Islam: Agama Abadi dan Dinamis

0
1223

Cahaya-IlahiSejenak saja kita merujuk perkembangan dunia dan pencapaiannya di era modern ini, apakah dapat dipercaya bahwa Islam mampu mengelola tata kehidupan umat manusia dan memenuhi segala hal yang dibutuhkan? Bukankah berkat pencapaian ilmu pengetahuan umat manusia, kini mereka telah mampu menjelajahi ruang angkasa dan meneliti benda-benda langit di sana? Apakah masih belum saatnya manusia diperkenankan untuk meninggalkan agama dan ajaran-ajaran kunonya? Mengapa manusia tidak dibiarkan untuk memilih cara baru dalam menikmati hidupnya yang berharga ini? Mengapa agama mencegah manusia dari memfokuskan pikiran dalam rangka mengembangkan penemuan-penemuan yang begitu spektakuler ini?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kiranya perlu dijelaskan beberapa permasalahan. Memang benar, kita lebih menyukai hal-hal yang baru daripada yang lama. Kita selalu mendahulukan apa saja yang bersifat baru dari segala hal yang sudah lama. Tapi sangat perlu diingat pula di sini, bahwa pola pikir seperti ini [pertimbangan antara lama dan baru] tidak selamanya benar dan tidak dapat diaplikasi-kan di segala kasus. Contohnya, sejak ribuan tahun yang lalu, semua orang masih dan senantiasa yakin bahwa satu ditambah satu adalah dua, dan kita tidak bisa mengklaim bahwa mereka telah memiliki keyakinan yang sudah kuno sehinga harus ditinggalkan.

Kita juga tidak bisa menyatakan bahwa kehidupan sosial yang telah dijalani umat manusia sejak dahulu kala sudah tak layak lagi dijalani; kita harus memulai hidup baru dengan cara hidup menyendiri. Kita tidak bisa berpikiran seperti itu. Kita tidak bisa menghukumi bahwa kepatuhan pada peraturan sosial — yang selalu mem-batasi kebebasan manusia — adalah model kehidupan yang sudah usang, ketinggalan zaman, dan semua orang telah dibuat letih olehnya.

Kita tidak bisa menyatakan bahwa di zaman seperti ini, manusia sudah mampu melintas ke angkasa raya dengan menggunakan jet-jet luar angkasa yang super-canggih lalu berkeliling di sekitar orbit benda-benda langit dan sibuk meniliti keadaan dan perubahan alam; di zaman ini manusia harus membuka jalan baru dan membebaskan diri dari belenggu aturan-aturan sosial yang menjemukan.

Tak perlu dijelaskan betapa rapuhnya pernyataan seperti ini; sungguh tak berdasar. Pada dasarnya, isu baru dan lamanya sesuatu layak diperkarakan seperti ini jika memang sesuatu tersebut punya potensi untuk mengalami perubahan. Jika sesuatu tersebut punya potensi untuk berubah, baru kita bisa menyatakan bahwa pada suatu saat, sesuatu tersebut masih dapat dikatakan baru; dan kelak—karena satu dan lain hal — sesuatu tersebut akan menjadi barang lama.

Oleh karena itu, kita tidak layak memperkarakan; apakah Islam bersifat baru atau lama. Karena, Islam adalah sistem yang sudah menjadi kelaziman tata cipta alam semesta. “Apakah Islam mampu mengelola tata kehidupan umat manusia di zaman yang serba canggih ini?” adalah salah satu dari sekian pertanyaan yang telah mengkaitkan isu ‘baru dan lama’ dengan Islam. Di sini kita tidak patut menyinggung isu ini, karena setiap sesuatu punya masa dan tempatnya masing-masing.

Adapun pertanyaan “apakah Islam mampu mengelola kehidupan manusia di zaman seperti ini?”, adalah pertanyaan yang tak jarang lagi terdengar. Dengan memahami makna hakiki Islam sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an, kita pasti akan sangat terkesima. Dalam kitab suci ini, Islam adalah sebuah jalan yang telah ditunjukkan oleh fitrah dan kodrat manusiai serta alam kepada diri kita. Yakni, Islam adalah sistem hukum dan peraturan yang sangat sesuai dengan kodrat khas manusia. Islam sangat relevan dengan kodrat dan fitrah manusiawi kita. Islam adalah sebuah agama yang mampu memenuhi segala kebutuhan hakiki — bukan kebutuhan yang timbul dari tuntutan hawa nafsu dan emosi — yang dirasakan para pemeluknya.

