Dua Macam Hukum: Tetap dan Tak-Tetap

Hukum dan aturan dalam kehidupan manusia dapat dikategorikan menjadi dua kelompok:
Pertama, adalah hukum-hukum yang melindungi kepentingan-kepentingan manusia (dari segi keberadaan manusia sebagai makhluk yang hidup berkelompok, di mana saja, dan kapan saja). Hukum-hukum semacam ini seperti akidah dan hukum-hukum yang menekankan penghambaan manusia di hadapan Tuhannya (yang mana penghambaan manusia di hadapan Tuhan sampai kapanpun tidak akan berubah). layaknya aturan-aturan lain yang berlaku, hukum-hukum seperti ini dibutuhkan oleh kehidupan manusia dan harus dijalankan selamanya; seperti kebutuhan terhadap makanan, tempat tinggal, pernikahan, dan lain sebagainya.
Kedua, adalah hukum dan aturan yang bersifat sementara dan terbatas. Hukum-hukum sedemikian rupa akan berubah hanya dengan bergantinya gaya hidup manusia dan perkebangannya. Dengan berkembangnya kehidupan umat manusia, secara otomatis hukum-hukum tersebut juga menuntut perkembangan. Oleh karenanya muncul aturan-aturan baru yang lebih layak untuk dijalankan.
Misalnya, di zaman yang masih belum ada kendaraan-kendaraan super cepat seperti saat ini, yang mana manusia masih menggunakan kuda, keledai, onta, bahkan berjalan kaki untuk melintasi jarak dan sampai ke suatu tempat, manusia tidak membutuhkan hukum dan aturan lalu lintas yang rumit seperti sekarang ini. Tapi kini, karena kendaraan bermotor telah memenuhi jalanan, kita membutuhkan akan adanya aturan-aturan lalu lintas yang sangat banyak hanya untuk berkendara di darat, di laut, bahkan di udara!
Orang-orang primitif yang hidupnya sangat sederhana dan hanya bergelut dengan hal-hal kecil, sudah bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya hanya dengan menjalankan beberapa hukum dan aturan sederhana seperti: makan, minum, perkawinan, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya; meskipun mereka harus menghabiskan umur untuk melakukan hal-hal yang hasilnya kurang efektif. Tapi sekarang, secepat kilat manusia mampu melewati jalan hidupnya. Seringnya hal-hal baru ditemukan membuat hidup manusia menjadi lebih rumit. Setiap sesuatu dapat dikembangkan dan memiliki jutaan segi dan cabang yang dapat menyibukkan manusia. Dengan demikian muncul berjuta hukum dan aturan di dalam hayat umat manusia.
Tujuan Islam adalah mendidik manusia fitri dan dengan ajakannya. Islam ingin masyarakat dunia menjadi masyarakat yang suci nan fitri yang memiliki keyakinan dan akidah fitri, amal perbuatan suci yang fitri, dan tujuan hakiki yang fitri. Islam menjadikan pemikiran-pemikiran suci manusia fitri sebagai hukum dan undang-undang lahir dan batin yang harus dijalankan. Kemudian Islam membagi hukum-hukumnya menjadi dua bagian; yaitu hukum yang tetap dan hukum yang tak-tetap dan dapat diubah. Yang pertama adalah hukum-hukum yang dibuat berasaskan penciptaan manusia dan kriteria-kriterianya. Hukum-hukum bagian pertama ini disebut sebagai agama dan syariat yang mana akan menuntun manusia berjalan menuju kesempurnaan hakiki dan kebahagiaannya yang sesungguhnya. Allah Swt berfirman:
“Dengan teguh dan dalam keadaan yang patut menghadaplah ke arah agama ini! Yakni fitrah dan bentuk penciptaan yang mana umat manusia tercipta atas dasar hal itu. Tidak ada perubahan dalam penciptaan Tuhan. Itulah agama yang dapat mengatur hidup umat manusia.” (QS. Al-Rum: 30)
Perlu diketahui bahwa hukum-hukum bagian kedua, yakni hukum-hukum tak-tetap dan dapat diubah, adalah aturan-aturan yang bergantung dengan kondisi dan keadaan hidup manusia. Hukum-hukum ini berada di genggaman tangan nabi Islam, para penerusnya, dan orang-orang tertentu.
