Agama: antara Pilihan dan Keharusan

0
762

Salah satu keistimewaan manusia di atas makhluk lainnya yaitu adanya motivasi fitriyah untuk mengenal hakikat dan mengetahui berbagai realitas. Fitrah ini mulai tampak sejak masa kanak-kanak sampai akhir usianya. Ia yang lebih dikenal juga sebagai rasa ingin tahu (kuriositas) yang dapat mendorong seseorang untuk mencari agama yang benar dan memikirkan berbagai persoalan  yang bersangkutan, antara lain:

Apakah ada wujud lain yang bersifat nonmateri dan gaib? Jika memang ada, apakah ada hubungan antara alam gaib dengan alam materi ini? Jika benar terdapat relasi di antara keduanya, apakah wujud nonmateri itu sebagai pencipta alam materi ini? Apakah wujud manusia itu terbatas pada  badan fisikal ini saja? Apakah hidupnya terbatas pada kehidupan di dunia ini? Ataukah ada kehidupan lain? Apabila kehidupan lain itu ada, apakah ada hubungan di antara kehi-dupan duniawi ini dan kehidupan ukhrawi? Apabila hubungan itu ada, persoalan-persoalan duniawi apakah yang dapat menentukan urusan akhirat? Apakah cara untuk mengetahui tata hidup yang benar, yaitu sistem yang dapat menjamin  kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak? Dan yang terakhir, berupa apakah sistem dan undang-undang tersebut?

Dengan demikian, naluri rasa ingin tahu itu merupakan motivasi utama yang mendorong seseorang untuk mencari berbagai persoalan, termasuk yang berkaitan dengan agama.
Motivasi kedua yang juga begitu kuat membangkitkan keinginan seseorang untuk mengetahui berbagai hakikat adalah rasa ingin memenuhi berbagai kebutuhan yang ada hubungannya dengan satu atau beberapa fitrah selain fitrah rasa ingin tahu. Berbagai kebutuhannya itu tidak dapat terealisasi kecuali dengan memperoleh pengetahuan tertentu.

Maka itu, berbagai kenikmatan dan kesenangan materi duniawi itu baru akan dapat dicapai dengan cara menge-rahkan pikiran dan pengetahuan. Sedangkan pengetahuan empirik seseorang akan sangat membantunya untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Jika agama itu dapat membantu pula untuk memenuhi segala kebutuhannya dan meraih kesenangan dan keuntungan yang diinginkan serta melindungi dirinya dari bahaya yang mengancamnya, tentunya agama itu pun akan menjadi elemen utama di dalam kebutuhan hidupnya.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa fitrah mencari keuntungan, kebahagiaan dan rasa aman dari marabahaya   merupakan pendorong bawaan lainnya untuk mencari agama.  Akan tetapi, mengingat pengetahuan yang berhubungan dengan hal ini banyak sekali, belum lagi syarat-syarat untuk mengetahui semua hakikat itu tidak mungkin dapat ter-penuhi, maka sangat mungkin seseorang itu akan memilih masalah dan persoalan yang paling mudah untuk dipecahkan, yang paling banyak keuntungan materinya. Untuk itu, ia akan memilih jalan yang paling dekat untuk sampai kepada tujuan yang diinginkannya dan menghindar dari usaha mencari kebenaran agama,  yang ia yakini bahwa hal itu sangat rumit dan sulit untuk dipecahkan, atau ia meyakini bahwa masalah-masalah agama itu tidak akan mebuahkan hasil yang berarti.

Baca juga :   Hubungan antara Kalam Syiah dan Kalam Muktazilah

Atas dasar itu, kami perlu menjelaskan betapa pentingnya pengaruh masalah-masalah agama. Lebih dari itu, mencari masalah apa pun selain agama tidak akan memiliki nilai se-besar nilai yang dikandung oleh masalah-masalah agama.  Kita perhatikan bahwa sebagian ahli Psikologi meyakini bahwa beragama dan beribadah kepada Allah  itu sebenarnya satu kecenderungan fitriyah tersendiri, yang basisnya disebut sebagai rasa beragama. Mereka menempatkan rasa beragama sebagai naluri keempat manusia,  di samping naluri rasa ingin tahu (kuriositika), rasa ingin berbuat baik (etika) dan rasa ingin keindahan (estetika).

