Esensi Masalah Filsafat

Bertolak dari definisi filsafat, yaitu ilmu yang membahas keadaan-keadaan umum keberadaan, definisi sekadar ini tidak memadai untuk menelisik esensi masalah-masalah filsafat. Tentunya, pemahaman teliti tentang esensi mereka tidak akan tercapai kecuali dengan menelaah langsung masalah demi masalah secara terperinci. Dan semakin jauh kita menyelami kedalaman suatu masalah, semakin kita dekat menjangkau esensinya.
Tetapi, sebelum memulai, baik kiranya kita memperoleh gambaran umum yang lebih konkret mengenai masalah-masalah filsafat supaya bisa memahami lebih utuh manfaat-manfaat filsafat dan penelahaan ilmu ini dengan wawasan dan visi yang lebih luas serta minat dan gairah yang lebih besar. Untuk itu, kita pertama-tama akan mengemukakan beberapa contoh dari sejumlah masalah ilmu-ilmu kefilsafatan selain filsafat pertama, lalu menyinggung perbedaan mereka dengan masalah-masalah semua ilmu yang lain, dan terakhir memulai telaah seputar esensi filsafat pertama dan ciri khas masalah-masalahnya.
Setiap manusia pasti pernah menghadapi pertanyaan fundamental dan masalah krusial berikut: apakah hidupnya berakhir dengan kematian dan, setelah itu, tidak ada apa-apa kecuali proses pembusukan bagian-bagian tubuhnya, ataukah ada kehidupan setelah mati? Jelas sekali, jawaban atas pertanyaan ini tidak mungkin diperoleh dari ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, geologi, botani, biologi dan ilmu sejenisnya. Kalkulasi-kalkulasi matematika ataupun persamaan-persamaan aljabar juga tidak memberikan jawaban apa pun atas pertanyaan tadi. Maka dari itu, dibutuhkan suatu ilmu untuk menangani pertanyaan di atas dan masalah-masalah serupa lainnya dengan metodologinya sendiri. Ilmu ini dibutuhkan untuk menjernihkan apakah manusia semata-mata kerangka fisik ataukah memiliki realitas lain yang tak-terindra bernama ruh? Seumpama ia memang memiliki ruh, apakah ruh itu bertahan utuh setelah mati atau tidak?
Sudah barang tentu, penelitian atas pertanyaan semacam ini tidak bisa ditempuh dengan metode ilmu-ilmu empiris, tetapi dengan metode rasional. Dengan demikian, harus ada suatu ilmu yang membahas masalah-masalah non-empiris tersebut, yaitu ilmu jiwa (‘ilm al-nafs) atau psikologi filosofis (‘ilm al-nafs al-falsafiy). Demikian masalah-masalah lain seperti: kehendak dan kepemilihan yang merupakan landasan bagi tanggung jawab manusia, juga mesti dituntaskan dalam ilmu tersebut.
Keberadaan ilmu semacam itu, termasuk nilai konklusi dan pemecahannya, bergantung pada pembuktian atas keberadaan akal dan nilai pengetahuan rasional. Oleh sebab itu, juga harus ada ilmu lain untuk menyelidiki jenis-jenis pengetahuan dan menimbang nilainya masing-masing sampai jelas benar: apa itu pengetahuan rasional (idrāk ‘aqliy), bagaimana nilainya, dan masalah apa saja yang bisa dipecahkannya. Ilmu ini juga merupakan satu dari sekian ilmu kefilsafatan yang disebut dengan epistemologi.
Dalam ranah ilmu-ilmu praktis seperti: etika dan politik, terhampar pelbagai masalah vital dan mendasar yang juga tidak bisa diselesaikan oleh ilmu-ilmu empiris. Di antaranya, masalah mengetahui hakikat kebaikan dan keburukan, kebajikan dan kebejatan, serta kriteria memilah dan menentukan tindakan terpuji dan tercela. Studi seputar masalah-masalah semacam ini, lagi-lagi, membutuhkan suatu ilmu atau sejumlah ilmu kefilsafatan khusus lain yang, pada gilirannya, juga akan membutuhkan epistemologi.
