Ali bin Abi Thalib dan Filsafat Jiwa

Tidak ada yang paling dekat dengan diri kita selain jiwa kita sendiri. Bahkan, realitas diri kita ya jiwa kita ini. Seperti gajah di pelupuk mata, dekat itu belum tentu jelas; saking dekat dan identiknya justru bisa tidak jelas, setidaknya tidak jelas dalam pikiran dan pemahaman.
Karena itu, masih relevan untuk bertanya, Apa itu jiwa? Bagaimana mendeskripsikan jiwa? Apa saja macam-macam jiwa?
Dalam sejarah keilmuan Islam, yang pertama kali menyinggung pertanyaan ini adalah Alquran, tepatnya di surat َAl-Isra’ [17]: 85. Sementara di kalangan sahabat, orang pertama yang membahas jiwa dan ruh adalah Imam Ali bin Ali Thalib, yaitu dalam rangka merespon pertanyaan salah satu murid terbaiknya, Kumail bin Ziyad.
Suatu hari, Kumail bin Ziyad bertanya kepada Ali bin Abi Thalib as, “Hai Amirul Mukminin! Definisikanlah kepadaku pengertian jiwa (nafs) agar aku mengetahuinya.”
Ali as berkata, “Hai Kumail! Jiwa yang mana yang engkau maksudkan?”
Kumail berkata, “Tuanku! Apakah jiwa itu lebih dari satu?”
Ali as berkata, “Hai Kumail! Ketahuilah, bahwa jiwa memiliki empat dimensi:
1. Jiwa tumbuh nabati (material)
2. Jiwa perasa hewani (sensual)
3. Jiwa berpikir suci (intelektual)
4. Jiwa universal ilahi (spiritual)
Setiap dari dimensi jiwa ini memiliki 5 daya dan 2 ciri khas.
“Jiwa tumbuh nabati, dengannya mansuia tumbuh dan berkembang. Jiwa ini memiliki lima daya:
1. Daya tahan, kekuatan yang menjaga manusia dari penyakit luar
2. Daya tarik, kekuatan untuk menarik bahan-bahan makanan dan minuman
3. Daya cerna, kekuatan untuk mencerna makanan dalam percernaan
4. Daya tolak, kekuatan membuang bahan-bahan yang tidak diperlukan oleh tubuh
5. Daya bina, kekuatan untuk membimbing badan dan menyebarkan makanan ke seluruh tubuh.
“Jiwa ini memiliki dua ciri khas, yaitu ekstrem dalam kekurangan dan ekstrem dalam kelebihan.
Kekuatan jiwa ini bersumber dari jantung manusia dan jiwa ini lebih dekat dengan jiwa hewani.
“Jiwa perasa hewani atau jiwa inderawi. Jiwa ini memiliki lima daya:
1. Daya dengar, kekuatan untuk menangkap suara
2. Daya lihat, kekautan untuk menangkap dan mencerna bentuk serta warna
3. Daya pencium, kekuatan untuk mencerna bau dan membedakan antara bau-bauan
4. Daya pencicip, kekuatan untuk mencerna rasa
5. Daya peraba, kekuatan untuk meraba dan merasa lembut atau kasar, panas atau dinginnnya suatu benda.
“Jiwa ini memiliki dua ciri khas, yaitu rida (daya tarik) dan ghadhab (daya tolak) yang bersumber dari hati.
Jiwa berpikir suci. Jiwa ini memiliki lima daya:
1. Daya pikir, kekuatan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, serta mampu menganalisa akibat dari keduanya
2. Daya ingat, kekuatan untuk mengenal dan merasakan wujud Tuhan. Jiwa ini juga memiliki kekuatan mengingat sesuatu
3. Daya ilmu, kekuatan yang membawa manusia kepada derajat ilmu dan ruhani yang tinggi
4. Daya tabah, kekuatan ini adalah hasil dan faedah yang di dapat dari kekuatan ilmu
5. Daya absolut, yaitu keagungan dan kebesaran yang diraih dari kekuatan ilmi dan hilmi. Sedangkan kekuatan ini tidak muncul dari sesuatu apapun melainkan dekat dengan nafs para malaikat.”
“Jiwa ini memiliki dua ciri khas: suci dan hikmah.
Oleh karenanya, jiwa bisa berpikir bebas dari segala keburukan/kekotoran dan hanya melihat hakekat dan Tuhan. Perbuatan yang bersumber dari jiwa ini selalu bersih dan ucapannya pun selalu mengandung hikmah.”
“Jiwa universal Ilahi, yaitu pancaran dari cahaya ketuhanan. Jiwa inipun memiliki lima daya:
1. Baqa fi al-fana, selalu di jalan Tuhan sampai ia menemukan baqa (keabadian) dan meraih wujud;
2. Ni’mat fi al-‘usrah, walau dalam penderiataan dan bencana ia selalu bahagia dan merasa dirinya penuh dengan kebahagiaan
3. Izzah fi al-dzillah, kedudukan yang sangat tinggi yang tidak biasa diraih oleh semua orang pada umumnya
4. Faqr fi al-fana, ketika ia tidak butuh kepada yang lain dan hanya butuh kepada Haq Ta’ala
5. Shabr fi al-bala‘, dalam keadaan sangat menderita ia selalu sabar dan tidak pernah menuntut serta menentang Tuhan. Ini adalah ciri-ciri para nabi dan para wasi mereka.”
“Jiwa ini memiliki dua ciri khas: lembut dan sabar, mulia dan jiwa besar. Jiwa inilah yang bersumber dari Tuhan, seperti yang difirmankan oleh-Nya, “Dan Kami hembuskan dari ruh-Ku.“ Dan akan kembali kepada-Nya Sebagaimana dalam firman-Nya, “Wahai jiwa muthmainnah (jiwa yang tenang)! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan rida dan diridhai.“
“Allah meletakkan akal di antara jiwa-jiwa tersebut sehingga tidak ada di antara mereka yang berkata dan berbuat tidak masuk akal serta tidak sesuai dengan akal.”
Referensi:
- Syaikh Baha’i, Kasykul, v. 1, p. 495.
- Dzabihullah Mahallati, Danisyman-e-Buzurg, , p. 367.