Selain mengandalkan bukti-bukti sejarah dan data-data arkeologis, para pakar itu pun menemukan bahwa rasa beragama dan beribadah kepada Allah adalah fenomena yang merata dan umum pada setiap generasi manusia sepanjang sejarah. Fenomena ini adalah bukti kuat bahwa ihwal ber-agama merupakan sebuah naluri dan fitrah manusia.

Keumuman naluri beragama ini tidak berarti bahwa hal itu senantiasa ada dan hidup dalam diri setiap orang yang lalu mendorongnya secara sadar kepada tujuan-tujuannya. Akan tetapi, sangat mungkin fitrah itu tertimbun di kedalaman jiwanya lantaran faktor-faktor yang melingkupinya dan pen-didikan yang tidak benar, atau ia menyimpang dari jalan yang lurus, sebagaimana hal-hal ini pun –sedikit atau banyak- bisa menimpa naluri dan kecenderungan bawaan lainnya.

Berdasarkan pandangan ini dapat kita ketahui bahwa mencari agama merupakan naluri tersendiri pada diri setiap manusia sehinggga tidak perlu lagi menetapkan kebe-radaannya dengan argumentasi. Pandangan ini dapat ditopang oleh dalil-dalil  dari Al-Qur’an dan Hadis yang berhubungan dengan naluri beragama. Akan tetapi, karena naluri dan kecenderungan semacam itu tidak dapat dirasakan secara langsung, sangat mungkin seseorang akan mengingkari keberadaannya dalam dirinya pada saat ia melakukan per-debatan.

Oleh karena itu, kami tidak sepenuhnya bersandar pada pandangan ini. Kami hanya akan membahas dan menjelaskan pentingnya mencari agama yang berdasarkan argumentasi-argumentasi aqli (rasional).

Memilih  Agama
Dari uraian di atas jelaslah bahwa dorongan naluri untuk mengetahui berbagai hakikat dari satu sisi, dan motifasi untuk meraih keuntungan dan  keamanan dari segala bahaya dari sisi lain,  menjadi alasan kuat seseorang untuk memikirkan dan memperoleh berbagai keyakinan.

Oleh karena itu, ketika seseorang mengetahui ihwal orang-orang besar dalam sejarah yang mengaku bahwa mereka itu diutus oleh Sang Pencipta alam semesta ini untuk menuntun umat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, dan mereka telah mengerahkan segala kemampuan untuk menyampaikan risalah Ilahi  dan memberi petunjuk kepada umat manusia, bahkan mereka siap menanggung berbagai tantangan dan kesulitan, hingga mempertaruhkan nyawa mereka demi tujuan mulia ini, tentunya orang itu –dengan dorongan naluri tersebut– akan tergerak hatinya untuk mencari agama dan melihat sejauh mana kebenaran klaim orang-orang besar itu. Apakah mereka membawa argumentasi yang kuat untuk membela klaim tersebut? Terutama ketika ia mengetahui bahwa dakwah dan risalah para nabi itu memberikan janji kebahagiaan  abadi, di samping peringatan akan adanya siksa yang abadi pula.

Baca juga :   Dialektika Wahyu Tuhan dan Nalar Manusia

Artinya, yakin pada dakwah mereka itu mengandung kemungkinan untung abadi. Begitu pula, menolak dakwah itu akan mendatangkan kemungkinan yang lain, yaitu kerugian dan kesengsaraan yang abadi pula. Maka itu, tidak ada alasan lagi bagi orang ini untuk acuh tak acuh terhadap agama dan enggan mencari kebenarannya.
Ya, mungkin saja sebagian orang tidak tergerak hatinya untuk mencari agama karena merasa malas dan ingin hidup santai serta suka berleha-leha, atau karena meyakini bahwa agama itu akan  menuntut berbagai aturan dan mencegah me-reka dari melakukan apa yang mereka inginkan.

Sesungguhnya orang-orang yang mempunyai pemikiran semacam ini akan ditimpa berbagai akibat buruk kemalasan  dan kecongkakannya itu.  Lebih dari itu, mereka pun terancam azab yang abadi. Orang-orang seperti ini lebih dungu dan jahil dari anak kecil yang sakit yang menolak diajak berobat ke dokter lantaran takut untuk minum obat yang pahit, sementara kematian telah mengancam dirinya. Hal ini terjadi karena anak kecil tersebut belum mencapai tingkat kesadaran yang dapat membedakan mana yang berguna dan mana yang berbahaya untuk dirinya.

