini, sebagian mereka lantas memandang filsafat sebagai masa kanak-kanak ilmu pengetahuan dan mendefinisikan tugasnya tidak lebih dari mengajukan hipotesis-hipotesis untuk memecahkan persoalan ilmiah (Falsafeh Cīst, terj. Manuchehr Buzurgmehr, hlm. 21). Bahkan, Karl Jaspers (1883-1969), filosof eksistensialis asal Jerman, menyatakan, “Filsafat tidak memberikan pengetahuan pasti, dan begitu suatu pengetahuan diterima oleh semua orang sebagai kebenaran dengan argumen-argumen yang pasti, ia tidak lagi bisa dianggap sebagai pengetahuan filosofis, tetapi langsung berubah menjadi pengetahuan ilmiah” (Dar Āmadī bar Falsafeh, terj. Asadullah Mubasyeri, hlm. 18.).
Sementara itu, mereka yang tercekam oleh kemajuan industri dan ilmu pengetahuan Barat berdalih bahwa para ilmuwan Barat tidak mencapai kemajuan sains yang mencengangkan dan terus meningkat kecuali dengan membuang metode rasional-deduktif dan beralih ke metode induktif-empiris. Terutama sejak Francis Bacon menekankan metode empiris, kemajuan evolusioner ini melaju cepat. Dan ini, pada hemat mereka, merupakan bukti terbaik yang menempatkan metode empiris unggul di atas metode rasional.
Sialnya, beberapa tokoh pembaru dan peniru Muslim percaya pada dalih di atas dan masih saja berupaya mengalungkannya di dada para sarjana Islam seolah-olah, dengan cara mengacu Al-Quran, telah berjasa menghadapi budaya Yunani dan menggantikan metode deduktif-rasional dengan metode induktif-empiris. Dan di kemudian hari, pengaruh kebudayaan Islam di Eropa diklaim mereka telah membangkitkan kesadaran para ilmuwan Barat akan nilai metode tersebut.
Khayalan di atas terus berlanjut, sampai-sampai orang-orang teperdaya itu mengira bahwa metode penelitian yang ditawarkan Al-Quran untuk memecahkan semua masalah, tidak lain dan tidak bukan, adalah metode empiris-positivistik. Bahkan, masih menurut anggapan mereka, masalah-masalah teologi, fiqih, dan akhlak juga harus ditelaah dengan metode ini.
Maka, tidaklah mengejutkan pendirian orang-orang yang matanya terpaku mati pada data-data indrawi dan tidak pernah sekali-kali melihat sesuatu di luar indra, menyangkal kemampuan akal dan pemahaman rasional, memandang konsep-konsep rasional dan metafisis sebagai nihil dan tak bermakna sehingga mereka tidak mengakui posisi filsafat di tengah ilmu pengetahuan manusia. Orang-orang ini memangkas peran filsafat sekadar penjelas istilah-istilah yang beredar umum dan mendegradasikannya setingkat ilmu bahasa, atau menganggap tugasnya tidak lebih dari membuat hipotesis untuk memecahkan masalah-masalah pelbagai ilmu pengetahuan.
Yang justru disesalkan adalah sekelompok orang yang, dengan menyebut dirinya sebagai muslim dan mengerti Al-Quran, menghubung-hubungkan penyimpangan dan kemunduran intelektual tersebut dengan Al-Quran dan mengira cara ini sebagai kebanggaan bagi Islam dan para sarjana Muslim.
Di sini, tidak cukup waktu kiranya untuk menyanggah gagasan-gagasan positivistik yang menjadi dasar khayalan-khayalan di atas mengingat, dengan satu dan lain cara, saya telah melakukannya dalam berbagai studi perbandingan. Bagaimanapun, saya merasa perlu untuk lebih mengulas metode-metode rasional dan metode empiris agar tampak betapa rapuhnya klaim-klaim yang dikemukakan dalam kaitan ini.
Analogi, Induksi dan Deduksi
Ada tiga pola dalam upaya meneliti dan mengungkap yang-tak-diketahui (majhūl) melalui yang-diketahui (ma‘lūm):
Pertama
Penyimpulan (inference) yang berangkat dari yang partikular ke partikular lainnya. Yakni, ada dua subjek penelitian yang kedua-duanya serupa, dan kita hanya mengetahui hukum salah satu dari mereka, lalu kita menetapkan hukum satu subjek pada subjek yang lain dengan pertimbangan ada keserupaan di antara keduanya. Umpamanya, kalau ada dua orang serupa (subjek) dan salah satunya cerdas (hukum), kita katakan bahwa orang yang serupa dengannya juga cerdas. Dalam peristilahan logika, pola penyimpulan ini disebut dengan analogi (tamtsīl) dan, dalam peristilahan fiqih, disebut dengan qiyās. Jelas, sekadar kemiripan dan keserupaan dua subjek tidak bisa memastikan kesamaan hukum mereka. Oleh karena itu, pola ini tidak berguna untuk memperoleh kepastian dan tidak bernilai ilmiah.
