Garis-garis Umum Akidah Syiah (1) : Tauhid

0
970

surat ikhlasTak dapat diingkari bahwa terdapat berbagai aliran dalam Islam. Masing-masing memiliki kekhususannya sendiri, baik pada sisi aqidah, keyakinan, maupun pada sisi praktek hukumnya. Meskipun demikian, perbedaan-perbedaan di antara aliran Islam itu tidak sampai pada titik menghambat kerjasama satu sama lain.

Akan tetapi, tentu saja, untuk mewujudkan kerjasama dan saling pengertian ini, memperkokoh dan mempereratnya, memerlukan pemenuhan beberapa syarat, di antaranya, dan ini yang paling penting, masing-masing aliran hendaknya mengenal aliran lainnya dan kekhususan-kekhususan yang ada padanya dengan baik, karena hanya dengan saling mengenal itulah banyak kesalahpahaman dapat dijernihkan, dan itu berarti membuka jalan bagi kerjasama.

Jalan terbaik untuk saling mengenal ini ialah dengan cara mempelajari ajaran setiap mazhab, baik ushuluddin maupun furu’uddin, langsung dari ulama-ulama terkemuka mazhab tersebut. Sebab, jika melalui orang-orang yang tidak mengerti atau melalui pihak pihak yang memusuhi mazhab tersebut, pasti tidak akan mencapai sasaran.

Tema atau prinsip terpenting dalam ushuluddin ialah masalah ketuhanan dan tauhid. Beberapa poin singkat berikut ini, dengan bersandar pada ayat-ayat Al-Quran, dapat ditelaah untuk lebih mengenal mazhab Syiah di antara sekian mazhab Islam yang ada.

1. Adanya Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahatinggi
Syiah percaya bahwa Allan SWT adalah pencipta alam semesta. Keagungan ilmu dan kekuasaan-Nya tampak dengan jelas pada seluruh jagad raya, dalam diri manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, bintang-bintang di langit, alam metafisik nan mahatinggi, dan di mana saja.

Syiah meyakini bahwa semakin kita mengamati rahasia alam semesta, maka kita akan semakin menyadari kebesaran, keluasan ilmu dan kekuasaan-Nya. Dan, semakin ilmu pengetahuan manusia berkembang, maka pintu-pintu baru ilmu dan hikmah-Nya semakin terbuka bagi kita sehingga pikiran kita semakin luas.

Dengan demikian, kecintaan dan kedekatan kita kepada Allah SWT semakin bertambah, dan kita akan diliputi oleh cahaya jalâl dan jamâl-Nya. Allah berfirman:

“Dan di bumi ada tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang yakin. Juga di diri kamu sendiri. Apakah kamu tidak melihat”. (QS. Al-Dzariyat, 20-21).

“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pada pergantian siang dan malam ada tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi orang-orang yang berpikir, yaitu orang-orang yang mengingat Allah saat berdiri, duduk, atau berbaring, dan bertafakkur tentang penciptaan langit dan bumi. (Mereka berkata:) “Tuhan kami! Engkau tidak ciptakan ini sia-sia” (QS. Al- Imran,190-191)

2. Sifat Jamal dan Jalal Allah
Syiah meyakini bahwa Allah SWT bersih dari segala cela dan kekurangan. Dia memiliki segala sifat kesempumaan. Bahkan Dia adalah kesempurnaan itu sendiri dan mutlak sempurna, muthlaq al-kamal wa kamal al-muthlaq.

Dengan kata lain, seluruh kesempurnaan dan keindahan yang ada di alam semesta ini berasal dari diri-Nya Yang Mahasuci. Allah SWT berfirman:

“Dialah Allah, yang tiada Tuhan selain Dia. Mahapenguasa, Mahasuci, Mahasejahtera, Mahapemberi keamanan, Mahapemelihara, Mahaperkasa, Mahakuasa, Mahabesar, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Mahapencipta, Mahamengadakan, Mahapembentuk, bagi-Nyalah nama-nama yang baik, bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi, dan Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” (QS. Al-Hasyr, 23-24).

3. Allah SWT, Dzat Yang Tak Terbatas
Syiah meyakini bahwa Allah adalah Dzat Yang Tak Terbatas dari segala sisi: ilmu, kekuasaan, keabadian, dan sebagainya. Oleh karena itu, Dia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena keduanya terbatas. Tetapi pada waktu yang sama, Dia hadir di setiap ruang dan waktu, karena Dia berada di atas keduanya. Allah SWT berfirman:

“Dan Dialah yang di langit adalah Tuhan dan di bumi juga Tuhan. Dia Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Zukhruf, 84).