Secara jelas kita dapat memahami bahwa kodrat dan fitrah manusia, selama ia sebagai manusia, wujudnya adalah wujud dasarnya; sebagaimana adanya, dan sepanjang masa tidak akan pernah berubah. Di manapun manusia berada, kapanpun ia menjalani hidupnya, dan dengan pola apa pun ia tinggal di dunia, senantiasa fitrah ada di dalam wujudnya. Kodrat dan fitrah ini akan selalu menunjukkan jalan kebenaran kepada manusia; entah ia mau menempuhnya ataukah tidak.

Dengan penjelasan ini, dapat kita katakan bahwa makna pertanyaan di atas adalah demikian ini, “Apakah ketika manusia mau menempuh jalan yang telah ditunjukkan kepadanya oleh fitrah dan kodrat ciptaannya, ia akan mencapai prestasi alamiahnya? Apakah manusia akan meraih cita-cita fitriahnya? Misalnya, jika ada sebatang pohon yang sedang menempuh jalur perjalanan nabati yang telah ditunjukkan oleh kodrat nabati kepadanya, apakah ia akan berhasil mencapai titik tujuan alamiah nabatinya?” Tak diragukan lagi, pertanyaan seperti ini ibarat memasang tanda tanya di hadapan sebuah realita yang cukup jelas. Gamblang sekali bahwa pertanyaan seperti ini muncul dari seseorang yang meragukan suatu permasalahan yang tak semestinya ia ragukan.

Islam, yakni jalan fitrah dan jalur tabiat, adalah jalan kehidupan manusiai yang hakiki bagi umat manusia. Jalan hakiki ini tidak akan berubah hanya karena perubahan situasi dan kondisi hidup. Kebutuhan dan tuntutan-tuntutan fitrah adalah kebutuhan dan tuntutan hakiki manusia. Tujuan tertinggi fitrah adalah tujuan hakiki yang tertinggi bagi manusia. Allah Swt pernah berfirman yang kandungannya adalah sebagai berikut:

“Dengan teguh dan dalam keadaan yang patut, menghadaplah ke arah agama ini! Yakni fitrah dan bentuk penciptaan yang mana umat manusia tercipta atas dasar hal itu. Tidak ada perubahan dalam penciptaan Tuhan. Itulah agama yang dapat mengatur hidup umat manusia” (Al-Rum:30).

Permasalahan ini dapat dijelaskan dengan singkat seperti berikut: Sebagaimana yang sering kita saksikan, banyak sekali maujud yang berada di alam semesta ini. Setiap maujud memiliki pola hidup khusus dan mempunyai jalur perjalanan hidup tersendiri. Setiap maujud dalam jalur perjalanan hidupnya bergerak menuju suatu tujuan dan titik persing-gahan akhir. Suatu kesuksesan yang dapat membahagiakan mereka adalah sampainya diri mereka ke tujuan yang mereka inginkan tanpa harus berhadapan dengan kendala apa pun.

Dengan penjelasan lain, setiap maujud ingin menjalani hidupnya dengan aman dan berjalan di jalur perjalanan hidup alamiahnya — yang telah ditunjukkan oleh tabiat dan fitrahnya sendiri kepadanya — dengan nyaman sehingga dapat mencapai tujuan hakiki yang sebenarnya.

Contohnya, sebuah maujud yang bernama biji gandum, memiliki jalur perjalanan nabati alami dalam pertumbu-hannya. Atas tabiat alamiahnya, biji gandum menyerap zat-zat berguna dari dalam tanah lalu memanfaatkannya dengan baik. Ibaratnya, tabiat biji gandum adalah secercah cahaya yang selalu mengarahkan biji gandum untuk tumbuh dan berkembang secara baik guna mencapai kesempurnaannya.

Biji gandum yang memiliki jalur kehidupan nabati tersendiri tidak mungkin mengubah jalan pertumbuhannya lalu melangkahkan “kedua kakinya” di jalur perjalanan partum-buhan hewani. Tak mungkin sepasang sayap dan paruh mungil akan muncul darinya lalu berubah menjadi seekor burung yang mampu mengepakkan sayap dan terbang bebas di angkasa. Ia tidak akan melangkahkan kedua kakinya di jalur pertumbuhan nabati pohon apel. Ia tidak mungkin menumbukan batang pohon apel yang tinggi dan juga ranting dan dedaunannya yang lebat dan hijau. Biji gandum tidak akan mengembangkan bunga dan menghasilkan buah apel. Sesungguhnya setiap maujud memiliki hukum seperti ini.

