Berdasarkan Riwayat, Filsafat itu Haram; Benarkah demikian?

0
1663

STUDISYIAH.COM–Apa hukum berfilsafat dan mempelajari filsafat? Ada sebagian kalangan yang menghukumi haram belajar, mempelajari dan mengajarkan filsafat. Salah satu argumen mereka adalah sabda Imam Hasan Askari a.s., “Ulama akhir zaman akan berpaling dari filsafat dan tasawuf.” Benarkah demikian?

Perlu kiranya ditinjau secara seksama beberapa hal berikut:

Pertama, sejauh memeriksa kitab-kitab hadis, tidak dijumpai hadis dengan kandungan seperti itu. Karena itu, jika ada kalangan mengharamkan filsafat atau tasawuf dengan dasar hadis dan riwayat, sudah sepatutnya diminta membawakan referensi yang sahih sehingga dapat diteliti kanudngan hadis tersebut dengan lebih baik.

Kedua, hukum mempelajari filsafat amat bergantung pada maksud dari filsafat itu sendiri. Faktanya, banyak definisi yang telah dikemukakan sekaitan dengan filsafat. Definisi yang paling umum filsafat ialah ilmu yang membahas hukum-hukum dan sifat-sifat dasar realitas sebagai realitas. Dengan kata lain, filsafat ialah sekumpulan proposisi dan masalah yang berkisar pada realitas sebagai realitas.[1]

Berdasarkan definisi ini, apakah filsafat yang diharamkan oleh riwayat itu, kalau memang benar ada riwayat tersebut, adalah filsafat dengan definisi ini? Harus dikatakan adalah bahwa filsafat sebagai sesuatu yang buruk dan haram itu bukan merupakan ungkapan yang popular. Sebaliknya masalah ini harus ditelusuri sepanjang topik-topik seputar relasi antara filsafat dan agama, atau seputar sikap penentangan terhadap filsafat.

Penentangan terhadap filsafat datang dari berbagai kalangan dan latar belakang, tentu dengan dengan alasan yang berbeda-beda. Namun penentangan para sarjana Muslim pada dasarnya tidak berarti penentangan mutlak terhadap seluruh pemikiran. Mereka hanya menentang filsafat yang sebagian kesimpulannya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pemikiran Islam. Karena itu, apabila terdapat sebuah riwayat muktabar dan sahih yang mencela filsafat, itu mesti dimaknai dari sudut pandang ini.

Baca juga :   Tujuan Penerjemahan Filsafat Yunani

Namun, tatkala kita berbicara tentang filsafat, bukan berarti kami bersikukuh mempertahankan kebenaran seluruh pandangan dan pemikiran filosof, melainkan aktivitas berfilsafat adalah memberdayakan akal dalam menemukan jawaban atas pelbagai masalah yang hanya dapat dipecahkan melalui metode rasional. Nilai-penting dan signifikansi pemberdayaan akal ini sesungguhnya juga menjadi penekanan kuat banyak ayat dan riwayat, seperti penalaran rasional atas masalah tauhid dan hari kebangkitan (ma’âd) dalam Al-Quran dan Sunnah.[2]

Karena itu, perlu membahas sekilas dalil-dalil para penentang filsafat, di antaranya:

Apabila filosof mampu memecahkan persoalan dan berdampak positif, lalu mengapa para filosof berbeda pendapat di antara mereka sendiri? Dengan kata lain, sebaik-baik dalil atas kekurangan filsafat adalah adanya perbedaan pendapat di antara sesama mereka, sehingga hal ini menyebabkan munculnya skeptisisme dan pesimisme atas metode yang mereka gunakan.

