Awal Sejarah Ilmu Fikih dalam Islam

Salah satu ilmu terpenting dalam Islam ialah Fikih, yaitu ilmu penggalian dan penyimpulan hukum dari sumber-sumbernya: Al-Quran, Sunnah, ijmak dan akal. Ilmu Fikih adalah sebuah ilmu teoretis, berbeda dengan ilmu hadis yang semata-mata naratif dan hafalan.
Sejak abad pertama, kaum Muslimin telah melakukan ijtihad. Dalam pengertian yang sahih, ijtihad merupakan bagian dari keniscayaan Islam sebagai agama bagi segenap manusia di dunia dan untuk sepanjang masa. Islam adalah agama akhir jaman yang mengatur segenap perubahan kondisi dan situasi dalam perjalanan keperadaban umat manusia.
Sebagian sarjana /berpendapat bahwa ijtihad di kalangan Ahli Sunnah sudah dilakukan pada abad pertama, sedangkan di kalangan Syiah pada abad ketiga. Mereka menyelidiki sebab keterbelakangan waktu di kalangan Syiah itu pada ketakbutuhan orang-orang Syiah pada ijtihad mengingat keberadaan para imam suci mereka. Namun Murtadha Mutahhari membuktikan invaliditas pendapat ini, sebagaimana yang ia tulis dalam beberapa makalah di sejumlah majalah ilmiah.
Sebagai ilmu penyimpulan dan penggalian hukum serta penerapan dasar-dasar umum pada kasus-kasus parsial, fikih sudah ada sejak abad pertama dunia Islam di kalangan Syiah juga di kalangan Ahli Sunnah. Tentunya, ada perbedaan fundamental di antara mereka, yaitu dalam sumber penyimpulan hukum, pengandalan pada pendapat pribadi dan qiyas (analogi). Dalam literatur Ahli Sunnah disebutkan bahwa orang pertama Muslim yang melakukan ijtihad ialah Mu’ad ibn Jabal, dimana ia diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk berangkat ke Yaman dan mendakwahkan Islam di sana.
Ayatullah Sayyid Hasan Shadr dalam buku Ta’sis Al-Syi’ah menulis, “Buku fikih Syiah pertama pada masa Ali bin Abi Thalib a.s. dikarang oleh sekretaris dan bendahara beliau sendiri, yaitu Ubaidillah bin Abu Rafi’.
Ibn Nadim dalam Al-Fahrast menyebutkan sejumlah judul buku-buku fikih Syiah dan nama-nama pengarang mereka yang hidup pada masa para imam suci Ahlul Bait a.s. Ia meletakkan mereka dalam sebuah subjudul “Para fukaha Syiah”. Sebagian dari para fukaha ini berbangsa Iran, walaupun jumlah mereka sedikit dibandingkan fukaha non-Iran pada masa itu.
Awal Sejarah Fikih Syiah
Sejarah para fukaha Syiah dimulai sejak masa Kegaiban Kecil (260-320 H) dengan dua argumen: pertama, masa sebelum Kegaiban Kecil adalah masa kehadiran para imam suci, dan pada masa kehadiran itu para fukaha, walaupun aktif sebagai mujtahid dan mufti yang juga didorong oleh para imam suci sendiri untuk berfatwa, akan tetapi mereka mau tidak mau berada di bawah pengaruh kehadiran para imam suci a.s. Artinya, mereka menjadi rujukan umat tatkala umat tidak lagi dapat menjangkau para imam suci a.s. Bagaimanapun, umat sedapat mungkin merujuk sumber utama, bahkan para fukaha sendiri sedapat mungkin dengan segala keterbatasan waktu dan tempat serta kendala-kendala lainnya berupaya mengetengahkan berbagai masalah mereka kepada para imam suci a.s.
Argumen kedua, tampaknya fikih yang terdisiplinkan dan terbukukan bermula pada masa Kegaiban Kecil. Yakni, sejauh ini kita tidak menemukan satu karya dan tulisan dalam bidang fikih sebelum masa itu yang dibuat oleh kalangan fukaha Syiah. Akan tetapi, bagaimanapun itu, dalam Syiah juga sudah dijumpai nama-nama besar dalam ilmu fikih pada masa hidup imam-imam suci a.s., dan nilai serta kedudukan mereka akan tampak jelas dan menonjol tatkala dibandingkan dengan nama-nama fukaha dari mazhab Islam lainnya.
Ibn Nadim pada pasal kelima dari bab keenam dari bukunya yang sangat berharga dan dikenal populer dengan nama Fahrast Ibn Nadim menyebutkan nama-nama fukaha Syiah dan di bawah setiap nama itu juga menyebutkan judul-judul buku mereka. Tentang Husain bin Said Ahwazi, misalnya, ia mengatakan, “Dia adalah orang yang paling luas pengetahuan fikih, riwayat dan sejarah di masanya.” Atau tentang Ali bin Ibrahim Al-Qummi, ia menulis, “Dia adalah salah satu fukaha yang alim.” Juga tentang Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Al-Walid Al-Qummi, ia menuturkan, “Dia mengarang banyak buku, di antaranya buku Al-Jami fi Al-Fiqh (Terlengkap dalam Fikih).”