Begitu juga manusia; memiliki jalur kehidupan manusiai yang alamiah dan sebuah tujuan mulia yang berupa kebahagiaan dan kesempurnaan hakiki. Ia memiliki sesuatu yang bernama fitrah. Fitrah inilah yang selalu menunjukkan jalan kehidupan yang benar kepada manusia; jalan yang akan menghantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kebaikan yang sebenar-nya. Allah SWT berfirman:

Baca juga :   Rahasia di Balik Allah Menguji Manusia

“Tuhan adalah dzat yang telah menciptakan segala sesuatu lalu memberinya hidayah” (Thaha: 50).

Mengenai hidayah yang diberikan kepada manusia, Allah Swt berfirman:

“Demi jiwa dan dzat yang telah menciptanya. Lalu Ia memahamkan kebaikan dan keburukan kepadanya. Sungguh beruntung orang yang mensucikannya. Dan sungguh merugi orang-orang yang mengkotorinya” (Al-Syams:7-10).

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jalur perjalanan hayati manusiai yang akan menghantarkan umat manusia kepada kesempurnaan dan kebahagiaan hakikinya adalah jalan yang telah ditunjukkan oleh fitrah dan tabiat alami kepada diri manusia sendiri. Perlu diketahui bahwa jalan tersebut adalah jalan yang telah dibangun berdasarkan tuntutan dan kemaslahatan penciptaan alam semesta dan diri manusia. Jalan fitrah adalah jalan yang benar; entah jalan tersebut sesuai dengan tuntutan nafsu ataukah tidak. Karena sebenarnya, nafsu, amarah dan emosi yang seharusnya mengikuti fitrah manusia dan taat kepadanya; bukan malah sebaliknya, fitrah harus tunduk di hadapan nafsu, amarah dan emosi.

Dengan demikian masyarakat dunia seharusnya dibangun atas dasar fitrah; bukannya berdasarkan khayalan dan angan-angan nafsu yang selalu menipu. Di sinilah perbedaan antara aturan-aturan Islam dengan aturan-aturan yang lain menjadi tampak jelas. Aturan-aturan sosial biasa tidak diciptakan atas dasar fitrah manusia; aturan-aturan tersebut dijalankan atas dasar suara mayoritas (lima puluh satu persen) orang-orang. Lain halnya dengan aturan-aturan Islam. Islam dan aturan-aturan-nya diciptakan berdasarkan fitrah suci manusiawi. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Swt adalah sang pencipta yang telah menciptakan Islam dan aturan-aturannya. Sebagaimana yang telah difirmankan dalam ayat-ayat ini:

“Sesungguhnya hukum adalah milik Allah” (Yusuf: 40).
“Bagi orang-orang yang beriman, siapakah yang lebih baik dari Allah dalam memberikan hukum?”(Al-Maidah: 50).

Kini aturan-aturan sosial yang telah dijalankan atas dasar pendapat mayoritas masyarakat atau keinginan seorang diktator telah menjadi aturan resmi masyarakat dunia; baik aturan-aturan tersebut sesuai dengan kebenaran dan kemas-lahatan bersama atau tidak. Akan tetapi bagi komunitas masyarakat Islam yang hakiki, hukum dan aturan-aturan kehidupan hanya dapat diolah dan ditentukan oleh Tuhan.

Di sini kita bisa menjawab sebuah syubhat yang lain. Syubhat tersebut adalah sebuah pertanyaan yang kandungannya seperti ini: “Islam tidak sesuai dengan kondisi masyarakat dunia zaman ini. Masyarakat dunia kini telah merasakan kebebasan yang sungguh luar biasa. Dengan demikian, bagaimana mungkin mereka rela membelenggu diri sendiri dengan cara memeluk agama Islam?”

Memang jika kita perhatikan kehidupan umat manusia di zaman ini yang telah bergelimang nista dan keburukan moral yang sangat membahayakan, lalu kita bayangkan Islam disejajarkan dengan bentuk kehidupan semacam ini, maka jelas tidak ada kesesuaian antara agama Islam yang terang benderang dan bercahaya dengan kehidupan umat manusia yang kini diselimuti kegelapan tebal. Dalam kondisi seperti ini, janganlah kita berharap Islam akan memainkan perannya, karena kini hanya sebagian hukum-hukum Islam saja yang dijalankan di dunia.

Harapan serupa tak ubahnya dengan harapan seorang warga negara yang hidup di tengah-tengah pemerintahan diktator tetapi ia selalu berangan-angan untuk merasakan nikmatnya hidup di negara demokratis. Atau juga seperti harapan seorang pasien yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit dan selalu berharap untuk dapat menikmati kesehatannya seperti semula, meskipun ia tak berusaha sedikitpun untuk mendapatkan kesehatan tersebut dan hanya merasa cukup dengan ditulisnya resep oleh bapak dokter tanpa berusaha melakukan apa yang dianjurkan.