Kedua
Penyimpulan yang bergerak dari partikular ke universal. Yakni, dengan menelaah individu-individu dari satu esensi dan menemukan sifat yang sama di antara mereka, kita menyimpulkan bahwa sifat itu terdapat pada esensi dan ada pada semua individu. Dalam peristilahan logika, pola ini disebut dengan induksi (istiqrā’).
Ada dua jenis induksi: sempurna (tāmm) dan kurang (nāqish). Induksi sempurna ialah memeriksa semua individu dari subjek penelitian lalu menemukan sifat yang sama di antara mereka semua. Dalam praktiknya, pola penelitian ini tidak mungkin terlaksana, karena biarpun kita bisa memeriksa semua individu subjek yang kini hadir, mustahil kita bisa memeriksa individu lainnya di masa lampau ataupun masa depan. Setidaknya, selalu terbuka kemungkinan adanya sejumlah individu di masa lampau atau masa depan yang tidak teramati dalam proses induksi.
Adapun induksi kurang yaitu memeriksa sekian banyak individu dari suatu esensi lalu menetapkan satu sifat yang sama pada semua individunya. Pola penyimpulan intelektual ini nyata-nyata tidak menghasilkan keyakinan (pengetahuan yang pasti-benar), lantaran selalu saja ada kemungkinan, betapapun lemahnya, sebagian individu tidak teramati dan tidak memiliki sifat yang sama tersebut.
Oleh sebab itu, dalam praktiknya, tidak ada konklusi meyakinkan dan tak terbantahkan yang bisa diperoleh melaui induksi.
Ketiga
Penyimpulan yang bergerak dari universal ke partikular. Yakni, pertama-tama, menetapkan sebuah predikat (hukum) pada sebuah subjek yang universal (umum) lalu, berdasarkan penetapan ini, hukum seluruh individu dan partikular subjek tersebut menjadi jelas. Dalam peristilahan logika, pola penyimpulan ini disebut dengan qiyās (deduksi) dan menghasilkan keyakinan pasti dengan syarat-syarat tertentu, yaitu sejauh materi (isi) premis-premisnya pasti-benar dan pola deduksi disusun dalam forma (bentuk) yang juga benar. Para ahli logika telah menyediakan porsi besar dalam logika klasik untuk menguraikan syarat-syarat material (isi) dan formal (bentuk) deduksi yang pasti-benar atau yang disebut dengan demonstrasi (burhān).
Terdapat satu keberatan masyhur terhadap deduksi: jika kita mengetahui ada hukum umum pada suatu subjek, maka berlakunya hukum ini pada semua individu subjek itu pun pasti diketahui dengan sendirinya, sehingga penyusunan deduksi untuk menetapkan hukum itu pada semua individu subjek menjadi sia-sia. Para pakar logika menjawab: hukum yang terdapat dalam premis mayor diketahui secara global (ijmāl), namun hukum sama yang terdapat dalam konklusi diketahui secara terperinci (tafshīl).
Cara memikirkan masalah-masalah matematika dan rumus-rumus pemecahannya menunjukkan betapa besar efektivitas deduksi, karena penelitian ilmu ini menggunakan metode deduksi. Dan kalau metode ini memang sia-sia dan tidak efektif, tidak akan ada satu masalah matematika yang terpecahkan berdasarkan pada kaidah-kaidah matematis.
Satu catatan perlu digarisbawahi di sini, yaitu bahwa analogi dan induksi sebenarnya mengandung suatu bentuk deduksi yang implisit (dhimniy). Tetapi, dalam kasus analogi dan induksi kurang, deduksinya tidak berupa demonstrasi dan tidak menghasilkan keyakinan [yang pasti-benar]. Seandainya tidak ada deduksi implisit dalam analogi dan induksi, maka penyimpulan tidak pernah terlaksana, sekalipun bersifat spekulatif (zdanniy).
Deduksi implisit dalam analogi berbentuk dari [dua premis: minor dan mayor] sebagai berikut: (minor), hukum tertentu berlaku pada satu dari dua subjek serupa; dan (mayor), setiap yang berlaku pada satu dari dua subjek serupa berlaku pula pada subjek serupa lainnya. Bisa diamati bagaimana premis mayor dalam deduksi analogis ini tidak pasti-benar.
