Hadis Unwan Al-Bashari: Cara Mencapai Hakikat

0
1224

SALAH SATU hadis yang menjadi fokus khusus para ulama ialah hadis yang populer dengan nama Hadis Unwan Bashari. Hadis yang diriwayatkan oleh Unwan Bashari ini merupakan pengajaran Imam al-Shadiq a.s. tentang amalan praktis bersuluk yang sangat berguna bagi para pengikut jalan para Imam Maksum a.s. Dengan memahami pesan-pesan dan mengamalkan kandungannya, ia akan terbebas dari hawa nafsu, meraih ilmu dan makrifat hakiki.

Hadis ini diriwayatkan Allamah Majlisi dalam ensiklopedia raksasa, Bihar Al-Anwar, setelah ia menjumpai hadis ini dengan tulisan tangan guru agungnya, Syaikh Baha’i. Hadis ini mencakup latar belakang kemunculannya; bermula dari sosok bernama Unwan Bashari dan keinginannya berjumpa dengan Imam Al-Shadiq a.s. Detailnya dapat disimak beikut ini:

Diriwayatkan dari Unwan Basri, ia berkata “Saya telah lama belajar dari Malik bin Anas. Karena Ja’far al-Shadiq datang ke Madinah, saya sering menjumpainya dan, sebagaimana saya menuntut ilmu dari Malik, saya juga ingin belajar darinya.

“Suatu hari, Imam al-Shadiq a.s. berkata kepadaku, “Saya sementara ini diawasi pihak pemerintah. Di samping itu, pada waktu-waktu tertentu dalam sehari penuh, saya memiliki wirid dan dzikir yang saya lakukan dan saya meminta kamu tidak menghalangi saya untuk berdzikir. Pergilah kepada Malik belajar ilmuku darinya sebagaimana sebelumnya engkau pergi kepadanya.”

“Mendengar itu, saya menjadi sedih. Saya pamit dari hadapannya dan berkata kepada diri sendiri, “Sekiranya beliau melihat kebaikan pada diriku, tentu beliau tidak akan melarangku untuk belajar dan menimba ilmu darinya.”

“Kemudian saya pergi ke masjid Nabi SAW dan menyampaikan salam kepadanya. Esok harinya, saya kembali pergi ke Raudhah Nabawi dan mengerjakan shalat dua rakaat. Saya berdoa, “Tuhanku! Tuhanku! Saya memohon kepadamu supaya Engkau membuat hati Ja’far condong kepadaku dan aku belajar ilmu darinya hingga pada tingkat yang dapat menghidayahiku ke jalan lurus.”

“Lalu dengan perasaan gundah dan sedih, saya kembali ke rumahku. Karena hatiku telah dipenuhi cinta kepada Ja’far, saya tidak lagi pergi menemui Malik dan tidak lagi keluar rumah kecuali untuk menunaikan salat wajib.

Baca juga :   Argumentasi Rasional Atas Nabi Islam sebagai Utusan Terakhir Allah

“Kesabaranku berakhir juga. Tatkala dadaku telah sesak dan kesabaranku telah memuncak, saya memakai sendal dan mengenakan jubah, berniat untuk menjumpai Ja’far Shadiq. Pada waktu itu, saya telah mengerjakan salat Ashar. Tatkala tiba di kediamannya, saya meminta izin untuk masuk. Kemudian pelayannya keluar dan berkata, “Ada keperluan apa?” Tanya pelayan itu.

“Saya ingin menyampaikan salam kepadanya.” Jawabku. Pelayan itu berkata lagi, “Beliau sedang salat.”

“Kemudian saya duduk di depan pintu. Tidak lama kemudian, pelayan itu datang dan berkata, “Masuklah dengan keberkahan Allah.” Lalu saya masuk dan mengucapkan salam kepadanya. Beliau menjawab salam saya dan berkata, “Duduklah! Semoga Allah mengampunimu!” Kemudian saya duduk.

“Beberapa saat beliau berpikir sembari menundukkan kepalanya. [Tidak lama] kemudian beliau mengangkat kepalanya dan berkata, “Siapakah nama panggilanmu?” “Abu Abdilllah,” Kataku. Beliau berkata, “Semoga Allah SWT mengokohkan nama panggilanmu itu dan memberikan kesuksesan kepadamu.” Lalu beliau bertanya, “Wahai Abu Abdillah! Apa pertanyaanmu?” Saya bergumam dalam hati, “Sekiranya tidak ada selain doa ini yang aku dapatkan pada pertemuan ini dan salam yang aku sampaikan, itu juga sudah sangat banyak.”

“Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan bertanya, “Apa yang kau inginkan?” Saya berkata, “Saya bermohon kepada Allah SWT supaya hati Anda condong kepada saya dan menganugerahkan saya ilmu Anda serta berharap semoga Allah SWT mengabulkan permohonanku.”

“Beliau bersabda, “Wahai Aba Abdillah! Ilmu itu tidak dipelajari. Ilmu adalah cahaya yang hatuh di hati orang yang Allah kehendaki. Karena itu, apabila engkau mencari ilmu, carilah hakikat penghambaan pada dirimu sendiri, tuntutlah ilmu dengan amal, dan pintalah kepada Allah Swt supaya memahamkanmu maka Dia akan memahamkan kepadamu.”