Coba jika kita mengamati betapa sucinya fitrah manusia, lalu kita hadapkan dengan Islam, yakni agama fitri, maka kita akan melihat betapa sesuainya agama ini dengan fitrah alami manusia! Fitrah telah memilih Islam untuk manusia dan menyatakan bahwa tidak ada jalan kehidupan terbaik selain Islam. Jika memang demikian, bagaimana mungkin Islam tidak cocok dengan fitrah manusia!

Sangat disesalkan sekali, kini fitrah manusia telah ternoda akibat kejahatan dan dosa yang telah dilakukan manusia itu sendiri. Kini fitah telah melemah dan susah mengenal jalan fitri yang seharusnya ia kenal dengan baik. Tetapi ada sebuah jalan keluar yang rasional untuk permasalahan ini. Kita harus gigih berjuang melawan keadaan sehingga kesempatan untuk berubah tetap terbuka lebar. Kita tidak boleh putus asa dalam mencapai kesempurnaan manusiai. Tak seharusnya kita malah mengucilkan fitrah yang sudah melemah ini lalu membiarkannya begitu saja tanpa kita pedulikan.

Sejarah telah menjadi saksi mata keberhasilan cara ini. Nenurut kesaksiannya, setiap perubahan yang berlangsung di muka bumi ini pada awalnya sangat susah; sering terjadi perten-tangan — tak jarang juga pertentangan ini menyebabkan pertumpahan darah — antara hal yang baru dengan yang lama. Tak lama setelah tarik ulur dan pertikaian terjadi, secara bertahap akhirnya masyarakat dapat menerima perubahan tersebut dan melupakan masa silam mereka yang buruk.

Sistem pemerintahan demokratis, misalnya, yang menurut sebagian orang adalah sistem pemerintahan yang terbaik — karena sistem ini adalah sistem kedaulatan rakyat — tidaklah berdiri semudah yang kita bayangkan. Setelah tragedi berdarah di Perancis dan beberapa negara lain terjadi, lambat laun demokrasi dapat dijalankan. Begitu juga ideologi Komunisme; orang-orang komunis tega membunuh puluhan juta manusia di negara-negara besar dunia seperti Rusia dan kemudian di beberapa negara Asia, Eropa, dan Amerika Latin hanya demi penerapan ideologi ini.

Ternyata telah terbukti bahwa keengganan masyarakat untuk menerima sebuah perubahan tidak menjadi dalil kemustahilan terjadinya perubahan tersebut. Islam lebih dari hal ini. Islam adalah agama yang “hidup” dan layak dipeluk oleh semua kalangan masyarakat. Selanjutnya, sudah kiranya menjelaskan permasalahan ini secara lebih terperinci.

Islam dan Kebutuhan Hakiki-Abadi
Nilai sebuah permasalahan yang sedang dibahas dan diteliti kebenaran atau kebatilannya bergantung pada nilai realitas permasalahan tersebut jika sekiranya dipraktekkan. Yakni nilai lebih sebuah permasalahan ditentukan oleh ampak-dampak yang akan muncul darinya ketika diamalkan. Tentunya jika dampak-dampak tersebut sangat berguna bagi kehidupan umat manusia sehari-hari, maka permasalahan tersebut lebih bernilai untuk dibahas.

Seseorang yang bodoh mungkin saja mengira bahwa makan dan minum sama nilainya dengan nilai kehidupan itu sendiri. Yakni, baginya nilai kehidupan—nikmat dan karunia yang sangat berharga—sama dengan nilai makanan dan minuman. Orang yang pintar tidak berpikiran sedemikan rupa. Mungkin ada seseorang yang kelihatannya berpikiran sederhana, padahal itu luar biasa. Ia berpikir bahwa kehidupan sosial sangat penting bagi umat manusia. Jelas pemikiran seperti ini memiliki nilai yang sangat tinggi yang hampir menyamai nilai kehidupan sosial tersebut yang sangat mengagumkan sekali. Tak dapat dibayangkan betapa bernilainya kehidupan sosial yang dalam setiap saat berbagai gerak aktif dan pasif terwujud darinya, semuanya saling berkaitan satu sama lain, dan dalam setiap harinya memberikan jutaan hasil; dari yang positif sampai yang negatif.

Sebenarnya tidak dapat diingkari bahwa permasalahan “apakah Islam mampu memberikan semua yang dibutuhkan umat manusia?” memiliki nilai yang sangat berharga sebagai-mana nilai kehidupan itu sendiri; nilai yang bagi manusia tak lagi terungguli.

Kurang lebihnya, setiap orang yang memeluk agama Islam pasti pernah memiliki pertanyaan seperti ini. Paling tidak, pertanyaan seperti ini terbetik di benaknya di antara sekian pertanyaan lain seputar Islam.