Dalam induksi kurang, juga ada deduksi spekulatif yang implisit; di dalamnya terdapat sebuah premis mayor yang diabaikan, yaitu “setiap hukum yang terbukti berlaku pada banyak individu suatu esensi terbukti pula berlaku pada semua individu esensi tersebut”. Sekiranya induksi dianggap sahih melalui hitungan probabilitas (probability calculus), ia tetap saja memerlukan suatu deduksi untuk bisa menghasilkan konklusi. Demikian pula proposisi-proposisi empiris memerlukan deduksi untuk dapat berlaku sebagai proposisi universal, seperti telah dijabarkan panjang-lebar dalam buku-buku logika klasik.
Alhasil, semua penalaran atas suatu masalah senantiasa bergerak dari yang-universal ke yang-partikular. Hanya saja, adakalanya ia dilakukan secara eksplisit dan tampak seperti dalam deduksi logis, atau dilakukan secara implisit dan tersembunyi seperti dalam analogi dan induksi. Penalaran juga ter¬kadang menghasilkan keyakinan seperti: deduksi demonstratif dan induksi sempurna (kalau memang ada), dan terkadang ia tidak menghasilkan keyakinan seperti: deduksi retoris (khitābiy), dialektis (jadaliy), juga analogi dan induksi kurang.
Metode Rasional dan Empiris
Deduksi, sebagaimana telah dicatat, akan menghasilkan keyakinan manakala sesuai dengan syarat-syarat logika dan forma yang benar, sekaligus memiliki premis-premis yang juga pasti-benar. Apabila proposisi-proposisi (premis-premis) yang pasti-benar ini non-aksiomatis, pada akhirnya pasti berbasis pada proposisi aksiomatis, yakni diperoleh dan disimpulkan dari proposisi-proposisi yang tidak membutuhkan penalaran dan pembuktian apa pun.
Para logikawan membagi proposisi aksiomatis menjadi dua: aksioma primer (badīhiyyāt awwaliyyah) dan aksioma sekunder (badīhiyyāt tsānawiyyah). Termasuk aksioma sekunder adalah data-data empiris (mujarrabāt), yaitu proposisi-proposisi yang diperoleh dari pengalaman (tajribah). Menurut mereka, pengalaman bukanlah metode yang bertentangan dengan metode deduktif. Selain mengandung deduksi, pengalaman juga dapat menjadi salah satu premis dalam deduksi lain.
Atas dasar itu, tidaklah tepat menyimpulkan identik antara induksi dan pengalaman ataupun mempertentangkan pengalaman dengan deduksi. Tentu saja, istilah ‘pengalaman’ punya banyak makna yang tidak bisa kita jelaskan satu per satu di sini. Yang jelas, tindakan mempertentangkan metode empiris dengan metode rasional berasal dari pandangan bahwa metode rasional hanya suatu bentuk induksi yang terdiri atas premis-premis rasional belaka, entah premis-premis itu berupa aksioma primer atau berujung padanya, namun tidak akan berujung pada proposisi-proposisi empiris, seperti halnya semua deduksi demonstratif (qiyās burhāniy) yang digunakan dalam filsafat pertama, matematika, dan sebagian besar ilmu kefilsafatan.
Jadi, letak perbedaan metode rasional dan metode empiris bukan pada yang pertama menggunakan deduksi dan yang belakangan menggunakan induksi, melainkan pada fakta bahwa metode rasional semata-mata berpijak di atas aksioma primer dan metode empiris pada premis-premis empiris yang terhitung sebagai aksioma sekunder. Alih-alih dinilai sebagai kekurangan, perbedaan itu justru merupakan keistimewaan terbesar metode rasional.
Dari butir-butir singkat di atas tampak jelas seberapa rapuhnya pendapat-pendapat (kaum positivis) tersebut dan betapa jauh jarak mereka dari kebenaran. Karena, pertama, pengalaman tidak identik dengan induksi. Kedua, metode empiris tidak bertentangan dengan metode deduktif. Ketiga, baik induksi maupun pengalaman membutuhkan suatu deduksi (implisit). Keempat, baik metode rasional maupun empiris sama-sama deduktif. Bedanya, metode rasional berbasis pada aksioma primer, sedangkan metode empiris berpijak di atas data-data empiris, yakni premis-premis yang nilainya tidak akan pernah mencapai nilai aksioma primer.
Perlu dicatat bahwa simpulan-simpulan ini tentu saja menuntut penjelasan dan penyelidikan lebih jauh, di samping sebagian aturan logika klasik masih bisa diperdebatkan. Tetapi, pembahasan di pelajaran ini akan dilanjutkan sejauh kebutuhan mendesak dan dalam rangka menjernihkan sejumlah anggapan rancu sebagian orang dalam kaitan ini.
