Kaidah Umum Tafsir

0
989

Tafsir adalah menyingkap makna ayat-ayat Al-Quran dan menjelaskan maksud Allah SWT. Karena itu, dalam menafsirkan, tidak diperbolehkan bersandar pada data-data dzanni (dugaan) yang tidak meyakinkan, akan tetapi harus berdasarkan dalil-dalil logika dan nash yang muktabar dan dan dapat diterima. Demikian ini mengacu pada beberapa hal berikut:

1. Dalam nash (teks tegas) agama, dilarang mengikuti dalil-dalil dzanni yang tidak meyakinkan.
2. Haram menisbatkan sebuah konsep kepada Allah SWT tanpa ijin-Nya dan ini merupakan dosa tak terampuni sebagaimana dalam firman-Nya:

“Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah ?’” (QS: Yunus, 59).

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS: Al-Isra’, 36).

Dalam hal yang demikian ini, terdapat banyak ayat dan riwayat yang menyebutkan peringatan kepada manusia yang menyandarkan dirinya dan melakukan sesuatu tanpa pengetahuan yang valid dan tidak benar. Lebih dari itu, banyak riwayat lain dari jalur Syiah dan Ahli Sunnah yang benar-benar keras melarang dan mencegah tafsir bi al-ra’y, yakni sebentuk penafsiran yang berdasarkan pada pendapat pribadi dan takwil semau hati.

Dengan ini, jelas bahwa tidak benar tafsir al-Quran bersandar pada pendapat pribadi mufassir dan mengikuti pendapatnya sendiri, karena demikian itu tidak lebih dari sekadar mengikuti dzan (dugaan) dan prasangka yang tidak akan menghasilkan objektifitas dan kebenaran:

“Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS: Al-Najm, 28).

Sumber Epistemologis Tafsir
Telas dijelaskan bahwa dalam tafsir al-Quran, tidak boleh mengikuti dan bersandar pada dzan dan prasangka yang tidak memiliki dasar hujjah (pembuktian) secara rasional maupun nash, namun harus dengan dalil-dalil ilmiah yang meyakinkan berdasarkan data-data logika dan nash yang valid dan memiliki kredibilitas. Seorang mufassir Al-Quran dalam proses penafsirannya harus mengikuti data-data ilmiah, rasional dan nash yang objek-objeknya teringkas sebagaimana berikut:

Baca juga :   Bahaya Tafsir Bi Al-Ra’yi

1. Makna zahir (literal) dari lafadz al-Quran merupakan salah satu sumber dan data kredibel dalam tafsir, karena sudah jelas bahwa makna zahir lafadz Al-Quran memiliki kredibilitas dan nilai autoritatif yang pasti.

2. Logika autentik dan murni dari pengaruh pemikiran pribadi dalam proses penafsiran juga merupakan salah satu sumber yang dapat menjadi dasar, karena logika merupakan hujjah dan petunjuk yang benar dan kredibel dalam diri manusia, sebagaimana Nabi SAW merupakan hujjah dan petunjuk di luar dirinya.

3. Arahan dan hadis yang pasti bersumber dari figur-figur maksum a.s. dalam penafsiran Al-Quran sepenuhnya memiliki kredibilitas dan layak untuk diikuti, karena mereka merupakan rujukan dan dapat dipercaya dalam persoalan-persoalan agama. Nabi SAW bahkan telah mendeklarasikan secara jelas dan tegas keharusan berpegang teguh kepada hadis mereka dengan sabdanya, “Aku telah meninggalkan untuk kalian dua pusaka berat, jikalau kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian selamanya tidak akan jatuh dalam kesesatan” (Kanz Al-Ummal, Bab Al-I’tisam bi Al-Kitab wa AlSunnah, jld. 1, hlm. 153 & 33).

4. Riwayat-riwayat dzanni yang kredibel juga bisa dijadikan sandaran dalam penafsiran Al-Quran, yakni hadis-hadis sahih yang secara pasti bersumber dari figur-figur maksum a.s. tidak diragukan untuk digunakan sebagai sandaran dalam mentafsiran Al-Quran. Tentunya tidak diperbolehkan jika kualitas hadisnya adalah dhaif (lemah).

Lantas, bagaimana dengan hadis-hadis yang disebut sebagai “khabar wahid” yang memiliki syarat-syarat autoritatif (hujjiyah) dan kredibel? Apakah dapat digunakan dalam tafsir Al-Quran? Ini persoalan yang banyak diperselisihkan oleh para mufassir dan ulama hadis.

Dalam pandangan kami, riwayat-riwayat yang demikian ini masih dapat digunakan sebagai sandaran dalam menafsirkan Al-Quran sehingga mufasir dapat memanfaatkannya dalam proses penafsiran al-Quran karena dapat memenuhi kriteria hujjah dan kredibilitasnya.

Baca juga :   Ayat Kursi: Satu Ayat atau Tiga Ayat?

 Sumber: Sayyid Abul Qasim Al-Khu’i, Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Beirut, 1987.

(Visited 301 times, 1 visits today)

Leave a reply