Garis-garis Besar Akidah Syiah (4): Imamah

STUDISYIAH.COM–Syiah meyakini bahwa kebijaksanaan Tuhan (al-hikmah al-ilahiyyah) menuntut keharusan mengutus para rasul untuk membimbing umat manusia. Demikian pula mengenai imamah, yakni bahwa kebijaksanaan Tuhan juga menuntut harus adanya seorang imam sesudah ketiadaan seorang rasul guna meneruskan pembimbingan umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan.
Selain itu, keberadaan imam juga untuk menerangkan kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan sulit dicapai, karena tidak ada yang membimbing sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi menjadi sia-sia. Oleh karena itu, orang-orang Syiah meyakini bahwa sesudah Nabi Muhammad SAW, ada seorang imam untuk setiap masa.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang benar” (QS. Al-Taubah: 119).
Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang-orang beriman bergabung dalam barisan orang-orang benar (al-shadiqin) pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana disebutkan oleh banyak mufassir Sunni dan Syiah terhadap makna ayat ini.
Misalnya, Fakhru Razi, setelah pembahasan panjang tentang ayat di atas, demikian menafsirkan, “Ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang yang bisa salah dapat melakukan kesalahan, maka ia harus bergabung dan mengikuti orang yang telah dijamin kebenarannva atau maksum. Mereka adalah orang yang dimaksud oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang benar di atas (al-shadiqin). Dengan demikian, wajib bagi setiap orang yang bisa salah untuk selamat dari kesalahan. Prinsip ini bukan hanya berlaku pada satu masa saja, tapi untuk sepanjang masa. Dengan demikian, pada setiap masa pasti ada orang-orang maksum (Fakhru Razi, Al-Tafsir Al-Kabir, jld. 16, hlm. 221).
Hakikat Imamah
Syiah meyakini bahwa imamah bukan sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal, tetapi sekaligus sebagai kedudukan spiritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan pemerintahan Islam, seorang imam penerus Nabi SAW bertanggung jawab membimbing umat manusia dalam urusan agama dan dunia mereka. Imam juga membimbing pikiran dan rohani masyarakat, menjaga syariat Nabi SAW agar tidak menyimpang atau berubah serta memperjuangkan tercapainya tujuan pengutusan nabi.
Sebagai kedudukan tinggi, imamah diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. setelah beliau melewati fase kenabian dan risalah, dan setelah lulus dan sejumlah ujian berat. Nabi Ibrahim a.s. meminta kepada Allah SWT agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian dari keturunannya, tetapi Allah SWT menegaskan kepada beliau bahwa orang-orang zalim dan yang berbuat dosa tidak akan mencapai posisi mi.
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu ia menyempumakannya. Tuhan berfirman kepadanya, ‘Aku angkat engkau sebagai imam bagi umat manusia.’ Ibrahim berkata, ‘Berikan pula kepada keturunanku.’ Tuhan berfirman, ‘Ketetapan-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang zalim.’” (QS. Al-Baqarah: 124).
Jelas sekali bahwa kedudukan yang demikian tinggi ini tidak dapat direduksi hanya sebagai jabatan pemerintahan formal. Dengan demikian, jika imamah tidak dimaknai sebagaimana yang telah diuraikna di atas, maka ayat di atas tidak mempunyai pengertian yang jelas.
Syiah meyakini bahwa para nabi utama, ulul-azmi, terutama Nabi Muhammad SAW adalah juga imam-imam yang memiliki otoritas kepemimpinan spiritual ruhani dan kepemimpinan formal material. Dengan demikian, Nabi SAW tidak sekedar menyampaikan ajaran Allah SWT, tapi sekaligus memimpin umat manusia, dan kedudukan imamah ini telah diberikan kepada beliau sejak awal kenabian beliau.
Syiah juga meyakini bahwa garis imamah sesudah Nabi SAW dilanjutkan oleh orang-orang suci dan keturunannya.
Dari pengertian di atas mengenai imamah tampak bahwa untuk mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat, baik dari sisi takwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah: terpelihara dari perbuatan-perbuatan dosa, maupun dari sisi ilmu dan pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan aturan agarna serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya di setiap zaman.
Keterpeliharaan Imam dari Dosa dan Kesalahan
Syiah meyakini bahwa seorang imam wajib bersifat maksum, yakni terpelihara dari perbuatan dosa dan kesalahan, karena di samping makna ayat di atas, seorang yang tidak maksum tidak dapat dipercaya sepenuhnya untuk diambil darinya prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Oleh karena itu, Syiah meyakini bahwa ucapan seorang imam maksum, perbuatan dan persetujuannya adalah bukti syar’i dan kebenaran agama yang mesti dipatuhi.
Yang dimaksud oleh Syiah dengan persetujuan imam maksum (taqrir al-ma’shum) ialah sang imam tidak menegur suatu perbuatan yang berlangsung di hadapannya, bahkan membiarkannya.
Imam, Pengawal Agama
Syiah meyakini bahwa seorang imam tidak membawa syariat baru. Kewajibannya hanyalah menjaga agama, memperkenalkan, mengajarkan, menyampaikannya dan membimbing manusia kepada ajaran-ajaran yang luhur.