Selain itu, menolak anjuran dokter tidak akan berakibat apa-apa selain kehilangan sejenak rasa senang dalam hidupnya di dunia. Sedangkan orang-orang yang telah  men-capai usia dewasa dan berakal mempunyai kemampuan untuk berfikir dan membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang tidak untuk dirinya, serta dapat menimbang antara kenikmatan temporal dan azab yang abadi. Dalam perum-pamaan Al-Qur’an, orang-orang yang lalai seperti itu lebih sesat dari binatang ternak:
“Sesungguhnya mereka itu bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (Qs. Al-A’raf:179).
“Sesungguhnya seburuk-buruk binatang melata itu di sisi Allah adalah orang-orang yang tuli dan bisu yang tidak berfikir” (Qs. Al-Anfal: 22).

Sebuah Keraguan
Barangkali ada sebagian orang yang enggan untuk berfikir dan mencari agama dengan alasan sebagai berikut: bahwa sepatutnya energi dan waktu ini dikerahkan untuk mengatasi hal-hal yang mungkin dapat diatasi oleh seseorang dan hasilnya pun dapat diharapkan secara nyata. Harapan dan kemungkinan seperti ini tidak akan didapati dalam upaya mencari agama dan hal-hal yang berhubungan dengannya.  Dengan demikian, alangkah baiknya jika tenaga dan wak-tu ini  dikerahkan untuk usaha-usaha yang dapat memberikan keberhasilan lebih banyak daripada harus mencari dan membahas masalah-masalah agama yang belum jelas hasilnya  itu.

Baca juga :   Dalil Akal sebagai Sumber Hukum َAgama

Jawab:
Pertama: adanya kemungkinan dan harapan akan ter-atasinya masalah-masalah agama itu tidak lebih kecil daripada kemungkinan dan harapan akan teratasinya masalah-masalah yang bersifat ilmiah.  Kita telah mengetahui  bahwa  masalah-masalah ilmiah itu baru akan menuai hasil setelah puluhan tahun lamanya; setelah para ilmuwan mengerahkan segala upaya mereka dalam mengatasi  hal ini.

Kedua:  sesungguhnya nilai sebuah kemungkinan itu tidak diukur oleh satu indikasi saja, yaitu  kuantitas kemungkinan (qordul ihtimal). Tetapi, ada indikasi kemungkinan lain yang patut dipertimbangkan, yaitu kualitas hal yang dimung-kinkan (qodrul muhtamal). Misalnya, jika kemungkinan adanya keuntungan dalam suatu usaha itu sebesar 5 %, sedang  dalam usaha lainya sebesar 10 %, akan tetapi jumlah keuntungan yang dimungkinkan dan yang bisa diharapkan dari usaha pertama itu sebesar 1000 rupiah, sementara keuntungan dari usaha yang kedua hanya sebesar 100 rupiah saja, maka usaha yang pertama itu lebih menguntungkan lima kali lipat dibandingkan dengan usaha yang kedua tersebut, padahal tingkat kemungkinan usaha yang pertama itu hanya 5 % saja yaitu separuh dari tingkat kemungkinan yang terdapat pada usaha yang kedua.  Hal ini disebabkan pentingnya derajat dan nilai objek yang dimungkinkan.

Mengingat bahwa keuntungan yang dimungkinkan yang dapat diperoleh dari mencari agama itu tidak terbatas besarnya, akan tetapi –meski  tingkat kemungkinan untuk memperoleh hasilnya itu lebih kecil-  besarnya nilai dan pentingnya sebuah pencarian dan pengerahan tenaga dalam usaha ini jauh mengungguli nilai pencarian usaha-usaha  apapun yang hasilnya sedikit dan terbatas.

 Sesungguhnya seseorang itu baru akan menyadari tidak perlunya mencari agama manakala ia merasa yakin bahwa  agama yang dicarinya itu adalah batil dan telah menyimpang, atau ia merasa yakin bahwa masalah-masalah agama itu tidak mungkin dapat diselesaikan. Persoalannya, dari mana keya-kinan terhadap batilnya sebuah agama itu dapat  diperoleh jika tanpa penelitian dan pencarian? [Omuzesye Aqoed, Muhammad Taqie Misbah Yazdi, Sozmon Tablighote Islami, Qom-Iran, 1375 HS.]

(Visited 64 times, 1 visits today)

Leave a reply