“Saya berkata, ‘Wahai Yang Mulia!’ Beliau berkata, ‘Katakanlah wahai Aba Abdillah!’ Saya berkata, ‘Wahai Aba Abadillah, apakah hakikat penghambaan itu?’

“Beliau berkata, ‘Tiga hal: pertama, hamba tidak meyakini kepemilikian atas apa yang dititipkan Allah SWT kepada dirinya, karena hamba tidak punya kepemilikan apa pun selain dia harus melihat seluruh miliknya sebagai milik Allah SWT dan menggunakannya di tempat yang diperintahkan Allah SWT.

Baca juga :   Ilmu Hudhuri dan Interpretasi Filosofis atas Wahdatul Wujud

“Kedua, hamba tidak mengatur dirinya sendiri (karena pengaturan hamba berada di tangan Tuannya).

“Ketiga, seluruh tugas hamba adalah menjalankan pekerjaan yang diperintahkan Allah kepadanya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya.

“Karena itu, ketika hamba tidak merasa memiliki atas apa yang dititipkan Allah SWT kepadanya, mendermakan pada apa yang telah diperintahkan Allah akan menjadi mudah baginya. Dan karena pengaturan hamba diserahkan pada Tuannya, segala kesusahan dunia akan menjadi ringan baginya. Dan karena seluruh kesibukannya terfokus pada perintah dan larangan Allah, tidak lagi tersisa baginya untuk menampilkan dirinya dan berbangga di hadapan manusia.

“Apabila Allah SWT mengaruniai seseorang tiga hal ini maka urusan dunia, Iblis, manusia akan menjadi mudah dan enteng baginya. Ia tidak akan mencari-cari perbagai kebanggaan duniawi, tidak akan menuntut apa saja yang berada di tangan manusia untuk mendapatkan keunggulan dan kemuliaan, dan tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk mencari hal-hal yang sia-sia. (Semua) ini adalah derajat pertama takwa sebagaimana firman Allah SWT, “Negeri akhirat itu Kami anugerahkan kepada orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash [28]: 83).

“Saya berkata, ‘Wahai Aba Abdillah! Nasihatilah aku!’ Beliau bersabda, ‘Saya menasihatkan kamu pada sembilan hal; sembilan hal ini adalah nasihat saya bagi semua murid tarikat kepada Allah. Dan saya memohon kepada Allah SWT supaya engkau dapat mengamalkan anjuran-anjuran ini.

“Tiga darinya tentang riyadhat al-nafs (pelatihan jiwa), tiga ketabahan dan tiga lainnya tentang ilmu. Karena itu, wahai Unwan, camkan baik-baik sembilan hal ini dan sekali-kali jangan pernah engkau anggap remeh!’ Saya berkata, ‘Saya pun segera mengosongkan pikiran dan hatiku untuk menerima apa yang disabdakan oleh Imam Shadiq.’

Baca juga :   Sejarah Perkembangan Irfan dan Tasawuf

“Adapun tiga hal yang berkaitan dengan riyâdhat al-nafs adalah jangan sampai engkau memakan sesuatu yang engkau tidak berselera padanya, karena itu akan menimbulkan kebodohan dan kedunguan. Dan jangan makan kecuali pada saat lapar, dan tatkala engkau ingin memakan sesuatu, makanlah yang halal dan sebutlah nama Allah SWT dan ingatlah hadis Rasulullah SAW, ‘Tidak ada wadah paling buruk yang diisi oleh manusia daripada perut.’ Maka, ketika engkau makan dan terpaksa harus makan, sepertiganya kau khususnya untuk makanan, sepertiganya untuk minuman, dan sepertiganya untuk bernapas.

“Adapun tiga hal yang berkenaan dengan ketabahan, [pertama], apabila seseorang berkata kepadamu, ‘Apabila engkau berkata satu kata, engkau harus mendengarkan sepuluh kata.’ Maka katakanlah kepadanya, ‘Apabila engkau berkata sepuluh, engkau juga tidak akan mendengarkan satu kata pun.’ [Kedua], ketika seseorang mencelamu, katakanlah kepadanya, ‘Apabila apa yang engkau katakan itu benar, saya memohon kepada Allah untuk memaafkan aku. Dan apabila engkau berkata dusta, saya akan memohon kepada Allah untuk mengampunimu.’ [Ketiga], apabila ada seseorang mengancammu hingga dia berkata-kata buruk kepadamu, berikanlah kepada janji baik berupa nasihat dan pemenuhan hak-haknya.’

“Adapun tiga hal tentang ilmu, [pertama], bertanyalah kepada ulama tentang apa yang engkau tidak ketahui, jangan pernah bertanya untuk menjatuhkan dan menguji seseorang. [Kedua], jangan berbuatl berdasarkan pendapatmu sendiri tentang sesuatu, dan bersikaplah hati-hati pada segala sesuatu yang serba mungkin. Dan [ketiga], berhati-hatilah dalam memberikan fatwa dan hukum seperti engkau berhati-hati terhadap singa, dan jangan letakkan lehermu sebagai jembatan untuk dilintasi masyarakat.

“Wahai Abu Abdillah! Sekarang tiba saatnya engkau harus beranjak dariku, karena aku telah memberikan nasihat kepadamu, dan jangan usik lagi dzikirku, karena aku sangat perhitungan dan ketat dengan waktu-waktuku. Salam dan keselamatan Allah SWT bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk.

(Muhammad Baqir Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 1, hlm. 224, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H)

(Visited 455 times, 1 visits today)

Leave a reply