Tampaknya, buku-buku fikih yang dikarang mereka dalam bentuk demikian: dalam setiap bab dibawakan hadis-hadis yang anggap sahih oleh pengarangnya lalu, atas dasar itu, dikemukakan hukum fikih dan diamalkan. Maka buku-buku fikih pada masa itu adalah buku hadis juga buku pendapat pengarangnya.
Muhaqqiq Hilli dalam pengantar Al-Mu’tabar mengatakan, “Mengingat para fukaha kita, semoga Allah meridhai mereka, begitu banyak jumlah dan karya mereka sehingga saya tidak sanggup menutip semua pendapat mereka. Oleh karena itu, saya merasa cukup memilih pendapat para fukaha yang masyhur dengan keutamaan, penelitian dan kebaikan. Demikian pula, saya cukupkan dengan buku-buku para pakar fikih yang tampak keahlian mereka dari ijtihad dan pegangan mereka. Beberapa tokoh terdahulu (semasa imam-imam suci) yang saya rujuk pendapatnya ialah Hasan bin Mahbub, Ahmad bin Abu Nashr Bizanthi, Husain bin Said Ahwazi, Fadhl bin Syadzan, Yunus bin Abdurrahman. Dan dari nama-nama para tokoh yang datang belakangan ialah Muhammad bin babuweih, Qummi, Syaikh Shaduq, Muhammad ibn Yaqub Al-Kulaini. Dari kalangan mufti ialah Ali bin Babuweih Qummi, Iskafi, Ibn Abu Aqil, Syaikh Mufid, Sayyid Murtadha Alamul Huda, Syaikh Thusi.”
Muhaqqiq Hilli menyebut kelompok pertama sebagai ahli pendapat dan ijtihad dan ahli pilih. Meski demikian, ia tidak menyebut mereka dengan nama mufti, karena buku-buku mereka, selain memuat ringkasan ijtihad mereka sendiri, juga merupakan buku hadis dan riwayat, bukan buku semata-mata kumpulan fatwa.
Identitas Kebangsaan para Fukaha Syiah
Secara umum, di antara para fukaha Syiah, baik di masa hidup para imam suci a.s. ataupun di masa-masa setelahnya hingga abad ketujuh, mayoritas mereka berkebangsaan Arab. Para fukaha terdahulu Syiah yang buku-buku mereka hingga kini dapat diakses dengan mudah berasal dari keturunan Arab. Namun tidak sedikit juga yang berasal dari kalangan Ajam, yakni dari Persia atau Iran sekarang. Misalnya, di tingkatan para terdahulu, dapat dijumpai sejumlah nama besar fukaha Ajam seperti: Shaduq Pertama Ali bin Husain bin Babuweih Qummi, Shaduq Kedua Muhammad bin Ali bin Husain, bahkan semua keluarga Babuweih termasuk Syaikh Muntakhab Al-Din Razi yang merupakan salah satu cucu keturunan Husain bin Ali bin Ibn Babuweih Qummi. Demikian pula Guru Agung Mazhab (Syaikh Al-Tha’ifah) Abu Ja’far Thusi, Syaikh Sallar ibn Abdulaziz Daylami—pengarang buku Al-Marasim dan murid Syaikh Mufid, Sayyid Murtadha Alamul Huda, Ibn Hamzah Thusi—pengarang buku Al-Wasilah, ‘Ayyasyi Samarqandi yang buku-buku fikihnya banyak dilaporkan oleh Ibn Nadim dan banyak dirujuk oleh orang-orang Khurasan. Nama-nama besar ini berkebangsaan Iran.
Namun juga banyak dari fukaha Syiah terdahulu hingga abad ketujuh bukan dari Iran seperti: Ibn Junaid, Ibn Abu Aqil, Syaikh Mufid, Sayyid Murtadha Alamul Huda, Qadhi Abdulaziz bin Barraj, Abu Al-Shalah Halabi, Sayyid Abul Makarim bin Zuhrah, Ibn Idris Hilli, Muhaqqiq Hilli yang dinukil perkataan di atas, Allamah Hilli, dan nama-nama besar fakih lainnya.
Memang, pada masa-masa itu, muslim yang bermazhab Syiah di Iran adalah minoritas. Orang-orang Syiah banyak tersebar luas di Lebanon, Suriah, dan Iraq; kondisi mereka di negeri-negeri ini sangat kondusif dan leluasa. Namun, mulai abad ketujuh, khusus tiga abad terakhir ini, fukaha Syiah banyak bermunculan dari Iran; mereka mencapai kedudukan ilmu fikih yang tinggi dan dihormati, sebut saja Syaikh Ja’far Kasyif Al-Ghitha’, Syaikh Muhammad Hasan penulis buku induk fikih Jawahir Al-Kalam,. Mereka semua berasal dari kota Isfahan, kota kebudayaan kedua dalam dunia Islam setelah Madinah.