Hukum-hukum tak-tetap dan dapat berubah tidak dapat dipisahkan dengan hukum-hukum tetap; karena hukum-hukum tersebut berada di bawah naungan agama dan syariat. Mereka (nabi dan orang-orang suci yang lain) berwewenang untuk menentukan hukum-hukum tersebut sesuai dengan kemaslahatan suatu waktu dan tempat tertentu serta tuntutan kehidupan. Yang jelas, hukum-hukum yang dapat dirubah secarah istilah tidak dapat disebut dengan agama, syariat, atau hukum-hukum Islam. Mengenai ketaatan terhadap para nabi dan wasinya, Allah Swt berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah, para rasul, dan ulil amri kalian.” (QS. Al-Nisa’: 59)
Inilah jawaban singkat yang dapat diberikan mengenai permasalahan Islam dan pemenuhan kebutuhan hakiki hidup di sepanjang masa. Sebenarnya tidak cukup dengan jawaban yang berukuran hanya beberapa halaman ini saja, bahkan harus diberikan penjelasan lebih mendalam lagi. Pada kesempatan berikutnya insya Allah kami akan memberikan penjelasan lebih lanjut.
Hukum Tetap dan Hukum Tak-tetap
Pada pembahasan sebelumnya kita telah membahas peranan Islam dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup umat manusia. Secara sekilas kita telah mengetahui bahwa Islam telah membagi hukum dan aturan hidup manusia menjadi dua bagian, yang tetap dan yang dapat berubah.
Hukum Tetap
Hukum-hukum yang tetap adalah hukum yang telah diciptakan dan disesuaikan dengan realitas wujud dan keberadaan manusia alami. Maksudnya, hukum-hukum tersebut telah disesuaikan dengan tabiat manusia yang secara alamiah selalu berubah-ubah, di manapun ia berada, dan kapan saja; baik ia adalah orang kota, orang desa, orang gurun, berkulit hitam, berkulit putih, orang kuat, atau pun orang lemah. Begitu dua orang—atau mungkin lebih—manusia berkumpul dan saling bahu membahu untuk menjalankan kehidupan bersama, mereka akan menghadapi berbagai macam rintangan hidup dan kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Mengingat manusia memiliki tabiat dan fitrah yang sama, dan kemanusiaan mereka satu, tak diragukan lagi bahwa kebutuhan-kebutuhan mereka semua juga satu. Dengan demikian, manusia memerlukan hukum-hukum yang sama untuk melewati rintangan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Pemahaman manusia yang berdasarkan akal adalah sama bagi siapa saja. Selama akal mereka tak terselimuti kabut tebal khurafat dan sangkaan batil, mereka sama-sama mampu membedakan yang baik dan yang buruk dengan benar. Tentunya pemahaman mereka harus dipuaskan dengan dalil dan bukti yang jelas demi memiliki keyakinan yang benar.
Begitu pula emosi yang mereka miliki. Rasa sayang, benci, takut, sedih, senang, harapan, dan lain sebaginya. Mereka sama-sama membutuhkan makanan dan minuman, perkawinan, pakaian, rumah, dan lainnya. Sikap yang diambil oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, pasti juga akan diambil oleh semua orang.
Melihat persamaan tabiat manusia, kita tidak bisa berkata bahwasannya mengenyangkan perut yang lapar boleh dilakukan oleh seseorang dan bagi orang lain tidak. Kita tidak bisa berkata bahwasannya bagi seseorang diwajibkan untuk tunduk di hadapan akalnya dan bagi orang lain tidak wajib. Apakah mungkin kita dapat menyatakan bahwa umat manusia, yang mana selama ribuan tahun telah hidup dengan tabiat alamiahnya, pada suatu saat boleh mengagungkannya dan kelak pada suatu zaman umat manusia boleh tak peduli dengannya?
Apakah pada suatu saat manusia memilih untuk hidup bersama dan di saat yang lain memilih untuk hidup menyendiri? Apakah pada suatu saat manusia merasa harus membela nyawa dan hartanya dari tangan para perampok tetapi di suatu ketika ia rela menyerahkan segalanya kepada mereka? Apakah bisa manusia hanya untuk beberapa saat saja mau melakukan aktifitas sehari-harinya dan pada suatu saat nanti hanya duduk menonton orang lain bekerja? Dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, jelas sudah bahwa manusia alami selamanya akan membutuhkan hukum-hukum yang sama dan tetap.