“Dan Dia bersama kamu di mana pun kamu berada, dan Dia Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.Al-Hadid, 4).

Ya, memang Allah SWT lebih dekat kepada kita dari pada kita kepada diri kita sendiri. Bahkan Dia ada dalam diri kita, tapi pada saat yang sama Dia tidak menempati ruang.

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehenya sendiri”. (QS. Qaf,16).

“Dialah Yang Maha Pertama dan Maha Terakhir. Yang Mahatampak dan Maha Tersemburyi. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Hadid, 3).

Adapun ayat-ayat seperti: “Dia adalah pemilik singgasana lagi Mahamulia” (QS. Al-Buruj,1), ataupun ayat seperti: “Tuhan Yang Maha Pengasih bersemayam di atas singgasana” (QS. Thaha, 5), ayat-ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah SWT menempati ruangan tertentu, karena maksud dari kata ‘arsy atau singgasana dalam ayat ini bukan dalam pengertian fisik, melainkan bahwa kekuasaan-Nya mencakup alam fisik juga metafisik.

Baca juga :   Garis-garis Umum Akidah Syiah (3): Al-Quran dan Kitab-kitab Samawi

Dalam pada itu, jika dikatakan bahwa Allah SWT menempati ruang, maka sesungguhnya kita telah membatasi-Nya dan memberi-Nya sifat makhluk sehingga tak ubahnya seperti makhluk, padahal Dia adalah “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” (QS. Al-Syu’ara, 11), dan “Tidak satu pun yang menyamai-Nya” (QS. Al-Ikhlas, 4)

4. Allah Bukan Jasmani dan Tak Dapat Dilihat
Syiah meyakini bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat dengan mata kepala, sebab sesuatu yang dapat dilihat dengan mata kepala adalah jasmani dan memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, padahal semua itu adalah sifat-sifat makhluk, sedangkan Allah SWT suci dari segala sifat-sifat makhluk-Nya.

Oleh karena itu, keyakinan bahwa Allah SWT dapat dilihat akan berujung kepada kemusyrikan. Allah SWT berfirman:

“Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan sedang Dia menjangkau penglihatan, dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’am, 103). Dan ketika Bani Israil menuntut Nabi Musa a.s. agar mereka dapat melihat Allah SWT sebagai syarat mereka untuk beriman pada beliau dengan mengatakan; “Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah secara langsung” (QS. Al-Baqarah,55), Nabi Musa a.s. membawa mereka ke bukit Tur dan menyampaikan permintaan mereka kepada Allah. Akan tetapi, Allah SWT menjawab:

“Sekali-kali engkau tidak akan melihat-Ku. Tapi lihatlah gunung itu. Jika ia masih berada di tempatnya maka engkau akan melihat-Ku. Maka tatkala Tuhannya bertajalli: menampakkan diri, bagi gunung itu, gunung itu hancur lebur, dan Musa jatuh pingsan. Ketika ia siuman, ia berkata, ‘Mahasuci Engkau! Aku kembali pada-Mu, dan aku orang pertama yang beriman’” (QS. Al-A’raf, 143).

Ini menunjukkan bahwa Allah mutlak tidak dapat dilihat.

Adapun adanya beberapa ayat atau pun riwayat yang menyinggung adanya kemungkinan melihat Allah SWT, maksudnya adalah bukan melihat-Nya dengan mata kepala, tapi melalui penglihatan batin atau mata hati, sebab Al-Quran tidak saling bertentangan, tapi justru saling menafsirkan.

Karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali Ibn Abi Thalib a.s.: “Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?” Amirul Mukminin menjawab, “Bagaimana aku bisa menyembah Tuhan yang tidak kulihat?” Tetapi beliau segera menyempurnakan kalimatnya, “Tapi Dia tidak dapat dilihat oleh mata. Dia hanya dapat dijangkau oleh kekuatan hati yang penuh dengan iman” (Nahj Al-Balaghah, pidato 179).

Syiah meyakini bahwa menisbatkan sifat-sifat makhluk kepada Allah SWT seperti: ruang, arah, fisik, atau dapat dilihat akan membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah dan dapat membawa kepada kemusyrikan. Mahasuci Allah dari sifat-sifat makhluk. Sesungguhnya Dia tidak serupa dengan apa pun.