Imam, Yang Paling Tahu Agama
Syiah meyakini bahwa seorang imam harus menguasai dan memiliki pengetahuan yang utuh terhadap semua pokok agama Islam, cabang-cabangnya, hukum, peraturan dan tafsir Al-Quran. Pengetahuan ini bersifat ilahi, suci dan didapat dari Nabi SAW, supaya sang imam mendapat kepercayaan penuh dan umat dan dapat diandalkan dalain memahami hakikat Islam.
Nash atas Penentuan Imam
Syiah meyakini bahwa seorang imam, penerus Rasulullah SAW, harus ditetapkan melalui nash atau penetapan yang jelas oleh Rasulullah SAW atau oleh imam sebelumnya. Dengan kata lain, seorang imam, seperti halnya Nabi SAW, ditetapkan oleh Allah SWT, tetapi melalui Nabi SAW, sebagaimana keterangan Al-Quran dalam pengangkatan Ibrahim a.s. sebagai imam:
“Sesungguhnya Aku mengangkatmu sebagai imam bagi umat manusia” (QS. Al-Baqarah: 124).
Di samping itu, pencapaian tingkat ketakwaan dan tingkat kemaksuman (ishmah) serta tingkat pengetahuan seluruh hukum dan ajaran Allah SWT, tanpa ada kesalahan sedikitpun, tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu, penentuan seseorang telah mencapai kemaksuman datang dari Rasulullah SAW.
Dengan demikian, Syiah meyakini bahwa keimaman para imam maksum tidak diperoleh melalui suara dan pemilihan masyarakat.
Penetapan Imam oleh Nabi Saw
Syiah meyakini bahwa Nabi SAW telah menetapkan para imam sesudahnya, sebagaimana yang telah dilakukannya dalam hadis masyhur Al-Tsaqalain. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa suatu hari, Nabi SAW berpidato di sebuah oase bernama Khum, terletak antara Mekkah dan Madinah. Di sana beliau berpidato:
“… Aku hanyalah seorang manusia, yang jika utusan Tuhanku datang kepadaku akan kupenuhi. Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berat: pertama, kitab Allah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya …, (kedua) Ahlul Baitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlul Baitku, aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlul Baitku, aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlul Baitku.” (Shahih Muslim, jld. 7, hlm. 123, hadis ke-6119, bab keutamaan-keutamaan Ali ibn Abi Thalib).
Hadis yang sama juga diriwayatkan dalam Shahih Al-Turmudzi. Bahkan dalam Shahih Al-Turmudzi terdapat pernyataan tegas Nabi SAW yang mengangkat imam sesudahnya dan dari keluarganya.
Demikian pula hadis-hadis yang diriwayatkan dalam Sunan Al-Darimi, Khasha’ish Al-Nasa’i, Musnad Ahmad, dan sumber-sumber utama terkenal lainnya.
Hadis Tsaqalain atau hadis Dua Pusaka ini sedikitpun tidak dapat diragukan kebenarannya oleh siapa saja, karena ia terrnasuk hadis mutawatir yang tidak dapat diingkari atau dipersoalkan kebenarannya oleh seorang muslim. Oleh karena itu, dari beberapa riwayat tampak jelas betapa Nabi SAW telah mengulangi hadis ini berkali-kali dan di berbagai tempat yang berbeda.
Tentu saja, tidak semua kerabat Nabi SAW memangku posisi tinggi ini sebagai pendamping Al-Quran. Dengan demikian, yang dimaksud hanyalah para imam maksum dari keluarga beliau.
Perlu disebutkan di sini bahwa dalam beberapa riwayat terdapat redaksi “sunnati”, yakni sunnahku, sebagai ganti dari redaksi “ahl bayti”, Ahlul Baitku. Akan tetapi, riwayat ini dhaif dan tidak dapat diandalkan.
Pada sisi lain, terdapat hadis lain yang masyhur dan sahih yang diriwayatkan oleh banyak kitab hadis utama seperti: Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Shahih Al-Turmudzi, Sunan Abu Dawud, Musnad Ibn Hanbal, bahwa Nabi SAW bersabda:
“Agama ini akan terus tegak hingga datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas orang khalifah (imam), mereka semua berasal dari Quraisy” (Shahih Muslim, jld. 3, hlm. 1452, Shahih Al-Bukhari, jld. 6, hlm. 2640, Shahih Al-Turmudzi, jld. 4, hlm. 501, Musnad Ahmad ibn Hanbal, jld. 1, hlm. 406, dan Sunan Abi Dawud, jld. 4, bab Al-Mahdi)
Syiah meyakini bahwa tidak ada tafsiran yang paling tepat mengenai dua belas imam atau khalifah yang dimaksud Nabi SAW dalam hadis ini kecuali apa yang diyakini oleh Syiah Imamiyah.
