Keswanyataan Realitas Objektif

0
920

Berangkat dari Ada sebagai subjek utama filsafat, maka pada dua daras sebelumnya telah dikemukakan penjelasan seputar konsep Ada. Dan kini saat kita menjelaskan keswanyataan keyakinan pada realitas/Ada objektif.

Pada hakikatnya, Ada sebagai konsep maupun sebagai realitas eksternal adalah tak ubahnya dengan pengetahuan. Yakni, sebagaimana konsep pengetahuan tidak perlu definisi, realitas dan kenyataan objektif pengetahuan juga swanyata dan tidak perlu pembuktian. Seorang yang berakal sehat tidak akan beranggapan bahwa alam realitas ini adalah kenihilan dalam ketiadaan; tidak ada manusia, tidak ada pula adaan lainnya. Bahkan, kaum sofis yang menempatkan manusia sebagai ukuran segala sesuatu, setidak-tidaknya, mengakui realitas manusia. Hanya sepenggal kata-kata yang dilaporkan dari Gorgias, penganut Sofisme paling ekstrem, tampaknya secara mutlak mengingkari Ada dan realitas apa pun, seperti telah dibahas pada Bagian Epistemologi. Namun, agaknya ia sendiri tidak memaksudkan, kalau memang laporan itu benar, makna yang tersurat sehingga pengingkarannya juga tertuju pada realitas dirinya dan kata-katanya sendiri, kecuali ia menderita gangguan kejiwaan yang parah atau bermaksud buruk.

Telah terklarifikasi bahwa pengingkaran ini sendiri sesungguhnya mengembang-biakkan banyak pengetahuan. Di sini dapat ditambahkan bahwa pengingkaran ini meniscayakan pengakuan atas sejumlah adaan yang merupakan objek pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, jika seseorang mengingkari Ada/realitas dirinya dan realitas pengingkarannya sendiri, ia tak bedanya dengan orang yang mengingkari realitas keraguan dan sikap Skeptisismenya sendiri sehingga ia, suka atau tidak, secara praktis harus diperlakukan agar menerima Ada dan realitas.

Bagaimanapun, manusia berakal yang belum terkacaukan oleh isu-isu kalangan sofis, skeptis dan idealis, tidak hanya menerima ada dirinya, realitas daya-daya pengetahuan, forma-forma dan konsep-konsep pikiran, juga realitas aksi dan reaksi kejiwaannya sendiri, tetapi juga meyakini sepenuhnya ada orang lain dan realitas dunia eksternal. Oleh karena itu, ketika merasa lapar, ia akan mengonsumsi makanan eksternal; ketika merasa kedinginan atau kepanasan, ia juga akan memanfaatkan hal-hal objektif; dan ketika menghadapi musuh atau merasa dalam bahaya, ia akan berpikir untuk mempertahankan diri dan mencari jalan keluar darinya: kalau mampu, dia akan melawan dan, kalau tidak, akan memilih untuk menghindar dan melarikan diri. Demikian pula, tatkala merasakan persahabatan, dia akan menjadi intim dengan seorang sahabat yang nyata adanya secara eksternal dan menjalin hubungan akrab dengannya. Hal yang sama juga akan berlangsung dalam urusan-urusan hidup lainnya. Tidak terbayangkan bila orang-orang sofis atau idealis itu berperilaku beda dari yang lain, sebab kalau memang tidak begitu, mereka tidak akan lama bertahan hidup; mati karena kelaparan dan kehausan atau menderita bencana dan malapetaka lain.

Baca juga :   Hukum Islam dan Relevansinya dengan Dinamika Zaman

Itulah sebabnya keyakinan akan Ada objektif dinyatakan sebagai pengetahuan swanyata dan perkara fitri. Biarpun begitu, pernyataan ini perlu penjabaran lebih terperinci yang akan diupayakan sejauh kapasitas daras ini. Tetapi, sebelum memulai, ada baiknya dideskripsikan terlebih dahulu pola-pola pengingkaran terhadap Ada agar masing-masing pola dapat disikapi secara proporsional.

(Visited 114 times, 1 visits today)

Leave a reply