Baca juga :   Memilih Agama antara Harus dan tidak Harus

Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan seperti ini telah lama muncul di benak para pengikut agama Islam. Berabad-abad yang lalu, Islam telah menjadi penyebab munculnya pertanyaan-pertanyaan ilmiah seputarnya. Pertanyaan-pertanyaan ini selalu berpindah dari benak seseorang kepada benak orang lain yang mewarisinya. Lambat laun masalah-maslah islami seperti ini yang seharusnya dibahas dan selesaikan, terpendam dalam batin setiap orang dan terlupakan.

Kita adalah orang Timur. Yang masih hangat teringat di benak kita mengenai sejarah nenek moyang, mungkin beberapa ribu tahun yang lalu, adalah keterbatasan dan kesengsaraan. Waktu itu, kondisi hidup kita — yang telah kita alami sehari-hari — sama sekali tidak pernah memberikan kebebasan berpikir dan berpendapat kepada kita dalam memikirkan dan membahas permasalahan-permasalahan ilmiah yang berkaitan dengan urusan sosial. Hanya beberapa saat saja jendela kecil terbuka oleh tangan pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad Saw. Jendela itu bagai tebaran sinar fajar yang memberikan harapan datangnya sang mentari.

Sayangnya, banyak peristiwa yang tak diinginkan telah terjadi dan juga banyak sekali orang-orang ambisius dan penyembah diri yang dengan tangan jahil mereka telah menciptakan tiupan badai topan demi menutup kembali jendela harapan kita. Kita kembali tinggal di alam kegelapan. Kita kembali tinggal bersama penawanan dan berbudakan, tombak-tombak runcing dan pedang, tiang gantungan dan sudut-sudut penjara yang mengerikan. Kita kembali tinggal bersama penyiksaan dan penganiayaan! Kita kembali tinggal bersama kebiasaan lama mengucapkan kata-kata “Baiklah tuanku … baiklah …!”

Mereka yang pandai dan cerdik mampu menimbun persoalan-persoalan agama mereka tanpa meninggalkan sedikit cacat dan cela untuk dimanfaatkan kelak oleh generasi berikutnya. Memang pada waktu itu, pemerintahan yang menguasai kita tidak pernah membiarkan sedikitpun adanya diskusi ilmiah di tengah-tengah masyarakat. Para penguasa itu sangat suka jika melihat rakyat mereka hanya mementingkan pekerjaan-pekerjaan kecil dan tidak ikut campur dalam urusan pemerintahan. Hal ini dikarenakan pekerjaan-pekerjaan kecil rakyat tidak akan membahayakan kekuasaan mereka. Mereka tidak merasa khawatir ketika melihat rakyat selalu mementingkan perkara-perkara agama yang relatif kurang penting. Mereka hanya merasa takut jika rakyat mengadakan perhelatan dan diskusi ilmiah yang sarat kritikan, sanggahan dan perdebatan.

Para penguasa zalim waktu itu berusaha untuk menjadi poros pemikiran rakyat, karena mereka telah memahami benar bahwa sesungguhnya keinginan merupakan faktor terbesar bagi segala kesuksesan dalam hidup. Mereka juga menyadari bahwa keinginan seseorang bergantung dengan poros pemikirannya. Oleh karenanya, sambil menggenggam poros pemikiran, mereka berusaha untuk menjadi poros pemikian rakyat.

Ini adalah kenyataan yang pernah ada dalam sejarah kita, orang-orang Timur. Bagi siapa pun yang pernah menelaah sejarah kita , hal ini pasti akan terukir jelas di hadapan kedua matanya.
Akhir-akhir ini, setelah hujan kebebasan ala Eropa mengguyur dan membasahi bumi Barat, kini giliran bumi Timur kita. Mulanya berlaga bak seorang tamu yang santun dan sopan mereka datang ke negeri kita, tetapi akhirnya mereka tinggal di benua ini sebagai tuan rumah dengan segenap kepercayaan dan kenyamanan.

Memang dengan kedatangan mereka, kita dapat terbebas dari kepenatan dan kebebalan berfikir; dan berkat teriakan kebebasan mereka, kita dapat menikmati kembali nikmat yang pernah hilang serta memberi kita kesempatan untuk membuka kembali lembaran putih kehidupan baru yang bercahaya penuh sinar ilmu dan amal. Memang betul dengan menerima kebebasan itu, kita telah terlepas dari cengkraman para penguasa zalim. Tetapi sayang sekali, kini diri mereka sendiri yang menempati posisi para penguasa zalim itu, dan hari ini merekalah yang justru telah menjadi poros pemikiran kita.