Pengangkatan Ali ibn Abi Thalib a.s. oleh Nabi Saw
Syiah meyakini bahwa Nabi SAW, atas perintah Allah SWT, telah menunjuk dan mengangkat Ali a.s. sebagai khalifah setelah beliau. Beliau lakukan itu berkali-kali dan dalam berbagai kesempatan yang berbeda. Di Ghadir Khum, dekat dengan Juhfah, misalnya, Nabi SAW menyampaikan pidato yang sangat populer di depan para sahabatnya, sepulangnya dari menunaikan Haji Wada’. Nabi SAW bersabda:
“Wahai manusia sekalian! Bukankah aku lebih utama atas dirimu daripada kamu sendiri?” Mereka berkata, “Ya.” Nabi melanjutkan, “Maka, barangsiapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”
Tanpa bermaksud menguraikan masalah ini panjang lebar atau melakukan argumentasi terhadap keyakinan ini, kiranya cukup dengan mengatakan bahwa adalah mustahil kita lewati hadis di atas begitu saja atau menafsirkannya sebatas pada cinta kepada Ali, padahal Nabi SAW telah begitu memperhatikan masalah ini.
Bukankah hadis di atas sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibn Al-Atsir dalain Al-Kamil fi Al-Tarikh, bahwa di awal kenabiannya, atas perintah Allah, “Dan berilah peringatan kepada keluarga dekatmu” (QS. 26: 214), Nabi SAW mengumpulkan segenap keluarganya dan mendakwahkan Islam kepada mereka. Pada kesempatan itu, Nabi SAW bersabda:
“Siapakah di antara kamu yang bersedia membantuku dalam urusan ini sehingga ia menjadi saudaraku, pengemban wasiatku, dan khalifahku pada kamu?”
Tidak seorang pun yang menyambut sabda Nabi SAW ini kecuali Ali yang berkata kepada beliau, “Aku, wahai utusan Allah, yang akan membantumu.” Kemudian Nabi bersabda, “Inilah (Ali) saudaraku, pengemban wasiatku, dan khalifahku pada kamu.”
Ini pula yang diinginkan Nabi SAW pada saat-saat terakhir kehidupannya, sebagaimana yang diriwayatkan Bukhari bahwa Nabi SAW berkata:
“Bawakan aku kertas supaya aku tuliskan untuk kalian wasiat yang dengannya kalian tidak akan sesat sesudahku nanti!”
Tapi sayang, sebagian menentang penulisan wasiat ini dan mencegah Nabi SAW melakukannya, bahkan mengucapkan kalimat-kalimat yang merendahkan beliau (Shahih Al-Bukhari, jld. 5, hlm. 11, Shahih Muslim, jld. 3, hlm. 1259)
Sekali lagi, uraian ini hanya memaparkan garis umum aqidah Syiah dengan sedikit dalil, adapun detail penjelasan dan argumentasinya dapat dilanjutkan di lain kesempatan.
Penegasan Setiap Imam atas Imam Berikutnya
Syiah meyakini bahwa setiap imam dari dua belas imam telah diangkat dengan tegas (nash) oleh imam sebelumnya. Imam pertama adalah Ali ibn Abi Thalib, kemudian secara berturut-turut:
(2) Hasan ibn Ali Al-Mujtaba
(3) Husain ibn Ali Sayyid Al-Syuhada, penghulu para syuhada.
(4) Ali ibn Husain Zainal Abidin
(5) Muhammad ibn Ali Al-Baqir
(6) Ja’far ibn Muhammad Al-Shadiq,
(7) Musa ibn Ja’far Al-Kadzim
(8) Ali ibn Musa Al-Ridha
(9) Muhammad ibn Ali Al-Taqi
(10) Ali ibn Muhammad Al-Naqi
(11) Hasan ibn Ali Al-Askari, dan terakhir
(12) Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi.
Syi’ah meyakini bahwa Imam Muhammad Ibn Hasan Al-Mahdi sudah lahir dan masih hidup.
Keyakinan kepada Imam Mahdi yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kekejaman tidak terbatas bukan keyakinan khusus Syiah saja, tetapi keyakinan seluruh kaum Muslimin. Untuk itu, banyak ulama Ahli Sunnah menulis buku tentang kemutawatiran hadis-hadis tentang Imam Mahdi ini.
Bahkan Rabithah Alam Islami pernah mengeluarkan risalah yang menyatakan bahwa kedatangan Imam Mahdi merupakan urusan musallamat dalam agama atau sesuatu yang tidak dapat ditolak kebenarannya (Risalah tertanggal 24 Syawal 1396 H ini ditandatangani oleh pimpinan ‘Idarah Majma’ al-Fiqh al-Isiami, Muhammad Al-Muntashir Al-Khatami).
Rabitah mengutip banyak hadis Nabi SAW tentang Imam Mahdi dan kitab-kitab utama. Hanya saja, sebagian ulama Ahli Sunnah percaya bahwa Imam Mahdi yang dimaksud baru akan lahir di akhir zaman, sementara Syiah meyakini bahwa Imam Mahdi yang dimaksud adalah imam kedua belas, masih hidup dan akan muncul dengan izin Allah untuk menegakkan keadilan dan mengadili para tiran.
Sumber: Nashir Makarim SyirazI, I’tiqade-ma, Qom, 1375 HS.