Lingkup Metode Rasional dan Empiris
Meskipun mempunyai sejumlah keunggulan atas metode empiris, metode rasional tidak dapat diterapkan dalam semua ilmu. Demikian pula sebaliknya, metode empiris mempunyai lingkupnya yang khas dan tidak bisa diterapkan dalam filsafat dan matematika. Tentu saja, garis-garis pemisah antara kedua metode ini bukan semata-mata kesepakatan, melainkan tuntutan esensi setiap masalah ilmu-ilmu. Yakni, jenis semua masalah ilmu-ilmu alam menuntut pemecahan dengan metode empiris dan premis-premis yang diperoleh melalui pengalaman indrawi, karena konsep-konsep yang berlaku dalam ilmu-ilmu tersebut dan yang menjadi subjek dan predikat proposisi-proposisinya berasal dari objek-objek indrawi (mahsūsāt) sehingga, sudah barang tentu, pemecahan proposisi-proposisi ini pun membutuhkan pengalamai-pengalaman indrawi.
Misalnya, dengan menggunakan analisis filosofis dan rasional, sekeras apa pun otaknya diperas, filosof tidak akan bisa mengungkap bahwa benda terdiri dari banyak molekul dan atom, bahwa elemen apa saja yang diperlukan untuk membuat suatu senyawa kimia dan ciri apa saja yang kemudian muncul. Filosof juga tidak akan mengetahui unsur apa saja yang membentuk makhluk-makhluk hidup dan dalam kondisi fisis apa mereka bisa bertahan hidup, faktor-faktor apa yang menyebabkan binatang dan manusia sakit, dan sarana apa yang bisa dipakai untuk mengobati dan menyembuhkan pelbagai penyakit.
Di sisi lain, masalah-masalah yang terkait dengan realitas-realitas imaterial dan hal-hal non-materi tidak akan pernah bisa dipecahkan lewat pengalaman indrawi ataupun dinafikan melalui ilmu-ilmu empiris. Umpamanya, dengan pengalaman indrawi yang bagaimana dan di laboratorium macam apa serta dengan perangkat ilmiah yang mana ruh atau hal imaterial lainnya bisa diverifikasi keberadaan ataupun ketiadaannya?
Lebih lanjut, semua proposisi filsafat pertama yang terbentuk dari objek-objek sekunder akal filosofis (al-ma‘qūl al-tsānī al-falsafiy) – yakni konsep-konsep yang diperoleh dengan pencermatan pikiran dan analisis rasional, hanya bisa diafirmasi atau dinegasi hubungan dan persatuan (ittihād) mereka dengan akal (‘aql). Maka itu, masalah dan proposisi semacam ini harus dipecahkan dengan metode rasional yang berbasis di atas aksioma-aksioma rasional.
Dengan demikian, terlihat betapa lemahnya pendapat kalangan yang mengacaukan dua lingkup: metode rasional dan metode empiris, serta mencoba menegakkan keunggulan metode empiris di atas metode rasional. Mereka mengira bahwa para filosof kuno hanya memakai metode rasional sehingga tidak begitu berhasil mencatatkan temuan-temuan ilmiah. Padahal, orang-orang kuno juga menggunakan metode empiris dalam ilmu-ilmu alam. Di antara mereka adalah Aristoteles yang, dengan bantuan Alexander dari Macedonia, membuka taman besar di Athena dan memelihara pelbagai tanaman dan binatang di dalamnya, sembari ia amati sendiri keadaan dan kekhasan masing-masingnya.
Perkembangan pesat yang diraih para ilmuwan modern mesti dilihat sebagai berkah penemuan pelbagai perangkat ilmiah baru, perhatian khusus mereka pada masalah-masalah alam dan material serta fokus studi mereka pada aktivitas penemuan dan rekayasa, bukan sebagai akibat dari sikap mereka mengabaikan metode rasional dan menggantikannya dengan metode empiris.
Akhirnya, tidak boleh dilupakan bahwa tatkala sarana dan perangkat tidak memadai untuk memecahkan suatu masalah, para filosof kuno berupaya menutupi kekurangan ini dengan membuat pelbagai hipotesis. Dan untuk mengafirmasi atau mengeksplanasi hipotesis-hipotesis itu, mereka tak jarang menggunakan metode rasional. Akan tetapi, cara mereka ini lebih disebabkan oleh kedangkalan pemikiran filosofis dan ketaklengkapan perangkat-perangkat empiris, bukan bukti atas ketakpedulian mereka pada metode empiris, bukan pula dalih untuk menyangka bahwa fungsi filsafat hanyalah menyediakan hipotesis, sedangkan fungsi ilmu pengetahuan ialah membuktikannya dengan metode ilmiah. Sesungguhnya, pada masa itu, ilmu pengetahuan dan filsafat tidak terpilahkan; semua ilmu empiris merupakan bagian dari filsafat.
Sumber: Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Amuzesy-e Falsafeh, jld.1, pelajaran 8.