Kita tak sadar apa yang telah terjadi, bukan! Memang kita sudah enggan menuruti kemauan para penguasa kejam seperti dahulu lagi. Kini kita sudah tidak menjadi budak mereka lagi. Tapi mengapa sekarang kita harus mematuhi orang-orang Barat? Kenapa kita berpikiran bahwa tidak ada jalan lagi selain jalan yang telah ditempuh oleh orang-orang Barat? Kenapa kita harus selalu mendengar omongan mereka?

Sejak seribu tahun yang lalu tanah Iran telah menjadi makam jasad Ibnu Sina. Karya-karya filosofisnya telah memenuhi rak-rak buku perpustakaan kita dan kaedah-kaedah kedokteran-nya telah menjadi wirid yang selalu terucap di bibir kita. Tapi mengapa kita masih kurang mampu memanfaatkannya?

Sejak delapan ratus tahun yang lalu, kitab matematika Khajah Nashiruddin Thusi dan kontribusi-kontribusi kulturalnya telah dipersembahkan kepada kita. Tetapi, kenapa kita masih saja tidak bisa berbuat apa-apa? Yang bisa kita lakukan hanyalah mengadakan acara-acara peringatan hari kelahiran mereka, itu pun karena kita meniru orang-orang Barat yang selalu mengenang para ilmuan mereka; oleh karenanya kita juga melakukan hal tersebut.
Lebih dari tiga abad yang lalu, pemikiran filosofis Mulla Shadra marak diperbincangkan di negara kita dan pandangan-pandangannya selalu dibanggakan. Dan di sisi yang lain, Universitas Tehran telah dibangun beberapa tahun yang lalu dan falsafah juga diajarkan di sana. Tapi kenapa hanya baru-baru ini saja, yakni beberapa tahun yang lalu, ketika seorang orientalis datang ke universitas itu lalu memuji-muji pemiki-ran Mulla Shadra, tidak seperti biasanya para mahasiswa ribut membicarakan Mulla Shadra dan pemikirannya?

Hal-hal yang memalukan seperti inilah yang telah mencer-minkan hakikat martabat dan kedudukan kita di hadapan publik internasional. Hal-hal seperti ini menunjukkan bahwa kita hanya bisa meniru. Tanpa disadari, kekayaan pikiran yang kita miliki telah lenyap diculik tangan orang-orang asing.

Ada sebagian orang yang masih mampu mempertahankan kekayaan pikirannya dan tidak menyerahkanya begitu saja kepada orang lain. Tapi sayangnya, mereka juga termasuk orang-orang yang telah merugi. Dari satu sisi, mereka sangat kecanduan pola pikir orang-orang Barat, dan di sisi yang lain mereka tak mampu meninggalkan pola pikir ketimuran yang telah mereka warisi dari nenek moyang mereka. Karena itu, dengan susah payah mereka berusaha mengkombinasikan dua pola pikir yang sangat bertentangan ini.

Salah seorang dari mereka pernah menulis sebuah buku yang berjudul Demokrasi Islami. Di dalamnya, dia ingin menerapkan agama Islam pada sebuah sistem pemerintahan yang bernama demokrasi. Ada orang lain lagi menulis sebuah buku yang hampir sama dengan judul Komunisme Islami. Dalam bukunya itu, ia berusaha untuk mengeluarkan dalil-dalil islami demi membenarkan ideologi Komunisme.

Aneh sekali, bukan! Kalau memang hakikat Islam adalah hakikat ideologi Komunisme atau demokrasi, lalu mengapa kita masih harus bersusah payah menganuti ajaran-ajaran Islam yang sudah berumur lebih dari seribu empat ratus tahun ini? Untuk apa kita bersusah payah menerapkan konsep-konsep Islam pada Komunisme dan demokrasi? Bukankah itu semua percuma saja? Bukankah ideologi Komunisme dan demokrasi sudah ditegakkan dengan kokoh atas dasar-dasarnya sendiri tanpa memerlukan alasan-alasan islami?

Kalau memang Islam memiliki hakikat tersendiri, lalu mengapa hanya untuk mengenalkannya kepada semua orang, kita harus menyamarkan hakikatnya dan sebagai gantinya kita harus menutupi tubuh Islam dengan busana-busana yang memalukan seperti itu?

Beberapa tahun akhir-akhir ini, yakni pasca Perang Dunia Kedua, banyak kalangan orientalis yang datang dengan penuh semangat meneliti agama-agama timur dan sekte-sektenya. Hasil penelitian yang telah mereka lakukan dipublikasikan setiap hari. Kita juga demikian, karena kita suka meniru orang lain, kurang lebih kita berjalan di jalur yang sama. Sekarang kita sering mengadakan acara tanya jawab dan diskusi seputar agama Islam.

