Apakah Wahyu Mustahil Terjadi?

0
1458

Wahyu adalah jalinan komunikasi antara Yang Mahatinggi dengan materi yang rendah. Bagaimanakah hubungan ini berlangsung? Padahal koherensi serta saling berhadapan—yang konsekuensinya dibutuhkan adanya naik dan turun—menjadi syarat terjalinnya komunikasi sinergis dan bersinambung. Padahal alam metafisik kosong dari sifat-sifat jasmaniah.

Sebagian cendekiawan Barat memiliki kecenderungan terhadap agama. Mereka memiliki paradigma baru tentang wahyu; sesuatu yang disampaikan para nabi atas nama wahyu adalah buah dari pikiran-pikiran internal mereka. Para nabi adalah orang yang berpengetahuan jenial dan reformis. Pemikiran internal mereka itu kadangkala mereka namakan wahyu, terkadang mereka sebut malaikat. Para nabi itu juga mengira bahwa mereka telah diberi ilham dari alam lain. Karenanya sebagian kesalahan-kesalahan yang dapat ditemui dalam ujaran-ujaran dan tulisan-tulisan mereka adalah hal yang sangat jelas dan alami.

Pemikiran para nabi lahir karena lingkungan dan kondisinya. Kemudian menguasai pikiran dan keyakinan masyarakat pada zaman itu. Mereka menyebutkan keyakinan zamannya, setelah itu terbukti kesalahannya. Kemudian mereka berkata, “Mahasuci Allah dari ‘segala kesalahan’ atau ‘firman-Nya’.” (Muhammad Farid Wujdi, Dairat al-Ma’arif al-Qarnil Isyrin, jilid 10, hal.715).

Paradigma seperti itu adalah kesalahan berpikir dengan menganggap para utusan Tuhan atau para nabi adalah orang-orang lugu yang tak mampu membedakan hal-hal imajinatif dengan kebenaran. Dianggapnya para nabi itu penipu dan pembohong. Mereka ingkari kenabian secara asumtif. Namun, kebenaran, kejujuran, keagungan dan kesucian pribadi para nabi adalah jelas bagi semua orang.

Para cendekiawan itu melakukan dua kesalahan:

1. Mereka menjadikan buku suci yang sudah diselewengkan, yaitu kitab-kitab terjemahan yang tidak sempurna dan dicampuri pendapat manusia sebagai tolok ukur penelitian dan pengkajian wahyu samawi. Sebenarnya, jika ingin melakukan penelitian, harus diselidiki dulu kebenaran semua tulisan yang termaktub dalam buku terjemahan tersebut.

Baca juga :   Dalil Akal sebagai Sumber Hukum َAgama

2. Mereka telah membangun asumsi bahwa manusia adalah maujud material. Padahal, sejatinya, manusia adalah makhluk gabungan ruh dengan jasad. Ruh manusia berasal dari sinkhi al-Mala’ul a’la (koherensi) dan sinkhiyyat (kesesuaian), inilah syarat terjalinnya komunikasi, karenanya wahyu menjadi sesuatu yang mungkin.

Masalah spiritualitas manusia dan koherensi dengan Tuhan Yang Mahatinggi, tidak dibahas dalam buku ini. Namun demikian, agar kita bisa menjelaskan masalah wahyu dan kedudukannya dengan baik dan membuktikan ketidakmustahilannya (wahyu yang non materi diterima oleh manusia yang materi—peny.), maka kami akan menukil dari penjelasan al-Quran dan hadis.

Spiritualitas Manusia
Spiritualitas manusia menjadi tema yang sejak dahulu hingga kini tak kunjung usai dibahas manusia. Ia memiliki porsi khusus dalam filsafat, budaya dan seni. Tema ini sering disebut oleh al-Quran dan hadis. Bahkan filsafat Islam menjadikan tema ini selalu “hangat”.

Manusia adalah maujud yang memiliki dua sisi, berada di antara alam fisik dan metafisik, memiliki ruh dan jasad. Dari satu sisi ia sangatlah tinggi, tangannya menggapai langit. Di sisi lain ia menukik ke bawah, meraih bumi.

Setelah al-Quran menyifati jenjang-jenjang penciptaan manusia, sejak periode janin, spiritualitas membawanya ke tempat yang jauh lebih tinggi dari alam materi, saat itu ditiupkan ruh yang sangat mulia kepadanya.

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, kemudian Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging… (QS. al-Mu’minun:12-14).