5. Tauhid Adalah Ruh Ajaran Islam
Syiah meyakini bahwa di antara persoalan-persoalan paling penting dalam kaitannya dengan ma’rifullah atau mengenal Allah SWT ialah pengetahuan akan tauhid dan keesaaan Tuhan. Tauhid tidak hanya merupakan salah satu prinsip agama, tapi ia adalah ruh seluruh ajaran Islam, baik pokok-pokok ajarannya (ushuluddin) maupun cabang-cabangnya (furu’) mengkristal dalam tauhid. Seluruhnya dikaitkan dengan tauhid dan keesaan.

Keesaan Dzat Yang Mahasuci, keesaan sifat-sifat dan perbuatan-Nya, bahkan keesaam (baca: kesatuan) misi para nabi, agama Ilahi, kiblat, kitab, hukum, dan peraturan hukum bagi seluruh umat manusia. Demikian pula persatuan Muslimin dan satunya hari kebangkitan.

Oleh karena itulah setiap penyimpangan dari tauhid dan kecondongan ke syirk dianggap oleh Al-Quran sebagai dosa yang tak terampuni.
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni jika Dia disekutukan, tapi mengampuni selain itu, bagi yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa menyekutukan Allah sungguh telah melakukan dasa besar. (QS. Al-Nisa’, 48).

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelumu bahwa jika engkau menyekutukan Tuhan niscaya amalmu akan terhapus dan masuk dalam golongan orang-orang rugi” (QS. Al-Zumar, 65).

Uraian Tauhid
Syi’ah meyakini bahwa tauhid memiliki bagian-bagian, antara lain empat hal berikut:

a. Tauhid dalam Dzat.
Yaitu bahwa Dzat Allah itu esa. Tidak ada yang serupa dengan-Nya. Tidak ada tandingan dan tidak ada yang menyamai-Nya.

b. Tauhid dalam Sifat
Yaitu bahwa sifat-sifat seperti ilmu, kuasa, keabadian dan sebagainya rnenyatu dalam Dzat-Nya, bahkan adalah Dzat-Nya sendiri. Sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat-sifat makhluk dimana sifat-sifat makhluk berdiri sendiri dan terpisah dari yang lainnya.

Hanya saja, untuk menyelami hakikat kesatuan Dzat dan sifat-sifat Allah menuntut kejelian dan kedalaman berpikir.

Baca juga :   Definisi Ilmu Kalam

c. Tauhid dalam Perbuatan
Yaitu bahwa segala perbuatan, gerak, dan wujud apa pun di alam semesta ini bersumber dari keinginan dan kehendak Allah:

“Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu” (QS. Al-Zumar, 62)

“Dia memiliki kunci-kunci langit dan bumi” (QS. Al-Syu’ara, 12).

Memang tidak ada yang menentukan dalam wujud, alam semesta ini, kecuali Allah SWT. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita (deterministik). Sama sekali tidak. Kita justru bebas memilih dalam berbuat dan mengambil keputusan.

“Sesungguhnya Kami telah memberikan petunjuk kepada manusia. Ada yang bersyukur dan ada pula yang ingkar” (QS. Al-Insan, 3)

“Sesungguhnya munusia tidak mendapatkan apa-apa kecuali apa yang telah diusahakannya” (QS. Al-Najm, 39).

Kedua ayat di atas dengan tegas menjelaskan bahwa manusia bebas berkehendak (free will). Akan tetapi, karena kebebasan dan kemampuan kita untuk mengerjakan sesuatu itu berasal dari Allah, maka perbuatan-perbuatan kita bisa disandarkan kepada Allah, namun tanpa sedikitpun mengurangi tanggung jawab kita terhadapnya.

Tuhan memang yang telah menghendaki kita bebas dalam perbuatan-perbuatan kita, karena Dia hendak menguji dan membawa kita ke jalan kesempurnaan. Sebab manusia tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali dengan kebebasan berkehendak dan mengikuti jalan kebenaran melalui pilihannya sendiri, karena perbuatan yang dipaksakan dan di luar kemauan seseorang tidak akan memberkan nilai apakah itu baik atau buruk.

Jika kita terpaksa dalam berkehendak dan berbuat, maka tidak ada artinya pengutusan para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, ajaran agama, pengajaran, pendidikan, dan sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya pahala dan azab Allah SWT. Inilah yang diajarkan madrasah Ahlul Bait a.s. bahwa tidak jabr (dipaksa) dan ridak pula tafwidh (bebas mutlak), tetapi berada di antara keduanya. “Sesungguhnya tidak jabr dan tidak pula tafwidh, tapi di antara keduanya” (Ushul Al-Kafi, jld. 1, hlm.160).

d. Tauhid dalam Ibadah
Yaitu bahwa ibadah hanya ditujukan kepada Allah SWT semata dan tidak ada yang patut disembah kecuali Dia. Tauhid ini adalah sub-tauhid yang paling utama dan yang paling mendapat perhatian para nabi.