Baca juga :   Islam: Agama Sempurna

Apakah semua agama dan sekte-sektenya benar? Apakah agama juga mengandung hal-hal penting selain pembenahan etika masyarakat? Apakah agama memiliki tujuan selain pensucian jiwa dan pembenahan etika? Apakah ritual-ritual keagamaan dengan bentuk, cara, dan pola seperti apa yang ada ini akan mampu bertahan hidup lama? Apakah agama memiliki maksud yang penting selain mengadakan ritual-ritual peribadahan? Apakah agama seperti Islam dapat menjamin terpenuhinya segala kebutuhan manusia di sepanjang masa? Dan pertanyaan senada lainnya.

Ketika seorang ilmuan yang pintar sedang menghadapi suatu permasalahan, maka pertama kali yang akan ia lakukan ialah identifikasi masalah dengan menggunakan neraca ilmu yang benar. Setelah itu, dilakukan analisis, pembenaran dan pembatilan. Ia akan memulai membahas masalah tersebut lalu menyatakan pendapat.

Para ilmuan Barat menganggap agama sebagai sebuah fenomena sosial sebagaimana halnya kehidupan sosial itu sendiri, yakni dilahirkan oleh faktor-faktor alamiah. Semua agama, termasuk juga Islam, di mata mereka—jika mereka memang berpandangan baik terhadap agama—merupakan buah pikiran orang-orang yang memiliki kemampuan berfikir yang sangat luar biasa. Berkat kesucian jiwa dan tingkat kecerdasan yang tinggi, mereka menciptakan berbagai macam aturan demi membenahi etika dan perilaku masyarakat. Mereka berusaha mengarahkan masyarakat menuju jalan kebenaran yang akan menghantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Sebagaimana kehidupan masyarakat dunia selalu mengalami perkembangan dan penyempurnaan, aturan-aturan tersebut juga akan mengalami perkembangan dan penyempurnaan.

Telah terbukti bahwa kehidupan umat manusia secara bertahap mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Setahap demi setahap dunia selalu menemukan hal-hal yang baru dalam modernisasi. Sebagaimana yang telah dibuktikan oleh ilmu psikologi, sosiologi, juga falsafah, khususnya Materialisme Dialektik, dimana kehidupan umat manusia tidak pasif, tidak pula statis. Begitu juga aturan-aturan kehidupan yang dijalankan dalam kehidupan bersama, tidak berlangsung hanya dalam satu keadaan, tetapi selalu mengalami perkembangan dan dinamika.

Aturan-aturan yang pernah dijalankan—demi mendapat keuntungan dan mencapai tujuan tertentu—oleh orang-orang primitif yang hidup di hutan belantara dan hanya memakan buah-buahan serta tinggal di liang-liang goa, pasti tidak layak untuk dijalankan di zaman yang sudah maju sekarang ini.

Aturan-aturan yang pernah dijalankan di saat orang-orang hanya mampu menggunakan pisau dan kapak dalam ber-perang, yang jelas tidak berguna di zaman yang serba canggih ini. Kini umat manusia telah mampu mempergunakan bom-bom atom dan bom-bom hidrogen dalam berperang.

Aturan-aturan yang pernah dijalankan ketika manusia hanya dapat menggunakan keledai dan unta untuk bepergian, kini sudah tak berlaku lagi. Sekarang umat manusia telah mampu melintasi angkasa dengan menggunakan pesawat-pesawat bermesin jet dan menjelajahi lautan dengan kapal yang sangat megah.

Kesimpulannya, zaman ini tidak hanya tak mau menerima aturan-aturan kuno, bahkan kita tak layak berharap aturan-aturan kuno tersebut dapat dijalankan hari ini. Maka itu, aturan-aturan yang harus dijalankan oleh umat manusia adalah aturan-aturan yang selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan yang dialami oleh kehidupan umat manusia. Yah karena itu tadi; aturan-aturan hidup manusia selalu berubah-ubah. Etika manusia juga dapat berubah; karena sesungguhnya etika adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah melekat pada jiwa seseorang yang disebabkan oleh seringnya suatu amal perbuatan dilakukan.

Kehidupan sederhana manusia pada beberapa ribu tahun yang lalu tidak membutuhkan sistem sosial dan politik serumit saat ini. Kaum perempuan di zaman ini sudah tidak mau meniru perilaku perempuan-perempuan dayak yang pernah hidup beberapa abad yang lalu.