Jawab, jika dalam setiap disiplin ilmu ada perbedaan pendapat dalam masalah-masalah teoritis, itu hal yang wajar. Perbedaan yang sama, misalnya, juga dapat dijumpai dalam masalah-masalah Matematika. Apabila dua orang bersilang pendapat dalam satu masalah Matematika, kita tidak benar lantas menilai bahwa Matematika itu salah. Justru perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menumbuhkan motivasi kuat bagi para ahli di bidang tersebut untuk berusaha lebih keras agar mencapai kesimpulan-kesimpulan yang lebih meyakinkan.[3]

Dalil lain yang diandalkan sebagian orang menentang filsafat adalah apa yang dikatakan filosof sesungguhnya bertentangan dengan agama. Misalnya Ghazali, salah seorang imam penentang filsafat, menyatakan penentangannya dengan filsafat dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah. Ia menegaskan bahwa apa yang dikatakan oleh filosof dalam beberapa hal tertentu berujung kepada kekufuran. Misalnya tentang ilmu Tuhan, alam ini qadim (tidak bermula), dan tentang kebangkitan ruh bersama badan (ma’âd jasmani).[4]

Baca juga :   Esensi Masalah Filsafat

Ibnu Rusyd menulis Tahâfut al-Tahâfut sebagai sanggahan atas seluruh kritik dan penentangan Ghazali. Ia berkata, “Suatu perbedaan antara agama dan filsafat berkaitan dengan klaim-klaim filosofis orang-orang yang memandang dirinya sebagai filosof, padahal mereka sama sekali tidak mengambil keuntungan dari filsafat; apabila seseorang mengenal filsafat dengan baik beserta metode rasionalismenya, maka ia akan menemukan kejelasan bahwa prinsip-prinsip filsafat, sesungguhnya sama sekali tak bertentangan dengan agama.”[5]

Jawaban lain juga dikemukakan oleh Mulla Sadra bahwa filosof sejati tidak memandang adanya pertentangan antara filsafat dan agama beserta prinsip-prinsipnya. Ungkapan dalam al-Asfar al-Arba’ah, ia menuliskan, “Celakalah filosof yang prinsip-prinsip filsafatnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip agama.”[6]

Para pendukung filsafat tidak hanya menguraikan jawaban atas pelbagai keraguan para penentang, bahkan juga menyebutkan kebutuhan urgen kepada filsafat. Di antaranya, secara asasi, kemanusiaan hakiki manusia berada dalam kerangka temuan-temuan filsafat. Artinya, keunggulan manusia terletak pada pola pandang dan kecenderungannya. Maka dari itu, apabila seseorang puas dengan pelbagai pengetahuan indrawi dan pengalaman empirik namun menggunakan fakultas akalnya, ia tidak dapat menjadi manusia sejati, karena filsafat tak lain adalah penguat fakultas akal pada diri manusia.

Dengan demikian, manusia sejati adalah manusia yang memberdayakan akalnya dalam masalah-masalah penentu nasibnya sehingga, dengan begitu, ia mengenal jalan-jalan utama kehidupan. Pengenalan terhadap masalah-masalah penentu nasib dan hidup manusia adalah berkat adanya usaha-usaha filosofis.[7]

Atas dasar catatan-catatan di atas ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat tidaklah buruk, tidak haram, tidak ada pula dalil kuat yang mendukung penentangan terhadapnya.

Referensi:
[1]. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Âmuzesy-e Falsafe, jil. 1, hal. 91, Nasyr Bain al-Milal, Cetakan Ketujuh, 1386 S.
[2]. Ibid, jil. 1, hal. 91,
[3]. Ibid, jil. 1, hal. 91,
[4]. Muhammad Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, hal. 44, Cetakan Beirut, Tanpa Tahun.
[5]. Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqâl, hal. 26.
[6]. Mulla Shadra, al-Asfâr al-Arba’ah, jil. 8, hal. 303, Dar al-Ma’arif al-Islamiyah, 1378 S.
[7]. Âmuzesy-e Falsafe, jil. 1, hal. 135,

Baca juga :   Falsafah Pernikahan dan Berkeluarga
(Visited 385 times, 1 visits today)

Leave a reply