“Sesungguhnya mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah, semata-mata taat kepada-Nya, hanif, lurus dan bersih, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus” (QS. Al-Bayyinah, 5)

Tauhid seseorang akan semakin mendalam jika ia menempuh tahapan-tahapan perjalanan kesempurnaan akhlak dan spiritual sehingga ia akan mencapai kedudukan atau maqam di mana hatinya hanya terpaut pada Allah SWT semata, selalu mencari-Nya kapan dan di manapun, tidak memikirkan apa-apa kecuali Dia.

“Segala sesuatu yang membuatmu lupa kepada Allah ia adalah berhalamu”.

Syi’ah meyakini bahwa semua poin-poin uraian tauhid ini tidak hanya terbatas pada empat poin yang kami sebutkan di atas, tapi masih ada poin-poin uraian lainnya, seperti tauhid dalam kepemilikan (tauhid milkiyyah).

“Apa yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah” (QS. 2: 284)

Juga tauhid Allah SWT sebagai pemutus segala urusan (tauhid hakimiyyah):

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka sesunguhnya mereka adalah orang-orang kafir” (QS. Al-Ma’idah, 44).

7. Mukjizat Nabi Terjadi dengan Izin Allah SWT
Syiah meyakini bahwa melalui tauhid dalam perbuatan, akan semakin menegaskan kebenaran bahwa mukjizat para nabi dan peristiwa-peristiwa luara biasa di alam terjadi karena izin Allah SWT, sebagaimana dilansir Al-Quran dalam kisah Nabi Isa a.s.:

“Dan engkau menyembuhkan penderita buta sejak lahir dan penderita belang dengan izin-Ku, dan ingatlah ketika engkau menghdiupkan orang mati. (QS. Al-Ma’idah, 110).

Atau kisah salah seorang menteri Nabi Sulaiman a.s.:

“Berkatalah orang yang memiliki ilmu dari al-Kitab, ‘Aku akan mendatangkannya kepadamu sebelum matamu berkedip’. Maka tatkala Sulaiman melihatnya sudah berada di hadapannya, ia berkata, ‘Ini merupakan karunia Tuhanku’” (QS. Al-Naml, 40).

Dengan demikian, menisbahkan penyembuhan penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau menghidupkan orang mati kepada Nabi Isa a.s., semua ini hanya dengan izin Allah dan tidak bertentangan dengan tauhid, bahkan inilah tauhid itu sendiri.

8. Malaikat
Syiah meyakini bahwa malaikat itu ada dan masing-masing mengemban tugas khusus. Ada malaikat yang bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi, mencatat amal perbuatan manusia, mencabut nyawa, membantu orang-orang beriman yang istiqamah, membantu kaum mukminin yang berada di medan perang, menghukum para pembangkang, dan sebagainya yang berhubungan dengan alam semesta ini.

Baca juga :   Garis-garis Umum Akidah Syiah (2): Kenabian

Adanya tugas-tugas malaikat itu sama sekali tidak menyalahi prinsip tauhid dalam perbuatan atau tauhid dalam pemeliharaan (tauhid rububi). Malah sebaliknya, justru itu menegaskan tauhid, karena semuanya berlangsung dengm izin Allah, dengan kekuatan-Nya dan atas perintah-Nya.

Dari sini dapat kita lihat bahwa adanya syafaat dari para nabi, imam, dan malaikat sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid, bahkan semua ini adalah tauhid itu sendiri, sebab semuanya terjadi hanya dengan izin-Nya.

“Tidak ada yang memberi syafaat kecuali setelah mendapat izin-Nya” (QS. Yunus, 3).

Penjelasan lebih luas tentang masalah ini dan masalah tawassul dapat diikuti pada pembahasan kenabian.

9. Ibadah Hanya kepada Allah SWT
Syiah meyakini bahwa ibadah hanya kepada Allah SWT semata, sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan Tauhid dalam Ibadah. Oleh karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah, dia adalah musyrik. Inilah misi para nabi, sebagaimana banyak dikutip Al-Quran dari lisan para nabi.

