Fitrah Ilahi (1): Membahas Tuhan dan Agama saja sudah Bawaan Fitrah

0
706

STUDISYIAH.COM–Salah satu isu utama, dan mungkin paling krusial dalam agama, ialah keberadaan Tuhan dan membuktikan kenyataannya. Biasanya, isu ini dibahas dalam ilmu Kalam dan Filsafat. Ilmu mengenal Tuhan merupakan ilmu kefilsafatan yang termulia dan paling bernilai; kesempurnaan hakiki manusia tidak mungkin tercapai tanpa mengenal Tuhan, karena seperti juga telah terbukti bahwa kesempurnaan itu hanya terealisasi dalam koridor kedekatan dengan Tuhan dan, tentunya, upaya mendekatkan diri pada Tuhan yang Mahatinggi tak akan terlaksana tanpa mengenal-Nya.

Sebelum masuk LEBIH JAUH, perlu digarisbawahi dua catatan berikut: pertama, sekelompok sarjana percaya bahwa mengenal Tuhan yang Mahatinggi itu masalah fitri yang swanyata dan tidak perlu pembuktian filosofis; kedua, sebagian filosof menegaskan bahwa upaya pembuktian demonstratif atas ada Tuhan yang Mahatinggi itu tidak valid.[1] Kali ini fokus telaah kita akan tertuju pada catatan pertama.

Ke-fitri-an Mengenal Tuhan

Kata ‘fitri’ digunakan sebagai ajektif untuk sesuatu yang merupakan tuntutan-kodrat fitrah. Fitrah di sini yaitu jenis penciptaan suatu adaan. Oleh karena itu, perkara-perkara fitri memiliki dua sifat dasar: pertama, tidak perlu proses ajar-belajar apa pun dan, kedua, tidak akan berubah dan berganti. Ada sifat dasar ketiga yang juga bisa dibubuhkan: perkara-perkara fitri setiap spesis realitas-realitas ada pada diri setiap individu spesis, kendati berbeda-beda intensitas kuat-lemahnya.

Perkara-perkara yang disebut sebagai fitri pada spesis manusia dapat dibagi menjadi dua bagian:

  1. Pengetahuan sebagai implikasi dari ada/keberadaan dirinya; dan
  2. Kecenderungan yang merupakan implikasi penciptaan dirinya.

Tetapi juga adakalanya kata ‘fitri’ dan fitrah digunakan sebagai oposisi dari kata ‘gharizi’ dan gharizah (insting). ‘Fitri’ dalam konteks penggunaan ini berarti sifat-sifat dasar yang khusus spesis manusia, akan halnya perkara-perkara ‘gharizi’ merupakan sifat-sifat yang juga terdapat pada binatang (genus).

Baca juga :   Sejarah Penamaan Ilmu Kalam

Dalam kaitannya dengan Tuhan yang Mahatinggi, kadangkala dinyatakan bahwa mengenal Tuhan adalah perkara fitri, yakni masalah ini termasuk dalam bagian pertama dari pembagian perkara-perkara fitri di atas. Kadang pula dinyatakan bahwa mencari Tuhan dan menyembah Tuhan adalah tuntutan-kodrat fitrah manusia, yakni termasuk dalam bagian kedua dari pembagian tersebut.

Pengenalan fitri akan Tuhan bisa diartikan sebagai mengetahui-Nya dengan-kehadiran (hudhuri), yaitu suatu tingkatan dari mengenal Tuhan yang sudah ada dalam diri semua orang, dan ini barangkali yang disinggung dalam ayat:

“‘…bukankah Aku Tuhan kalian?’ Mereka berkata, Iya’.” (QS. al-A‘raf [7]: 172).

Demikian pula telah disimpulkan pada Daras 49 bahwa setiap akibat yang memiliki suatu tingkatan abstraksi/transendensi (tajarrud) niscaya memiliki suatu tingkatan pengetahuan kehadiran akan sebab pemberi-Ada. Walaupun tingkat pengetahuan ini secara tak sadar atau agak sadar dan lantaran aspek-aspek kelemahan bisa dipahami dengan interpretasi keliru oleh pikiran,[2] namun berkat penyempurnaan jiwa dan konsentrasi hati pada Tuhan yang Mahasuci dan melalui ibadah serta amal saleh, intensitasnya akan menguat dan, bila dimiliki oleh para waliy ‘kekasih’ Tuhan, akan mencapai tingkat kejernihan hingga mereka melihat Tuhan lebih jelas dari segala sesuatu:

 Adakah bagi selain-Mu penampakan yang bukan milik-Mu sehingga dia menjadi penampak diri-Mu?![3]

Pengenalan fitri Tuhan bisa juga berarti pengetahuan kehasilan (ilm hushuliy). Apa pun pengetahuan kehasilan fitri merupakan swanyata-swanyata pertama yang terkait dengan fitrah (kodrat) akal atau berupa swanyata-swanyata kedua yang dikenal dalam Logika dengan nama fithriyyāt.

Pengetahuan fitri akan Tuhan juga adakalanya dimaskudkan sebatas proposisi-proposisi yang nyaris swanyata (qarīb ila al-badīhī). Maka dalam pengertian ini, setiap orang bisa dengan akal kodrati (khudādādī) memperoleh pengenalan akan Tuhan tanpa memerlukan argumen-argumen teknis yang serbarumit, seperti orang-orang yang tidak punya pengalaman belajar bisa mengetahui ada/keberadaan Tuhan dengan argumen sederhana.

Baca juga :   Ushuluddin, Prinsip-prinsip Agama

Kesimpulannya, teologi fitri (pengenalan fitri akan Tuhan) dalam pengertiannya sebagai pengetahuan kehadiran akan Tuhan adalah bertingkat-tingkat; tingkatan rendahnya ada pada semua orang, walaupun mereka tidak menyadarinya secara utuh, dan tingkatan tingginya khusus bagi orang-orang yang beriman sempurna dan para kekasih Tuhan. Pengetahuan ini, setingkat apa pun, tidak diperoleh melalui argumen rasional dan filosofis.

Adapun dalam pengertiannya sebagai pengetahuan kehasilan, teologi fitri merupakan pengetahuan yang nyaris aksiomatis, diperoleh-hasilkan melalui jalan akal dan pembuktian rasional. Nyaris-aksiomatis dan mudah pembuktian bukan berarti tidak perlu argumen. Tetapi, kalau ada orang yang mengklaim bahwa pengetahuan kehasilan akan Tuhan yang Mahatinggi adalah aksiomatis atau fitri-logis (fithrī manthiqī) hingga selamanya tidak perlu pembuktian apa pun, klaim seperti ini tak akan terbuktikan validitasnya.

Selanjutnya, lihat Mengenal Allah melalui Fitrah (2)!

Sumber: Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Amuzesy Falsafeh, jld. 1, Daras no. 61.

[1] Lih. Ibn Sina, Ilāhiyyāt Al-Syifā’, makalah 8, pasal 4; Ibn Sina, Al-Ta‘līqāt, hlm. 70.

[2] Lih. Daras 13.

[3] Petikan dari doa Arafah.

(Visited 73 times, 1 visits today)

Leave a reply