Hakikat Jiwa dan Tingkatannya dalam Dialog Filosofis Imam Ali a.s.

STUDISYIAH.COM–Kendati filsafat secara teknis dan sejarah biasa diurut ke tradisi Yunani, namun itu bukan berarti filsafat dan isu-isu filosofis tidak ditemukan dalam dunia Islam. Banyak masalah dan wacana filosofis dapat dengan mudah dijumpai dalam teks-teks suci Islam juga dalam pengalaman hidup Nabi SAW serta para sahabat.
Salah sumber yang kaya ajaran filosofis adalah hikmah-hikmah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Terkait jiwa, hakikatnya dan tingkatan-tingkatannya dapat digali dari dialog antara beliau dan muridnya, Kumail bin Ziyad.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari, Kumail bin Ziyad bertanya kepada Ali bin Abi Thalib a.s., “Hai Amirul mukminin! Definisikanlah kepadaku pengertian jiwa (nafs) agar aku mengetahuinya.”
Ali as. berkata, “Hai Kumail! Jiwa yang mana yang engkau maksudkan?”
Kumail berkata, “Tuanku, apakah jiwa itu lebih dari satu?”
Ali a.s. berkata, “Hai Kumail, jiwa memiliki empat bagian; jiwa tumbuh nabati, perasa hewani, berpikir suci dan universal ilahi. Setiap dari jiwa ini memiliki lima daya dan dua ciri khas.
“Jiwa tumbuh nabati yang dengannya mansuia tumbuh dan berkembang. jiwa ini memiliki lima daya: 1. daya tahan, kekuatan yang menjaga manusia dari penyakit dari luar; 2. daya tarik, kekuatan untuk menarik bahan-bahan makanan dan minuman; 3. daya cerna, kekuatan untuk mencerna makanan dalam percernaan; 4. daya tolak, membuang bahan-bahan yang tidak diperlukan oleh tubuh, 5. daya bina, kekuatan untuk membimbing badan dan menyebarkan makanan ke seluruh tubuh.
“Jiwa ini memiliki dua ciri khas, yaitu ekstrem dalam kekurangan dan kelebihan. Kekuatan ini bersumber dari jantung manusia dan jiwa ini lebih dekat dengan jiwa hewan.
“Jiwa perasa hewani jiwa indrawi. Jiwa ini memiliki lima daya: 1. daya dengar, kekuatan untuk menangkap suara, 2. daya lihat, kekautan untuk menangkap dan mencerna bentuk serta warna; 3. daya pencium, kekuatan untuk mencerna bau dan membedakan antara bau-bauan; 4. daya pencicip, kekuatan untuk mencerna rasa; 5. daya peraba, kekuatan untuk meraba dan merasa lembut atau kasar, panas atau dinginnnya suatu benda.
“Jiwa ini memiliki dua ciri khas, yaitu ridha (daya tarik) dan ghadzab (daya tolak) yang bersumber dari hati. Jiwa berpikir suci. Jiwa ini memiliki lima daya: 1. daya pikir, kekuatan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, serta mampu menganal akibat dari keduanya; 2. daya ingat, kekuatan untuk mengenal dan merasakan wujud Tuhan.
“Nafs ini juga memiliki kekuatan mengingat sesuatu; 3. daya ilmu, kekuatan yang membawa manusia kepada derajat ilmu dan ruhani yang tinggi; 4. daya tabah, kekuatan ini adalah hasil dan faedah yang di dapat dari kekuatan ilmu; 5. daya absolut, yaitu keagungan dan kebesaran yang diraih dari kekuatan ilmi dan kekuatan hilmi. Kekuatan ini tidak muncul dari sesuatu apapun dan lebih dekat dengan nafs para malaikat.”
“Jiwa ini memiliki dua ciri khas: suci dan hikmah. Oleh karenanya, jiwa berpikir terlepas dari segala keburukan/kekotoran dan hanya melihat hakekat dan Tuhan. Perbuatan (yang bersumber dari jiwa ini) selalu bersih dan ucapannya pun selalu mengandung hikmah.”
“Jiwa universal ilahi, yaitu pancaran dari cahaya ketuhanan. Jiwa inipun memiliki lima daya: 1. Baqa fi al-fana, selalu di jalan Tuhan sampai ia menemukan baqa (keabadian) dan meraih wujud; 2. Ni’mat fi al-‘usrah, walau dalam penderiataan dan bencana ia selalu bahagia dan merasa dirinya penuh dengan kebahagiaan; 3. Izzah fi al-dzillah, kedudukan yang sangat tinggi yang tidak bisa diraih oleh semua orang; 4. Faqr fi al-fana, ketika ia tidak butuh kepada yang lain dan hanya butuh kepada Haq Ta’ala; 5. Shabr fi al-bala‘, dalam keadaan sangat menderita ia selalu sabar dan tidak pernah menuntut serta menentang Tuhan. Ini adalah ciri-ciri para nabi dan para washi mereka.”
“Jiwa ini memiliki dua ciri khas: lembut dan sabar, mulia dan jiwa besar. Jiwa inilah yang bersumber dari Tuhan, seperti yang difirmankan oleh-Nya, “dan kami hembuskan dari ruh-Ku“. Dan akan kembali kepada-Nya sebagaimana dalam firman-Nya, “Wahai jiwa muthmainnah (jiwa yang tenaang), kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan ridha dan diridhai“.
“Allah meletakkan akal di antara jiwa-jiwa ini sehingga tidak ada di antara mereka yang berkata dan berbuat yang tidak masuk akal serta tidak sesuai dengan akal.”
Referensi: Majma’ al-Bahrain, Fakhrudin Al-Thuraihi; Kasykul, Syekh Bahai, jld. 1, hlm. 495; Danisyman-e-Buzurg, Dzabihullah Mahallaati, hlm. 367.