Baca juga :   Sahabat-sahabat Penulis Wahyu

Seperti itulah penjelasan al-Quran tentang tahapan-tahapan eksistensi materi manusia. Setelah itu al-Quran menegaskan, …kemudian Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik (QS. al-Mu’minun:14). Maksud dari makhluk yang lain di sini adalah ruh yang ditiupkan kepadanya setelah janin memasuki usia empat bulan.

Di ayat lain juga disebutkan dua fase penciptaan, Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan Yang memulai ciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh ke dalam (tubuh)nya ruh-Nya… (QS. as-Sajdah:7-9). Di dalam ayat ini disebutkan bahwa ruh yang ditiupkan dalam diri manusia berasal dari alam malakut dan dinisbahkan kepada Tuhan. Berarti ruh jauh lebih luas dari semua materi.

Imam Ja’far Shadiq bersabda, “Allah menciptakan suatu makhluk dan menciptakan suatu ruh, kemudian memerintahkan satu malaikat untuk meniupkan ruh ke dalamnya.” (Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 61, hal.32, hadis ke-5).

Manusia dalam pandangan al-Quran adalah makhluk yang terdiri dari jasad dan ruh. Pertama-tama jasad dahulu tercipta, kemudian ditiupkan ruh yang kekal di dalamnya.

Dalam pandangan filsafat, manusia bukanlah maujud yang murni materi. Manusia tidak terbatas oleh jasmani; daging, kulit, tulang dan otot. Ia memiliki eksistensi yang lebih tinggi. Posisinya lebih tinggi dari alam materi dan ruang lingkup jasmani murni, karena sifat-sifat yang dimiliki manusia jauh lebih tinggi dari sisi jasmaniahnya (Untuk lebih jelas dan lebih detail, silahkan merujuk buku Al-Asfar al-Arba’ah karya Sadruddin Syirazi, bab II, hal.28-52; Fakhruddin Razi, Mafatih al-Ghaib. Tafsir al-Kabir, jilid 21, hal.43-51, yang menjelaskan ayat Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh… Muhammad Husain Thabathaba’i, Al-Mizan, jilid 1, hal.365-369 dan jilid 10, hal.118).

Baca juga :   Dialektika Wahyu Tuhan dan Nalar Manusia

Manusia memiliki dua unsur; jasmani dan ruhani. Bukan mengherankan jika ia bisa menjalin komunikasi dan hubungan dengan alam metafisik. Jalinan seperti ini terkait dengan sisi ruhaniah dan batinnya yang berkelindan. Kenyataan inilah yang menimbulkan wahyu.

Wahyu adalah peristiwa ruhani, bisa dialami oleh banyak orang yang memiliki keistimewaan secara ruhaniah. Inilah syarat kelayakan untuk terjalinnya komunikasi atau hubungan dengan alam metafisik dengan manusia, kemudian ilham yang bersumber dari luar dirinya—untuk melihat permasalahan secara jernih—akan diperolehnya.

Karena itu, wahyu untuk para nabi bukanlah pemikiran imajinatif atau pemikiran yang muncul karena kondisi batin. Ia adalah kabar ruhani dari alam yang lebih tinggi kepada orang yang memiliki kelayakan. Tidak layak seseorang merasa heran terhadap peristiwa ini.

Ada sesuatu yang tidak kita ketahui—meskipun wahyu adalah realitas yang jelas dan kita memiliki keyakinan kuat terhadapnya—yaitu cara terjalinnya komunikasi atau hubungan ruhaniah ini.

Ketika kita berusaha untuk mengetahuinya melalui tolok ukur materi atau dengan menyifatinya, maka kita hanya bisa menyifati komunikasi tersebut dalam batasan aksioma, tunduk terhadap kata, berada dalam ruang lingkup indrawi. Karenanya tema ini tetap saja menjadi rahasia bagi kita. Semua pemahaman yang diungkapkan untuk memaparkan masalah ini, pasti bersifat kiasan, tidak akan pernah mewakili arti sebenarnya.

Sekali lagi, wahyu adalah fenomena yang tidak bisa ditolak akal sehat dan kita meyakininya. Tapi, ia tidak bisa disifati dan hakikatnya tidak bisa dijamah. Ia adalah peristiwa ruhaniah yang hanya diketahui oleh orang-orang istimewa yang memiliki syarat dan kelayakan.[RED]

Sumber:
Muhammad Hadi Ma’rifat, Tarikh Al-Qur’an, Majma Jahani Ahl Al-Bait, Qom, 1388 HS

(Visited 297 times, 1 visits today)

Leave a reply