Islam pun datang dan mengajak manusia untuk memahami kenyataan ini. Islam berkata, “Tidak ada yang dapat memenuhi kebutuhan hidup umat manusia selain sekumpulan hukum dan aturan yang dapat diterapkan kepada wujud ciptaan yang bernama manusia.”
Islam juga berkata, “Kita harus merujuk kembali kepada fitrah dan akal pemberian Tuhan. Mari kita menjauhi nafsu dan ketidak patuhan terhadap Sang Pencipta. Di saat kita memahami bahwa sesuatu adalah benar, maka kita harus mengikuti sesuatu tersebut. Kita tidak boleh menyebut sikap mengikuti kebenaran dengan sebutan taqlid. Jangan kita menyebutnya sebagai fanatisme atau tradisi kuno yang kita amalkan hanya karena meniru apa yang telah dilakukan nenek moyang. Janganlah kita menyebut penyembahan Tuhan sebagai ibadah kuno dan usang. Kita tak boleh tunduk di hadapan para tiran dan penyembuh nafsu lalu menjadi bahan mainan mereka. Kita dilarang untuk menciptakan berbagai macam tuhan dari bebatuan dengan tangan kita sendiri lalu merunduk di hadapannya.”
Pada dasarnya, Islam memilih nama “Islam” untuk dirinya dengan tujuan supaya manusia hanya menyembah Sang Esa, Pengatur alam semesta, dan Pengelola segenap ciptaan. Dengan kata lain, Islam bertujuan untuk mengajak manusia untuk kembali kepada Tuhannya. Dalam menyatakan peranannya, Islam memberikan berbagai hukum baik berupa keyakinan, etika, dan tata cara beramal ibadah. Islam menyebutnya sebagai kebenaran yang harus diikuti. Islam telah menyebut dirinya sebagai agama langit yang tak dapat diubah oleh siapapun.
Penjelasannya, setiap tiga bagian dari wujud hukum-hukum agama Islam, yakni akidah (keyakinan), etika (akhlak), dan hukum-hukum (tata cara beramal dan beribadah) saling berkaitan satu sama lain dan tak dapat dipisahkan. Semuanya telah diciptakan sesuai dengan tabiat alami manusia. Sayang sekali kita tidak bisa menjelaskan permasalahan ini lebih jauh lagi. Pada dasarnya, kami hanya berniat untuk mengenalkan keberadaan hukum-hukum yang tetap dalam Islam.
Hukum Tak-tetap
Sebagaimana manusia membutuhkan berbagai hukum-hukum yang tetap—yang telah disesuaikan dengan kebutuhan tabiat manusia yang tetap dan tak berubah-ubah—dan kokoh, ia juga membutuhkan beberapa hukum dan hukum yang dapat diubah. Jika tak ada hukum dan hukum seperti ini, jelas manusia tak dapat melanjutkan hidupnya dengan baik. Alasannya sangat sederhana, karena selain manusia selain memiliki tabiat yang paten dan tak dapat berubah, ia juga terikat dengan waktu dan tempat yang selalu berubah. Manusia mau tak mau terseret oleh perubahan, dan dengan berubahnya tempat yang ditinggali manusia dan saat ia hidup, akan muncul kebutuhan-kebutuhan yang menuntut adanya aturan dan hukum yang dapat berubah.
Dalam bagian ketiga dari bentuk hukum-hukum Islam, yakni hukum-hukum syariat, kami memiliki sebuah prinsip yang disebut dengan Prinsip Kehendak Wali. Kehendak Wali inilah yang menangani hukum-hukum hidup manusia yang dapat berubah di setiap zaman dan setiap saat. Tanpa harus merubah hukum-hukum Islam yang tetap. Dengan adanya hukum-hukum yang dapat berubah, segala kebutuhan hidup umat manusia akan dapat terpenuhi (Muhammad Husain Thabathaba’i, Islam va Insan-e Mu’asir, cet. Majma’ Jahani Ahlul Bait, Qom, 1379 HS).