“Sembahlah Allah semata. Kamu tidak mempunyai Tuhan selain Dia” (QS. Al-A’raf, 59, 65, 73, 85).

Menarik bahwa dalam shalat-shalat kita, ketika membaca surah Al-Fatihah, kita selalu mengulang-ulangi prinsip ini melalui ayat:

“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah, 5).

Dengan demikian, jelas bahwa meyakini adanya syafaat para nabi dan para malaikat adalah atas izin Allah, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, bukan merupakan perbuatan menyembah atau beribadah kepada mereka. Sama sekali tidak.

Demikian pula bertawassul kepada para nabi, sama sekali tidak dapat digolongkan sebagai ibadah kepada mereka, dan sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid dalam perbuatan ataupun tauhid dalam ibadah, sebab yang dilakukan hanyalah meminta kepada mereka agar memohonkan kepada Allah supaya mengatasi kesulitan yang dihadapinya.

10. Dzat Tuhan Tidak Dapat Dijangkau
Syiah meyakini bahwa betapapun jejak-jejak wujud Allah SWT begitu banyak di alam semesta ini, namun tidak seorang pun mengetahui hakikat Allah sebenar-benarnya ataupun dapat menjangkau-Nya, sebab dzat Allah SWT tak terbatas, sedangkan kita, dari sisi apa pun, terbatas. Oleh karena itu, kita tidak dapat menjangkau-Nya, tapi Dia menjangkau segala sesuatu.

“Ketahuilah! Sesungguhnya Dia menjangkau segala sesuatu” (QS. Fushshilat, 54)

“Dan Sesungguhnya Allah menjangkau mereka semua” (QS. Al-Buruj, 20).

Dalam sebuah hadis Nabi bahkan disebutkan, “Kami tidak menyembah-Mu sebenar-benarnya penyembahan dan tidak pula mengetahui-Mu sebenar-benanya pengetahuan” (Bihar Al-Anwar, jld. 68, hlm. 23).

Namun ini tidak berarti bahwa ketika kita tidak dapat mengetahui hakikat Allah SWT secara detail, berarti kita juga tidak dapat mengetahui hakikat-Nya secara global (ilm ijmali), sehingga kita harus meninggalkan upaya kita untuk mengenal-Nya dan cukup puas dengan mengucapkan lafal-lafal yang kita sendiri tidak memahaminya.

Sama sekali tidak demikian, karena hal ini dapat menghambat kita untuk mengenal Allah SWT, sesuatu yang tidak dapat diterima oleh Syiah dan tidak pula diyakini, karena Al-Quran dan kitab-kitab suci lainnya justru turun untuk memperkenalkan Allah SWT, sehingga kita dapat mengenal-Nya.

Dalam hal ini, banyak hal yang dapat dijadikan contoh, misalnya ruh. Kita tidak mengetahui apa hakikat ruh sebenarnya, tapi kita mengetahui secara umum bahwa ruh itu ada dan kita melihat tanda-tandanya.

Imam Muhammad Al-Baqir a.s. dalam salah satu hadisnya mengatakan, “Setiap kali kamu menggambarkan Tuhan dengan pikiranmu yang paling dalam sekalipun, tetap saja itu adalah makhluk dan ciptaan seperti kamu, yang dikembalikan kepadamu”. (Bihar Al-Anwar, jld. 66, hlm. 293).

Dalam hadis lain, dengan redaksi yang sangat indah dan jelas, Imam Ali a.s. telah menjelaskan cara mengenal Allah SWT. Imam Ali a.s. berkata. “Allah tidak membuat akal memberitahu hakikat sifat-sifat-Nya, tapi pada saat yang sama Dia tidak menghalangi akal mengetahui-Nya” (Nahj Al-Balaghah: pidato 49).

11. Tidak Ta’thil dan Tidak Pula Tasybih
Syiah meyakini bahwa ta’til ma’rifatullah atau anggapan tidak ada jalan untuk mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya adalah pendirian yang keliru. Demikian pula tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Bahkan tasybih adalah perbuatan yang sesat
dan syirik.

Dengan kata lain, kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah SWT sama sekali tidak dapat diketahui dan jalan untuk mengenal-Nya tertutup. Demikian pula kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah mempunyai keserupaan dengan mahkluk-Nya. Kedua jalan pikiran ini berlebih-lebihan, ifrath dan tafrith.

Sumber: Nashir Makarim Syirazi, Aqa’id-e Imamiyyah.

(Visited 366 times, 4 visits today)

Leave a reply