Metafisika dalam Tradisi Keilmuan Islam

Istilah yang kerap dipakai sebagai lawan ‘ilmu’ adalah ‘metafisika’. Istilah ini sendiri berakar dari bahasa Yunani, µet? t? f?s??? (Latin: metataphysica). Dengan membuang partikel t? dan mengubah physica ke fisika (physics), terbentuklah istilah metaphysics ‘metafisika’. Kata ini kemudian di-Arab-kan menjadi mâ ba‘da al-tabî‘ah (sesuatu setelah fisika).
Menurut laporan para sejarawan filsafat, kata ini pertama kali digunakan sebagai judul buku Aristoteles yang, pada urutannya, jatuh setelah bagian fisika dan memuat pembahasan umum tentang ‘Ada’. Di era Islam, bagian ini dinamai dengan al-umûr al-‘âmmah (perkara-perkara umum). Sebagian filosof Muslim merasa lebih cocok menggunakan istilah mâ qabla al-tabî‘ah (sesuatu sebelum fisika) untuk menamai bagian ini.
Tampaknya, bagian di atas berbeda dengan bagian teologi atau al-utsûlûjiyyah ‘ilmu tentang ketuhanan’. Namun, dalam karya-karya para filosof Muslim, semua pembahasan di atas dihimpunkan dalam bagian al-ilâhiyyât bi al-ma‘nâ al-’a‘amm ‘ketuhanan dalam makna umum’, sedangkan teologi dikhususkan dengan nama al-ilâhiyyât bi al-ma‘nâ al-’akhashsh ‘ketuhanan dalam makna khusus’.
Sebagian ahli mengira bahwa metafisik sepadan dengan transphysical atau sesuatu di luar alam fisik. Mereka menganggap penggunaan istilah tersebut untuk bagian dari filsafat kuno ini sebagai cara menamai sesuatu yang umum dengan nama yang khusus, karena pada bagian ‘ketuhanan dalam makna umum’, juga terdapat pembahasan tentang Tuhan dan hal-hal abstrak (mujarrad). Bagaimanapun, agaknya pengertian pertamalah yang paling tepat.
Walhasil, ‘metafisika’ dipakai sebagai istilah untuk menyebut sekumpulan masalah teoretis-rasional yang membentuk bagian dari filsafat dalam makna umum. Kini, istilah filsafat juga terkadang digunakan khusus pada masalah-masalah ini dan, dengan demikian, salah satu makna teknis baru dari filsafat sama dengan ‘metafisika’. Adapun alasan kaum positivis menganggap masalah-masalah ini tidak ilmiah ialah ketidakmungkinan mereka diverifikasi oleh pengalaman indrawi. Ini seperti juga Kant yang menganggap akal teoretis tidak memadai untuk memverifikasi masalah-masalah tersebut dan menyebut mereka sebagai dialektis atau antinomi (jadaliy al-tarafayn).
Hubungan Ilmu, Filsafat dan Metafisika
Mengingat perbedaan makna dan pengertian yang telah diuraikan seputar ‘ilmu’ dan ‘filsafat’, hubungan di antara dua istilah ini juga menjadi berbeda; tergantung makna apa yang dimaksud. Jika ilmu dipakai dalam pengertian: pengetahuan apa pun, atau dalam pengertian: kumpulan proposisi apa saja yang saling berkaitan, ia berarti lebih umum daripada filsafat, karena akan mencakup proposisi partikular dan ilmu konvensional. Jika ilmu dipakai dalam pengertian: proposisi universal hakiki, ia menjadi sepadan dengan filsafat dalam pengertian kuno. Jika dipakai dalam pengertian: proposisi-proposisi empiris, ia menjadi lebih sempit daripada filsafat dalam pengertian kuno dan bertentangan dengan filsafat dalam pengertian modern (baca: himpunan proposisi non-empiris). Demikian pula, metafisika merupakan bagian filsafat dalam pengertian kuno dan sepadan dengan filsafat dalam salah satu pengertian modernnya.
Perlu dicatat bahwa upaya mempertentangkan filsafat dan ilmu dalam pengertian modern, seperti dilakukan oleh kaum positivis, bertujuan tidak lain untuk merendahkan nilai masalah-masalah filosofis dan mengingkari kedudukan akal dan nilai pengetahuan rasional. Upaya ini jelas-jelas tidak benar. Di bagian epistemologi buku ini akan dibuktikan bahwa pengetahuan rasional bukan saja tidak kurang nilainya dibandingkan dengan nilai pengetahuan indrawi dan data empiris, malah lebih tinggi daripada dua yang terakhir ini. Bahkan, data empiris ditentukan nilainya oleh nilai pengetahuan rasional dan proposisi-proposisi filosofis.
Atas dasar itu, pengkhususan makna ‘ilmu’ untuk pengetahuan empiris dan makna filsafat untuk pengetahuan non-empiris bisa diterima kalau hanya semata-mata konvensi dan peletakan istilah. Maka, tidak sepatutnya terjadi kesalahpahaman dari perbedaan kedua istilah ini sehingga masalah-masalah filsafat dan metafisika lantas dianggap sebagai dugaan dan khayalan kosong. Demikian pula, label ‘ilmiah’ tidak meneguhkan keunggulan apa pun bagi suatu aliran filosofis. Dua label ‘ilmiah’ dan ‘empiris’ itu laksana jalinan disharmonis yang dapat ditengarai sebagai indikasi atas ketunatahuan atau upaya demagogis pemasangnya.
Demikian halnya klaim bahwa prinsip-prinsip filsafat seperti: Materialisme Dialektik, yang berasal dari hukum-hukum empiris juga tidaklah tepat, karena hukum-hukum ilmu (empiris) apa pun tidak dapat dirampatkan pada ilmu lain, apalagi pada seluruh realitas. Misalnya, hukum-hukum psikologi dan biologi tidak dapat dirampatkan pada fisika atau kimia atau matematika, demikian pula sebaliknya. Semua hukum ilmu-ilmu ini tidak berarti apa-apa di luar wilayahnya sendiri ((Âmûzesh-e Falsafeh, jil. I, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Sazman-e Tablighat-e Islami, Qom, 1378 HS/2000 M).