Kaum buruh pekerja dan petani di zaman ini juga sudah tidak bersedia menanggung jerih payah dan penindasan yang pernah dirasakan oleh kaum lemah di masa silam. Watak-watak yang mudah memberontak di era modern ini sudah tidak dapat lagi ditakut-takuti hanya dengan terjadinya gerhana matahari dan bulan serta angin hitam. Tidak seperti dahulu kala, kini mereka tidak mudah dipermainkan.

Alhasil, manusia yang hidup di suatu zaman hanya membutuhkan aturan yang sesuai dengan zaman itu.

Dari sisi lain, kita dapat melihat bagaimana agama Islam telah membawakan berbagai aturan dan peraturan yang dapat mewujudkan kebahagiaan manusiawi sebaik mungkin. Aturan dan peraturan agama ini berani menjamin terpenuhinya segala kebutuhan hidup umat manusia. Sekumpulan aturan dan peraturan inilah yang disebut dengan Islam.

Jelas, aturan dan peraturan Islam dalam setiap masa memiliki wajah yang berbeda-beda. Salah satu wajah Islam dalam sejarah kita adalah wajah yang pernah dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad Saw dan aturan-aturannya yang telah beliau dirikan dan jalankan. Wajah Islam di masa-masa yang lain adalah sebaik-baiknya wajah yang ia miliki. Islam dengan berani menyatakan bahwa dirinya mampu menjamin sampainya umat manusia kepada tujuan dan kebahagiaannya.

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan dari langit sebagai penjelas terbaik untuk tujuan dan maksud agama ini. Sekarang mari kita mendengar apa yang telah ia katakan tentang kenabian dan agama langit. Apakah pandangan Al-Qur’an mengenai kenabian dan keberadaan agama langit sama seperti pandangan para ilmuan Barat? Apakah Al-Qur’an juga pernah menerangkan bahwa agama adalah sekumpulan aturan-aturan yang hanya berkaitan dengan kondisi suatu masa saja? Kalau tidak, yakni jika Islam menyatakan bahwa Islam adalah agama yang memiliki aturan-aturan yang harus dijalankan sampai kapan pun tak dapat berubah, lalu seperti apa Al-Qur’an menerangkan kesesuaian aturan-aturan agama ini dengan kebutuhan-kebutuhan umat manusia yang selalu berubah-ubah?

Apakah Islam ingin memaksa umat manusia untuk tetap dalam satu keadaan serta menutup rapat semua gerbang perkembangan dan kemajuan? Apakah Islam berusaha untuk membatasi aktifitas manusia? Bagaimana Islam dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia di alam materi yang selalu berubah dan berganti ini?

Menurut Al-Qur’an, agama-agama langit bersumber dari alam ghaib. Penjelasan Al-Qur’an mengenai para nabi, hubungan antara Islam dengan lingkungan hidup yang selalu berubah, etika manusia, kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang atau sekelompok umat manusia, sungguh berbeda dengan penjelasan para ilmuan Barat yang telah kami jelaskan sebelumnya. Realita ini dapat ditemukan dalam kandungan ayat-ayatnya yang sering kita baca sehari-hari.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa aturan dan ketetapan-ketetapan Islam adalah sekumpulan hukum yang memang sudah diciptakan untuk manusia sebagaimana dirinya (manusia-pent) adalah bagian kecil dari alam semesta yang sangat luas dan selalu mengalami perubahan. Sesungguhnya hukum-hukum ini bertujuan untuk mengarahkan manusia agar dapat mencapai kesempurnaannya yang hakiki.

Dengan kata lain, Al-Qur’an menerangkan bahwa Islam adalah sekumpulan aturan dan peraturan yang tercipta sesuai dengan tuntutan sistem penciptaan. Tetapi harus diketahui bahwa aturan-aturan ini tidak dapat berubah dan tidak dapat mengikuti keinginan dan selera para penyembah nafsu. Ini adalah aturan-aturan yang telah mengukir jelas bentuk kebenaran di hadapan mata umat manusia. Aturan-aturan ini tidak seperti aturan-aturan negara despotik dan pemerintahan yang dipimpin oleh seorang diktator yang dapat menciptakan hukum dan aturan sesuai seleranya.

Aturan-aturan Islam bukan undang-undang negara sosialis yang tercipta atas keinginan mayoritas rakyatnya dan setiap saat dapat diubah. Aturan dan peraturan Islam tak dapat diubah oleh siapapun. Dengan kata lain, aturan-aturan Islam adalah hukum-hukum yang telah diciptakan oleh Sang Penguasa alam semesta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. (Sumber: Muhammad Husain Thabathaba’i, Islam va Insane Muaser: Qom, 1385 HS).

(Visited 415 times, 2 visits today)

Leave a reply