Menilai Syiah dari Kitab Induk Hadis

Dalam aqidah Syiah, ucapan, perbuatan dan taqrir para imam Ahlul Bait a.s. (yakni persetujuan yang dapat dilihat dari tidak adanya teguran mereka terhadap suatu perbuatan yang berlangsung di hadapan mereka) adalah hujjah, kebenaran yang harus diikuti dan merupakan pegangan bagi Syiah, karena Nabi SAW, sebagaimana hadis mutawatir, telah memerintahkan agar kita berpegang teguh kepada kitab Allah dan Ahlul Bait beliau. Di samping itu, mereka adalah orang-orang suci, maksum, yang telah diselamatkan Allah SWT dari perbuatan dosa dan kesalahan. Karena itu, salah satu sumber fiqh Syiah, setelah Al-Quran dan sunnah Nabi SAW, ialah ucapan, perbuatan dan taqrir para imam Ahlul Bait a.s.
Para imam a.s. itu hanya menyampaikan hadis mereka dari datuk-datuk mereka hingga bersambung ke Nabi SAW. Maka hadis-hadis mereka sesungguhnya adalah juga hadis-hadis Nabi SAW. Dan kita tahu bahwa periwayatan hadis oleh seorang tsiqah (yang dapat dipercaya) diterima oleh seluruh ulama Islam.
Imam Muhammad ibn Ali Al-Baqir a.s. berkata kepada Jabir, “Hai Jabir, jika yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah pandangan kami sendiri dan karena hawa nafsu, maka kami akan celaka. Tapi ketahuilah, yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah hadis-hadis Rasulullah SAW” (Jami’ Ahadits Al-Syi’ah, jld. 1, hlm. 18).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Ja’far Al-Shadiq a.s. tentang suatu masalah dan Imam memberikan jawabannya, namun orang itu kemudian bertanya lagi, “Bagaimana jika masalah ini begini dan begitu, apa pendapatmu?” Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Ketahuilah, tidak satu jawaban pun yang kuberikan kepadamu kecuali dari Rasulullah SAW. Kami sama sekali bukan termasuk kelompok orang yang dapat ditanya ‘Apa pendapatmu?’”. (Ushul Al-Kafi, jld. 1, hlm. 58).
Dalam pada itu, perlu dikemukakan di sini bahwa Syiah juga memiliki kitab-kitab hadis utama yang dipercayai validitasnya seperti: Al-Kafi, Al-Tahzib, Al-Istibshar, dan Man la Yahduruhu Al-Faqih. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa Syiah menerima begitu saja seluruh hadis dan riwayat yang disebutkan dalam kitah-kitab itu, karena selain kitab-kitab hadis, Syiah juga mempunyai kitab-kitab Rijal yang berfungsi mengungkap keadaan para perawi pada semua level sanad. Jika para perawinya, pada semua level sanad, dapat dipercaya dan tsiqat, Syiah akan menerima hadis tersebut. Tetapi jika tidak, Syiah akan menolaknya. Dengan demikian, Syiah baru dapat menerima riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab utama tersebut jika memenuhi kriteria tadi.
Selain itu, boleh jadi ada riwayat yang dari segi sanad dapat dikategorikan sebagai riwayat muktabar dan dapat diterima, tetapi karena ada cacat-cacat lain pada riwayat tersebut, maka para ulama dan fuqaha Syiah dari dahulu hingga sekarang mengabaikannya. Riwayat semacam ini disebut dengan riwayat mu’radh anha atau riwayat yang diabaikan, dan sudah barang tentu tidak mendapat tempat di kalangan Syiah.
Dari sini tampak bahwa jika seseorang ingin mendapat keterangan dan penilaian tentang aqidah Syiah, maka sangat keliru sekali bila hanya bersandar pada sebuah atau beberapa riwayat yang terdapat pada buku-buku tersebut tanpa melakukan penelitian atas sanadnya.
Dengan kata lain, kalau dalam sebagian mazhab Islam terdapat kitab-kitab hadis yang disebut “al-sihah”, para penyusunnya tidak ragu sedikitpun mengkategorikan seluruh riwayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut adalah sahih. Namun tidak demikian dalam Syiah dan sikapnya terhadap kitab-kitab muktabar mereka sendiri. Kitab-kitab hadis itu memang betul disusun oleh orang-orang tsiqat dan dapat dipercaya, akan tetapi untuk menentukan kesahihan hadis-hadisnya harus dikembalikan ke ilmu rijal untuk dilakukan penelitian terhadap para perawinya.
Jika masalah ini diperhatikan dengan baik, ia akan mendapat kejelasan banyak persoalan dan isu yang diarahkan terhadap Syiah. Tetapi jika masalah ini diabaikan, maka ini akan berakibat pada banyak kekeliruan dan kesalahpaharnan terhadap aqidah Syiah.
Ringkasnya, hadis-hadis para imam dua belas menempati posisi yang sangat tinggi dalam Syiah, yaitu berada setelah Al-Quran dan sunnah Nabi SAW tetapi dengan catatan: hadis-hadis tersebut harus pasti datangnya dari para imam dengan jalur yang muktabar.
Sumber: Nashir Makarim Syirazi, , I’tiqade-ma, Qom, 1375 HS.