Perhatian lebih saksama terhadap masalah-masalah ini menunjukkan bahwa mereka saling terkait dan, sebagai suatu keseluruhan, sepenuhnya berhubungan dengan masalah-masalah teologi: studi tentang Tuhan yang telah menciptakan tubuh dan ruh manusia serta seluruh realitas alam; Tuhan yang mengelola jagat raya dengan tatanan tertentu; Tuhan yang mematikan dan membangkitkan kembali manusia untuk diganjar dengan siksa atau pahala atas segenap tindakan baik dan buruknya; tindakan baik dan buruk yang telah dilakukannya dengan pemilihan dan kehendak-bebas; dan masalah-masalah teologis lainnya.
Studi mengenai Tuhan Yang Mahatinggi berikut sifat-sifat dan tindakan-tindakan-Nya membentuk serangkaian masalah yang dikaji dalam ilmu teologi atau ketuhanan dalam makna khusus (yang juga merupakan salah satu ilmu kefilsafatan). Akan tetapi, semua masalah tadi berpijak di atas sehimpunan masalah lebih umum dan universal yang lingkupnya bahkan menjaring hal-hal indrawi dan material seperti masalah-masalah berikut: seluruh realitas dalam keterjadian (hudūts) dan kelangsungan (baqā’) keberadaan mereka saling bergantung satu sama lain dan, di antara mereka, terdapat hubungan aksi-reaksi (fi‘l wa infi‘āl), kepengaruhan-keterpengaruhan (ta’tsīr wa ta’atstsur) dan sebab-akibat; semua realitas yang terjangkau indra dan pengalaman empiris indrawi manusia akan mengalami kemusnahan, maka harus ada suatu realitas yang tidak akan mengalami kemusnahan, bahkan dia murni-mutlak dari segala ketiadaan dan kekurangan apa pun; medan keberadaan tidak terbatas hanya pada alam material dan indrawi, tidak juga hanya pada realitas-realitas yang berubah, berganti, dan bergerak, tetapi ada realitas-realitas yang, selain tidak mempunyai sifat-sifat tersebut, juga tidak dibatasi ruang dan waktu.
Jawaban positif atas masalah “apakah perubahan, pergantian, kemusnahan dan kebergantungan itu implikasi keberadaan ataukah bukan?”, atau dengan kata lain, “apakah realitas yang bersifat tetap, utuh dan mandiri” akan menuntun kita kepada pembagian realitas menjadi material dan imaterial (māddiy wa mujarrad), tetap dan berubah (tsābit wa mutaghayyir), yang-mungkin-ada dan Yang-Niscaya-Ada (mumkin al-wujūd wa Wājib Al-Wujūd), atau pembagian-pembagian lainnya. Maka, selama masalah ini belum terpecahkan, ilmu-ilmu seperti: teologi, psikologi filosofis dan sejenisnya, tidak akan memiliki landasan dan dasar apa pun. Bahkan, pemecahan masalah-masalah ini tidak hanya membutuhkan argumentasi rasional, tetapi apa pun upaya menyanggah mereka juga, mau tidak mau, akan menggunakan metode pembuktian rasional, karena indra dan pengalaman empiris dengan sendirinya, selain tidak bisa mengafirmasi masalah-masalah semacam itu, juga tidak dapat menegasikan mereka.
Jelas, atas dasar itu, bahwa ada serangkaian masalah penting dan mendasar yang dihadapi manusia dan tidak bisa dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus, bahkan oleh ilmu-ilmu kefilsafatan khusus sekalipun. Karena itu, diperlukan suatu ilmu yang secara khusus meneliti masalah-masalah itu, yaitu ilmu metafisika atau ilmu universal atau filsafat pertama. Subjek utama ilmu ini tidak terporos khusus pada satu macam realitas atau entitas-entitas partikular dan tertentu saja sehingga, mau tak mau, ia akan berupa konsep paling universal yang berlaku pada apa saja yang riil dan objektif. Subjek demikian inilah yang secara teknis disebut dengan istilah mawjūd ‘realitas’. Tentu saja, realitas di sini bukan dari segi ia, misalnya, sebagai material juga bukan sebagai imaterial, tetapi realitas dari segi ia sebagai realitas, yakni realitas mutlak (mawjūd muthlaq) atau realitas qua realitas (mawjūd bi mā huwa mawjūd). Dan, ilmu [dengan subjek utama] semacam ini patut diberi gelar “induk segala ilmu”.